“Inisiasi siapapun, apalagi Kementerian Kehutanan dalam Ramadan ini menyajikan peringatan Hari Rimbawan adalah memetik nilai-nilai momentum spiritual sekaligus institusional yang tepat.”
Oleh  Suparto Wijoyo*

AHAD kemarin, 16 Maret 2025 diperingatan sebagai Hari Bakti Rimbawan. Tepatnya Peringatan Hari Bakti Rimbawan ke-42 tahun 2025. Tema yang diusung adalah “Solidaritas Korsa Rimbawan Untuk Hutan Berkelanjutan”. Sebagai sebuah peringatan, Hari Bakti Rimbawan merupakan ekspresi penghikmatan atas terbentuknya Departemen Kehutanan pada tanggal 16 Maret 1983. Bagi kaum rimbawan seperti yang tampak pada kolega saya di Perhutani, sangat disambut antusias. Meski hutannya berkurang atau sedang terjadi deforestasi dia bergiat menanam pohon. Hari bakti ini pun di tahun 2025 dijadikan sebagai tonggak konsolidasi para rimbawan di seluruh Indonesia untuk kembali menguatkan komitmen dan kesadaran dalam berkarya serta membangun hutan dan kehutanan Indonesia. Demikianlah nukilan beragam pemberitaan yang mengutip dari Kementerian Kehutanan.

Pada Ramadan ini, peringatan tersebut seperti pengalaman sebelumnya dijadikan ajang dimana kantor-kantor pemerintahan itu menata wajahnya. Orang-orang semliwer (hilir-mudik) memenuhi ruang-ruang dan halaman yang diberi penanda acara Ramadan. Suasananya seperti di pondok-pondok pesantren. Staf-staf perkantoran itu mengenakan pakaian yang menjadi penanda seperti santri yang lagi rajin mengaji. Ibu-ibu dan bapak-bapak menyimak dengan khusuk. Baju putih lengan panjang serta berkopyah menjadi ciri khas yang mengesankan memenuhi helatan. Saya sendiri di rumah dan anak-anak di perkebunan melakukan kerja bakti. Ahad kemarin kami sedang menikmati dengan menyelenggarakan acara merawat pohon-pohon di kebun rumah sambil menata tanaman yang telah ada. Kalau tahun lalu kami semarak dengan penyelenggaraan Green Ramadan. Aktivitas ini merupakan gambaran yang menuangkan rasa syukur atas kehadiran bulan suci Ramadan. Di lain tempat rimbawan diajak kumpul mendengarkan kajian maupun musik shalawatan. Yang main adalah Dharma Wanita. Lantunan suara serta seragam yang dikenakan seperti umumnya group berzanji, yang tetap indah meski dilakukan “pasukan berumur”, alias tidak muda lagi.

Momentum Ramadan dan Hari Rimbawan memiliki ruang dalam selongsong acara helatan Green Ramadan. Di rumah-rumah pembaca atau di desa serta pesantren-pesantren mestinya terpanggil untuk green ramadan. Andai saja peringatan ini diumumkan jauh hari. Karena betapa minimnya informasi mengenai Hari Rimbawan maka saya tuliskan di kolom ini, di Harian Duta Masyarakat ini sebagai wujud keterpanggilan kaum rimbawan memakmurkan bumi Allah swt. Para rimbawan turut hadir dalam kosmologi lingkungan untuk dibersamai seluruh keluarga Indonesia dengan berbagi bibit pepohonan yang menjadi keberpihakannya selaku penanam pohon. Saya sendiri menjadi bagian dari rumpun tulisan ini selaksa apresiasi. Gerakan tanam pohon sejatinya menyatukan ibadah dalam ruhani teologis sekaligus ekologis. Sejenis gerakan sedekah oksigen. Inilah acara yang harus dianggitkan untuk menggelorakan tanam pohon. Sejurus waktu mengingatkan saya pada pesan Rasulullah Muhammad Saw: “Dari sahabat Anas ra, Rasulullah saw bersabda, ‘Tiada seorang muslim yang menanam pohon atau menebar bibit tanaman, lalu (hasilnya) dimakan oleh burung atau manusia, melainkan ia akan bernilai sedekah bagi penanamnya,'” (HR Bukhari, Muslim, dan At-Tirmidzi).

Untuk itulah inisiasi siapapun, apalagi Kementerian Kehutanan dalam Ramadan ini menyajikan peringatan Hari Rimbawan adalah memetik nilai-nilai momentum spiritual sekaligus institusional yang tepat. Peringatan ini memberikan refleksi atas kenyataan. Banyaknya tanah longsor, banjir dan alih fungsi kawasan yang terekam selama ini sejatinya menjadi bukti bahwa bumi sedang didera bencana.  Sungguh itu semua merupakan realitas derita ekologis dengan konsekuensi kerugian ekonomi dan sosial yang besar. Apalagi di musim penghujan ini. Mengapa tragedi banjir dan longsor mentradisi dengan intensitas hujan dijadikan sebagai tertuduh tanpa henti?  Rakyat sejatinya teramat paham bahwa penyebab utama longsor bukanlah air hujan, melainkan buruknya manajemen lingkungan yang abai pada hutannya. Banyak pihak menjadi sangat fasih membincangkan angka-angka agar hutan semakin produktif dengan aspek komoditi tanpa keterampilan mendeteksi keroposnya kawasan konservasi. Kaum rimbawan tampil dalam seruan yang menggugah: memperkuat solidaritas untuk mengembalikan hutan agar terus berkelanjutan.

Krisis lahan dan hutan yang terdeforestasi adalah ancaman serius. Terhadap hal ini saya teringat pemikiran kritis Daron Acemoglu dan James A. Robinson (2012) dalam buku hebatnya Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty. Mengapa negara gagal memakmurkan rakyat dan menghadirkan kemiskinan. Dituturkan bahwa budaya, iklim, geografi, maupun kebodohan bukanlah faktor definitif yang menentukan takdir suatu bangsa, melainkan institusi politik-ekonomi sangatlah berpengaruh. Dalam lingkup demikianlah, perubahan lahan dan laku membabat hutan pastilah bukan karena “budaya” melainkan kebutuhan menyambung  hidup yang salah. Di sinilah negara mutlak hadir memberikan  pengaturan penataan ruang wilayah dengan perspektif  planologi, ekologi, hidrologi, klimatologi, vulkanologi,  geografi, demografi, bahkan ideologis-teologis.

Alhamdulillah ada acara Perinngatan Hari Rimbawan. Paling tidak ini menyakinkan  saya  bahwa di Indonesia masih banyak orang peduli lingkungan.  Bahkan tumbuh subur para  “pengabdi hutan”. Hadirnya aktivitas ekologis untuk merajut pohon agar tetap berjajar di setiap pangkuan Ibu Pertiwi adalah kebaikan bagi Indonesia. Inilah orang-orang tanpa pamrih yang  rela “lelono mageri” Ibu Pertiwi senyampang tidak kehabisan oksigen, karena mereka  menyadari bahwa para pemudik esok hari akan mengeluarkan emisi yang menyesaki atmosfer NKRI. Pemudik yang baik adalah pemudik yang mempertimbangkan “kesalehan lingkungan” dengan   bersedekah wit-witan: pohon untuk kehidupan.

Hatur nuhun kepada Saudaraku  yang tanpa jeda menjemput “pulung lingkungan” dengan merawat pohon-pohon dari rumah masing-masing. Ritual kehutananmu kaum rimbawan selama ini menggiring lembaga pemerintahan untuk setia kepada janjinya: menjaga laku forestry dan kehormatan keluarga bumi. Ayat Alquran  surat Al An’am 99 dapat menjadi referensi pergerakan merawat pohon-pohon kehidupan: ”Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan. Maka, Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak. Dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pula) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.” Barokallah dan selamat menaman dan/atau merawat pohon. Sekarang juga lakukan. (*)

*Prof Dr H Suparto Wijoyo, SH, MHum, CSS adalah Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan SDA MUI Jawa Timur, Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur dan Guru Besar serta Wakil Direktur III  Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.

 

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry