Ribut Baidi.

Indonesia merupakan negara hukum yang menjamin setiap warga negara mendapatkan pelayanan dan keadilan hukum sebagaimana yang dituangkan di dalam konstitusi, yakni Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen ketiga yang berbunyi:“Indonesia adalah negara hukum”. Frasa “negara hukum” bertitik tolak dari pemaknaan integratif antara konsep ‘rechstaat’ dengan ‘rule of law’, yakni keadilan hukum yang tidak hanya didasarkan pada keadilan hukum normatif, tapi juga prinsip keadilan secara substantif.

oleh: Ribut Baidi

Bagi masyarakat miskin, kehadiran penegakan hukum yang berkeadilan adalah sebuah harapan dan dambaan. Tentu, negara bertanggung jawab untuk pemenuhan hak-hak hukum masyarakat miskin sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang tidak boleh dikurangi, apalagi dihilangkan.

Romli Atmasasmita (2009) menyatakan, Indonesia sebagai negara hukum harus memberikan jaminan kepada seluruh masyarakat terhadap persamaan di hadapan hukum serta diberikan jaminan hukum terhadap perlindungan HAM, sehingga terwujud adanya perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law) yang disertai pula dengan persamaan perlakuan (equal treatment). Salah satu bentuk persamaan perlakuan dalam hukum tersebut bisa direalisasikan melalui pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin yang bisa dilakukan oleh advokat (pengacara) atau pembela umum dalam rangka memperoleh keadilan (acces to justice).

Bantuan hukum tidak bisa melepaskan dari sebuah tujuan substansial didalam menata kembali masyarakat dari adanya kepincangan struktural yang tajam dengan menciptakan pusat-pusat kekuatan (power resources) sekaligus diciptakannya distribusi kekuasaan untuk membangun partisipasi dari bawah, terutama dari kalangan masyarakat miskin untuk mengembalikan hak-hak dasar mereka yang berkaitan dengan sumber daya politik, ekonomi, tekhnologi, informasi dan lain sebagainya melalui upaya pemberian bantuan jasa hukum bagi mereka yang tidak mampu agar mendapatkan keadilan hukum dan akses bantuan hukum secara cuma-cuma.

Bantuan hukum sebenarnya menjadi tumpuan dan harapan besar yang diprakarsai oleh para advokat/pengacara secara personal maupun advokat publik yang ada di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk kepentingan pembelaan hak hukum masyarakat miskin (grass root) yang minim akses atau bahkan sama sekali tidak memiliki jejaring untuk mendapatkan pendampingan dan perlindungan hukum.

Reformasi dan Perlindungan Hukum Masyarakat Miskin

Bergulirnya reformasi tahun 1998 merupakan perlawanan besar rakyat terhadap kekuasaan Soeharto dan rezim orde baru yang dibangunnya karena dianggap represif dan bertolakbelakang dengan cita ideal Indonesia didalam membangun sistem kenegaraan yang berpihak kepada rakyat, terutama dalam bidang hukum dan pemerataan ekonomi.

Namun, kurun waktu 27 tahun reformasi berjalan, penegakan hukum dan pencapaian keadilan hukum bagi masyarakat miskin justru kontraproduktif dengan spirit reformasi yang digelorakan. Korupsi yang kian menggurita, kejahatan narkoba yang semakin ekspansif, kejahatan lingkungan hidup yang semakin besar kualitas dan kuantitasnya, pelecehan seksual, pembunuhan dan penganiayaan yang hampir tiap hari terjadi, terorisme, dan kasus-kasus HAM masa lalu yang belum terungkap adalah silang-sengkarut problematika hukum di negeri ini yang tidak bisa dipungkiri.

Upaya maksimal dan komitmen bersama yang serius dari para stackholders bangsa, terutama pemerintah melalui aparat penegak hukum agar pemenuhan keadilan penegakan hukum benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat miskin, tidak tebang pilih, dan tidak menjadikan hukum sebagai alat “penyandera” untuk kepanjangan tangan sistem dan kekuasaan politik adalah keniscayaan yang harus diwujudkan.

Bagi masyarakat miskin, keadilan hukum dan fakta sosial merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Hukum adalah benteng yang bisa dijalankan melalui sistem kekuasaan dalam suatu negara. Jika, kekuasaan didorong melalui sistem demokratis, maka hukum akan dijalankan dengan baik dan masyarakat akan mudah mendapatkan keadilan hukum. Sebaliknya, jika kekuasaan otoriter, maka hukum akan dijadikan alat untuk menindas, dan keadilan akan tereduksi dengan kepentingan kekuasaan yang melahirkan kesenjangan, ketimpangan, ketertindasan, dan konflik horisontal.

Urgensi Pegiat Bantuan Hukum untuk Masyarakat Miskin

Frans Hendra Winarta (2009) menyatakan bahwa bantuan hukum sebagai program yang dijalankan pada aspek kultural dan struktural. Titik tekan aspek kultural ini terfokus pada perubahan tatanan hidup masyarakat yang lebih baik. Sedangkan titik tekan struktural diimplementasikan pada ranah pembelaan (advokasi) terhadap masyarakat miskin agar bisa terbebas dari belenggu struktur politik, ekonomi, dan sosial yang sarat dengan bentuk hegemoni dan penindasan.

Advokat (pengacara) secara personal maupun advokat (pengacara) publik yang tergabung dalam LBH harus hadir dan berekspansi pada ruang-ruang masyarakat kecil yang selama ini belum mengerti terhadap pemahaman hukum normatif dan cenderung terisolasi di dalam merasakan keadilan hukum substantif.

Masyarakat harus bisa diberi pemahaman edukasi hukum dan ekspektasi keadilan hukum,  mendorong terwujudnya penegakan hukum dan HAM, serta pencapaian keadilan hukum yang akseleratif terhadap kebutuhan masyarakat miskin yang selama ini cenderung menjadi objek ketidakadilan hukum pada ranah empiris.

Hukum dan keadilan sebagaimana gagasan yang diusung oleh Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at (2018) merupakan satu dimensi dan kesatuan muara yang tidak bisa dipisah. Hukum harus dihadirkan sebagai sukma keadilan meskipun keduanya berbeda secara politis dan ideologis. Tetapi, mengharmonikan keduanya dalam tataran empiris adalah hal niscaya. Penerapan aturan yang adil bagi setiap orang akan dimaknai sebagai keadilan hukum (supremacy of law) yang akan melahirkan justifikasi moral dan menciptakan kegembiraan bagi kehidupan masyarakat sosial.

Advokat (pengacara) sebagai pegiat bantuan hukum baik secara personal maupun yang tergabung dalam LBH sebenarnya memiliki kewajiban sebagaimana profesi yang disandangnya (officium nobile) untuk membantu masyarakat miskin, agar mereka bisa merasakan tentang keadilan hukum dalam dimensi ruang dan waktu, serta bisa merasakan manfaat dari keberadaan pegiat bantuan hukum dalam lingkungan kehidupan mereka yang selama ini cenderung menjadi objek ketidakadilan penegakan hukum dan komoditas kepentingan politik kekuasaan.

Penulis: Ribut Baidi, Advokat/Pengacara dan Dosen ilmu hukum Universitas Islam Madura (UIM), Pengurus Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI).

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry