Ninnasi Muttaqi’in, S.M.B., M.SM., CFP., ANZIIF (Assoc) CIP., CPM (Asia) –  Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Teknologi Digital
 
WACANA redenominasi rupiah kembali mencuat seiring pembahasan pemerintah mengenai penyederhanaan sistem mata uang nasional.
Meskipun belum ditetapkan sebagai kebijakan, isu ini penting dipahami karena perubahan nominal pada mata uang dapat memengaruhi persepsi masyarakat, proses transaksi, serta stabilitas ekonomi secara umum.

Redenominasi adalah penyederhanaan angka pada rupiah dengan mengurangi beberapa digit nol tanpa mengubah daya beli riil. Jika nilai Rp 1.000 menjadi Rp 1, maka harga barang dan jasa menyesuaikan format baru dengan nilai yang tetap sama.

Kebijakan seperti ini lazim dilakukan untuk meningkatkan efisiensi transaksi, menyederhanakan pencatatan keuangan, dan memperkuat kredibilitas mata uang.
Pengalaman internasional memberikan sejumlah pelajaran penting.

Turki pada 2005 menghapus 6 angka nol dari mata uangnya dan berhasil mengurangi persepsi negatif akibat inflasi berkepanjangan. Rumania, Polandia dan Azerbaijan juga mencatat keberhasilan karena kebijakan dilakukan dalam situasi inflasi yang lebih terkendali.

Sebaliknya, Zimbabwe menjadi contoh kegagalan karena redenominasi dilakukan tanpa dukungan kebijakan ekonomi yang disiplin, sehingga penyederhanaan angka tidak mampu menahan laju hiperinflasi.
Bagi Indonesia, pelajaran tersebut relevan.

Keberhasilan redenominasi tidak semata bergantung pada jumlah nol yang dihapus, tetapi pada stabilitas ekonomi makro, koordinasi antarlembaga, serta efektivitas komunikasi publik. Tanpa itu semua, risiko mispersepsi dapat memicu inflasi psikologis yang tidak diperlukan.

Apabila diterapkan, redenominasi berpotensi memberikan berbagai manfaat. Nominal yang lebih ringkas akan menyederhanakan transaksi tunai maupun digital. Sistem perbankan, kasir, dan akuntansi akan lebih efisien karena angka yang digunakan tidak lagi panjang. Selain itu, integrasi dengan sistem pembayaran internasional akan lebih mudah karena rupiah tampil lebih proporsional dan minim risiko salah baca.

Namun, terdapat pula sejumlah tantangan. Perubahan nominal dapat menimbulkan kebingungan sementara, terutama bagi masyarakat yang belum terbiasa dengan transaksi digital. Dunia usaha juga memerlukan waktu dan biaya untuk menyesuaikan sistem akuntansi, kontrak, mesin kasir, dan dokumentasi harga.

Apabila komunikasi publik tidak efektif, masyarakat dapat menafsirkan penyederhanaan angka sebagai penurunan nilai uang, padahal daya beli tidak berubah.

Untuk itu, kesiapan masyarakat menjadi aspek kunci dalam keberhasilan kebijakan ini. Generasi muda, yang akrab dengan teknologi digital, berada pada posisi yang strategis. Mereka diharapkan mampu memahami dampak perubahan nominal, mengedukasi lingkungan sekitar, dan membantu memastikan proses transisi berjalan lancar.

Di sisi lain, masyarakat umum perlu meningkatkan literasi keuangan agar dapat membedakan perubahan nominal dari perubahan nilai riil. Penataan dokumen keuangan pribadi juga perlu diperhatikan.

Catatan kontrak, tabungan, cicilan, dan investasi harus tersimpan rapi agar mudah disesuaikan dengan ketentuan baru jika redenominasi diterapkan. Masyarakat juga perlu membiasakan diri membaca harga dengan cermat untuk menghindari kekeliruan selama masa transisi.

Pada akhirnya, redenominasi adalah kebijakan yang menyangkut aspek teknis, psikologis, dan sosial. Jika suatu hari diterapkan, keberhasilannya bergantung pada kesiapan kolektif. Masyarakat yang memahami prosesnya akan menghadapi perubahan dengan tenang, sementara generasi muda dapat berperan sebagai penggerak edukasi dan adaptasi.

Dengan literasi keuangan yang baik dan komunikasi publik yang efektif, redenominasi dapat menjadi langkah modernisasi sistem ekonomi nasional tanpa mengganggu stabilitas nilai rupiah. *

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry