KENA KASUS KORUPSI: Ratu Atut Chosiyah dan Rano Karno semasa masih menjabat. (ist)

BANTEN | duta.co – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut mantan Gubernur Banten Ratu Atut Choisiyah dengan hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider enam bulan kurungan. Atut juga harus mengganti kerugian negara Rp 3,8 miliar.

“Terhadap terdakwa harus dikenai uang pengganti Rp 3,8 miliar. Jumlah tersebut sudah selayaknya dikompensasi untuk negara sebagai uang pengganti,” ujar jaksa KPK Budi Nugraha saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (16/6).

Menurut jaksa, Atut terbukti merugikan negara sebesar Rp 79,7 miliar dalam pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten. Atut dinilai telah memperkaya diri sendiri sebesar Rp 3,8 miliar. Namun, menurut jaksa, dalam masa penyidikan Atut telah menyerahkan uang sebesar Rp 3,8 miliar ke rekening KPK. Uang itu kemudian diterima sebagai barang sitaan.

Menurut jaksa, Atut telah melakukan pengaturan dalam proses pengusulan anggaran Dinas Kesehatan Provinsi Banten pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2012, dan APBD Perubahan 2012.

Selain itu, Atut diduga melakukan pengaturan pelaksanaan anggaran pada pelelangan pengadaan alat kesehatan (alkes) Rumah Sakit Rujukan Pemprov Banten. Atut dinilai memenangkan pihak-pihak tertentu untuk menjadi rekanan Dinas Kesehatan Provinsi Banten.

Atut didakwa bersama-sama dengan adik kandungnya, yakni Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Dalam kasus ini, proses penentuan anggaran dan pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten, diduga dikendalikan oleh Wawan.

Wawan diduga mengatur proses penunjukan langsung perusahaan yang akan menjadi pelaksana pengadaan alkes. Selain korupsi dalam pengadaan alkes, Atut dinilai terbukti memeras empat kepala dinas di Pemprov Banten.

Menurut jaksa, uang sebesar Rp 500 juta didapat dari Kepala Dinas Kesehatan Banten Djadja Buddy Suhardja sebesar Rp 100 juta, dari Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Permukiman Provinsi Banten Iing Suwargi sebesar Rp 125 juta.

Kemudian, dari Kepala Dinas Bina Marga dan Tata Ruang Provinsi Banten Sutadi sebesar Rp 125 juta, dan dari Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Banten Hudaya Latuconsina sebesar Rp 150 juta.

Menurut jaksa, uang senilai Rp 500 juta itu digunakan untuk kepentingan Atut dalam rangka mengadakan kegiatan Istighosah. Kegiatan itu untuk mendoakan Atut yang telah dicekal oleh KPK.

Sejak awal dilantik, keempat pejabat tersebut telah diminta untuk memenuhi beberapa syarat. Keempat kepala dinas tersebut diminta untuk loyal dan taat kepada permintaan Atut. “Kepala dinas takut dipecat atau dimutasi sehingga tertekan secara psikis, dan akhirnya bersedia memberikan uang,” kata Atut.

Pada perkara ini, jaksa menjerat Atut melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. Alternatifnya, jaksa meminta hakim menjatuhkan pidana dengan Pasal 12 huruf e UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Atut.

Dalam tuntutannya, jaksa KPK menyampaikan beberapa hal. Yang memberatkan Atut, perbuatannya dianggap tak mendukung pemerintah dalam memberantas korupsi dan dinilai turut menikmati hasil korupsi.

Sementara itu, yang meringankan, terdakwa berlaku sopan selama persidangan, mengakui perbuatan, dan terdakwa sudah mengembalikan uang melalui KPK.

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta kemudian mempersilakan Atut dan penasihat hukumnya untuk menyiapkan pledoi atau nota pembelaan. Sidang lanjutan kasus ini akan digelar pada 6 Juli 2017.

Ratu Atut yang menghadiri sidang menggunakan pakaian senada hitam itu tidak memberikan tanggapannya atas tuntutan delapan tahun penjara. Dia memilih bungkam sembari meninggalkan ruang sidang.

 

Akui Staf Terima Rp3,5 M

Dalam sidang sebelumnya, Atut mengakui bahwa stafnya, Siti Halimah, menerima uang Rp3,8 miliar dari Dinas Kesehatan Banten. Namun, Atut mengatakan baru mengetahui uang tersebut diterima Siti di dalam persidangan.

“Saya tahu setelah di persidangan dan rekonstruksi,” kata Atut saat menjalani pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu 31 Mei 2017.

Dalam persidangan, terungkap uang miliaran diterima staf Atut dari orang bernama Jana Sunawati. Jana merupakan dokter umum yang sebelumnya disebut Atut tak terlibat kasus proyek alat kesehatan. Atut mengaku hanya sering memeriksa kesehatan dan meminta obat ke dokter Jana. “Saya tak tahu sama sekali tugas fungsi yang bersangkutan itu,” ujarnya.

Meski begitu, Atut mengaku sudah mengembalikan uang tersebut ke KPK. Uang itu menurutnya diserahkan secara bertahap.

Dalam dakwaan KPK, Jana Sunawati disebut pernah ditunjuk Kepala Dinas Kesehatan Banten untuk menjadi Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dan Panitia Pengadaan Sarana dan Prasarana RS Rujukan Provinsi Banten TA 2012.

Jana kemudian menyusun spesifikasi teknis dan harga bersama Yuni Astuti, pemilik PT Java Medica dan orang kepercayaan Wawan. Lalu dalam prosesnya, paket pekerjaan ini dipecah menjadi 10 paket.

 

Rano Terima Rp700 Juta

Dalam surat tuntutan yang dibacakan jaksa KPK di Pengadilan Tipikora Jakarta, Jumat (16/6), Rano Karno disebut menerima uang Rp 700 juta terkait pengadaan Alkes RS rujukan Banten saat masih menjabat Wagub Banten.

Menurut jaksa, duit yang diterima sejumlah pihak termasuk Rano Karno terkait dengan perusahaan pemenang lelang. Ini terkait dengan penyusunan dan pelaksanaan anggaran untuk pengadaan Alkes Rumah Sakit Rujukan Pemprov Banten tahun 2012.

Menurut jaksa, Direktur PT Bali Pasific Pragama TB Chaeri Wardana Chasan alias Wawan yang juga adik Ratu Atut pernah meminta Dadang Prijatna staf PT BPP agar masing-masing Direktur perusahaan pemenang lelang menyerahkan uang secara tunai.

Uang yang ditransfer Rp 112 miliar untuk pengadaan Alkes yang bersumber APBD Tahun 2012 sebesar Rp 88 miliar. “Sedangkan untuk pengadaan alkes yang bersumber APBD Tahun 2012 sebesar Rp 24 miliar,” kata jaksa.

Setelah uang diterima, Wawan meminta Yuni Astuti pegawai PT Bali Pasific Pragama untuk mengeluarkan kasbon untuk kepentingan Dinkes Provinsi Banten dengan rincian sebagai berikut:

  1. Djaja Buddy sebesar Rp 240 juta
  2. Ajat Drajat sebesar Rp 295 juta
  3. Rano Karno sebesar Rp 700 juta
  4. Jana Sunawati sebesar Rp 76 juta
  5. Tatan Supardi sebesar Rp 63 juta
  6. Abdul Rohman sebesar Rp 60 juta
  7. Ferga Andriyana sebesar Rp 50 juta
  8. Eki Jaki sebesar Rp 20 juta
  9. Suherman sebesar Rp 15 juta
  10. Aris Budiman sebesar Rp 1,5 juta
  11. Sobran sebesar Rp 1 juta

Sebelumnya Rano Karno sudah pernah memberikan bantahan soal aliran dana yang disebut eks Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten Djaja Budi Suhardja dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Rabu (15/3) lalu.

“Saya membantah keras semua tuduhan yang disampaikan Saudara Djaja, mantan Kepala Dinas Kesehatan Pemprov Banten, yang sudah diketahui umum telah menandatangani surat pernyataan loyalitas kepada Gubernur Banten ketika itu, Ratu Atut Chosiyah, di hadapan Saudara Tubagus Chaeri Wardana,” ujar Rano dalam keterangan tertulis, Rabu (15/3) lalu.

Rano mengatakan, tindak pidana korupsi yang membuat Ratu Atut menjadi terdakwa terjadi pada tahun anggaran 2011-2012. Sementara Rano dilantik sebagai Wagub Banten pada 11 Januari 2012.

“Saya tidak terlibat dan tidak pernah dilibatkan sama sekali dalam proses perencanaan, penganggaran, hingga penggunaan mata anggaran alat kesehatan tersebut yang berujung pada tindak pidana korupsi,” tegas Rano.

Ratu Atut dituntut 8 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan. Ratu Atut diyakini jaksa pada KPK melakukan korupsi dengan mengatur proses penganggaran pengadaan alat kesehatan (alkes) Banten. hud, net

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry