Oleh: Abdul Wahid*

SAAT pandemi Covid-19, salah satu kelompok sosial yang menderita adalah jutaan orang yang sudah sekian lama masih hidup miskin dan sejumlah orang yang kehilangan pekerjaan yang mengakibatkan hidup kesulitan ekonomi, yang kemudian bestrata baru sebagai “new miskin”.

Dalam ranah itu, kita yang hidup berlandaskan ideologi Pancasila, tidak boleh membiarkannya. Baik yang sedang jadi pemangku kekuasaan maupun yang hidup dalam “kaningratan” ekonomi  punya kewajiban istimewa untuk mehumanisasikannya. Tanpa mereka, hidupnya akan dihadapkan penderitaan berlapis, pasalnya selain harus berjuang melawan Covid-19, mereka juga harus mengalahkan ketidakberdayaanya.

Pertanyaan orang kecil yang sedang kesulitan ekonomi diantaranya, apakah gunanya menghafal sila-sila dalam Pancasila sekarang, kalau dalam hidup keseharian ini yang banyak diperagakan bukan “ruh” ideologi negara, tetapi model penghidupan yang mengabaikannya? atau masih diperlukankah doktrin pemanusiaan manusia diaktualisasikannya?

Jikalau hidup merupakan ganjaran yang dapat dibeli dengan uang, maka orang kaya mau hidup dan orang miskin mau mati, demikian bunyi  pepatah tua dari  Jenny Taichman (1996) yang sejatinya ditujukan sebagai bentuk “kritik radikal” terhadap kondisi paradoksal di tengah masyarakat antara komunitas mapan dengan orang susah.

Komunitas mapan digambarkan sebagai kumpulan manusia-manusia yang hidup kesehariannya dibanjiri oleh sumber pendapatan, kebutuhan pangan jauh lebih dari cukup, makan serba enak, punya dan bisa gunakan alat transportasi  beragam, berkuasa, punya jaringan eksklusif, dan bahkan bisa menentukan nasib banyak orang, termasuk masa depan bangsa, karena di dalam diri dan akselerasi perannya, seringkali (kalau tidak dibilang selalu) bisa menentukan nasib banyak pihak.

Sementara kalau orang miskin yang serba kurang, seperti kekurangan uang, kekurangan jaminan kebahagian, jauh dari impian menuai kesejahteraan, dilanda kekurangan bahan pangan, dan kerap menjadi korban kompetisi hidup,  bukan tidak mungkin kalau andaikan saja Tuhan merestui menggunakan “right to dead”, maka hak ini bisa jadi akan dipilihnya lebih dulu daripada berlama-lama terhegemoni oleh penderitaan atau ketidakberdayaan berlapis.

Memang kebutuhan pangan orang miskin itu jauh lebih mahal dan bernilai, karena hal ini bersentuhan secara langsung  dan empirik dengan kesulitan keseharianya. Mereka yang ditimpa kekurangan cadangan pangan misalnya boleh jadu bukan hanya rentan terancam normalitas kesehatannya, tetapi juga terancam nyawanya.

Kau yang lapar, siapa yang akan memberimu makan?datanglah pada kami, kami pun kelaparan. Hanya orang-orang lapar yang akan memberimu makan, demikian pernyataan Bertold Brecht dalam “Semua atau Tidak Sama Sekali”, yang merupakan kritik tajam terhadap nurani kemanusiaan pemimpin  kita.

Tulisan Brecht itu sejatinya mengkritik keras setiap subyek bangsa, khususnya yang “bermandikan“ kemakmuran (kemapanan) ekonomi untuk tidak berpangku tangan terhadap kesulitan seperri kelaparan yang diderita sesamanya.

Di dalam komunitas orang yang mapan, terdapat modal privilitas untuk mengubah dan bahkan mendekonstruksi kehidupan banyak orang yang sedang dihadapkan dengan kompilasi kesulitan. Di dalam dirinya terkumpul power  ynag bisa membuat kehidupan sesamanya menuai  “surga“.  Bagi orang miskin, kebahagiaan atau minimal setiap hari tidak mengalami kesulitan pangan adalah “surga“. Dalam ranah ini, jika kekuatan mapan ini membumikannya, maka mereka identik sebagai pengamal Pancasila. Mereka ini menjadi  “rasul ideologis“ (Pancasila) dalam mewujudkan kepentingan kemanusiaan.

Penegakan atau pembumian “rasul ideologis“ itu seirama dengan tealadan Nabi Muhammad. Beliau ini adalah tipe pemimpin yang negarawan, yang bahasa kepemimpinannya bukan menguasai dan menghegemoni, tetapi mencintai, mengasihi, dan jauh dari sikap menuntut, apalagi sampai menyalahkan rakyat kecil. Agama yang diberlakukan untuk rakyat kecil adalah agama yang benar-benar membebaskan, bukan yang membebani, mengebiri, dan menjajahnya.

Ketika ada seorang sahabat bertanya mengenai cara yang gampang menemuinya, beliau menjawab “temuilah aku diantara orang-orang kecil, orang-orang kalah, dan orang-orang miskin”.  Di Hadis lainnya, Nabi bahkan menentukan “surga itu ada kuncinya dan kuncinya surga  ini ada di tangan orang miskin. Sabda ini menunjukkan, bahwa agama untuk rakyat kecil adalah agama yang memberdayakan, mengayomi, dan mengadvokasinya, bukan agama yang diberlakukan represip.

Saat hendak terjadi perang badar, Nabi menunjukkan strategi perang kepada sahabat-sahabatnya. Namun salah seorang sahabat yang ahli strategi menanyakan apakah  strategi itu perintah wahyu. Nabi menjawab tidak dan meminta sahabat ini menyampaikan strateginya, “jika Nabi percaya, strategi ini bukan hanya akan memenangkan perang, tetapi juga mencegah terjadinya banyak korban nyawa akibat perang”. Nabi kemudian mengikuti saran sahabatnya ini, yang kemudian tercatat kebenarannya dalam sejarah.

Teladan yang ditunjukkan Nabi dan sahabat-sahabatnya itu merupakan produk kreatifitas keberagamaan yang memihak masyarakat kecil, menghormati dan menghargai jeritan komunitas akar rumput, suatu praktik religiusitas yang berbasis humanitas, mencegah datangnya derita dan membebaskan kesulitan yang telah merajam kehidupan masyarakat.

“Umat beragama yang tidak mampu memberikan solusi pada persoa­lan kemanusiaan tidak akan punya masa depan yang cerah”, demikian pernyataan pemikir kenamaan Fazlur Rahman dalam Major Themes of the Qur’an (1980).

Pernyataan Rahman tersebut mengisaratkan bahwa etos kemus­liman atau keberagamaan seorang penguasa itu ditentukan lewat “karya”, prestasi dan praksis amaliah sosialnya yang bertujuan dan berorientasi pada pembaruan, pembugaran dan pencerahan harkat kemanusiaan secara universalitas.

Pencerahan sosial hanya mungkin terlahir lewat sosok pemimpin atau manusia-manusia beragama yang jiwa humanistiknya “membara” dan selalu berupaya untuk melakukan reformasi dan transformasi nilai dalam diri dan kepemimpinannya. Tidak akan ada hasil yang menggembirakan (mencerahkan) yang bisa ditunai oleh seorang presiden sekalipun tanpa didahului oleh kerja dan pengabdian maksimalnya kepada rakyat, khususnya masyarakat kecil.

Masyarakat akar rumput akan tetap berbalut derita jika pemimpin kita tidak bersungguh-sungguh (mujahadah) dalam menyelami lautan penderitaannya. Surga sosial akan bisa terwujud dan menyejarah di tangan pemimpin yang mengerahkan kapabilitas dan akseptabilitasnya untuk mencegah terbentuknya neraka sosial yang menyengsarakan rakyat kecil.

Itu berarti, hidup seorang pemimpin atau orang kaya di tengah komunitasnya atau pemangku di antara rakyatnya wajib bermakna seabagai “rasul ideologis“,  yakni apa yang diperbuatnya harus mengalir jernih dan mengairi rakyat dengan pengabdian paripurna dan sakralitas. Gerakan kerja, kompetensi, tugas dan amal profetiknya harus mendulang dan memenangkan hak-hak suci publik atau rakyatnya dibandingkan hak-hak privasi, kerabat, dan kroni-kroninya.

Pengajar Program Pascasarjana Universitas Islam Malang dan pengurus AP-HTN/HAN dan penulis sejumlah buku Terorisme

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry