JAKARTA | duta.co – KH Ahmad Mustofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus menerima penghargaan Yap Thiam Hien 2017. Gus Mus dinilai memiliki perhatian yang besar terhadap perjuangan dan tegaknya nilai-nilai hak asasi manusia (HAM). Namun, Gus Mus sendiri mengaku tak tahu HAM.
Yap Thiam Hien award merupakan penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang berjasa besar dalam upaya penegakan HAM di Indonesia. Nama penghargaan ini diambil dari nama pengacara dan pejuang HAM, Yap Thiam Hien. Proses penentuan peraih Yap Thiam Hien Award 2017 diawali dengan mengumpulkan kandidat yang dihimpun dari jaringan/komunitas dan masyarakat luas sejak Mei 2017.
Ada lima orang dewan juri Yap Thiam Hien Award pada tahun ini. Mereka adalah Makarim Wibisono (diplomat senior), Siti Musdah Mulia (Ketua Umum ICRP), Yoseph Stanley Adi Prasetyo (Ketua Dewan Pers), Zumrotin K Susilo (aktivis perempuan dan anak), serta Todung Mulya Lubis.
Gus Mus, kiai pengasuh Ponpes Raudlatut Tholibin, Rembang, ini merupakan ulama pertama yang menerima penghargaan Yap Thiam Hien. Penghargaan diserahkan oleh Menteri Kealutan dan Perikanan Susi Pujiastuti di Aula Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Rabu (24/1) malam.
Todung Mulya Lubis, ketua Yayasan Yap Thiam Hien Award, mengatakan, Gus Mus memang tidak pernah dikenal sebagai aktivis hak asasi manusia seperti Yap Thiam Hien atau Munir Said Thalib.
Gus Mus lebih dikenal sebagai tokoh Nadhatul Ulama (NU), kiai, pimpinan pondok pesantren, dan budayawan. “Namun buat saya, Gus Mus dengan semua karyanya, dengan semua sepak terjangnya, keterlibatannya, adalah seorang pejuang hak asasi manusia,” ujar Todung saat ditemui sebelum acara.
Menurut Todung, Gus Mus telah banyak berkontribusi untuk merawat keberagaman di Indonesia. Perjuangan Gus Mus memang tidak ia perlihatkan melalui demonstrasi atau aksi-aksi lainnnya. Namun, Gus Mus menorehkan pemikiran dan gagasannya soal keberagaman lewat tulisan serta tutur kata yang ia sampaikan ke seluruh santrinya.
“Gus Mus memang tidak berdemonstrasi tapi lewat menulis puisi, disalurkan ke santri-santrinya dan juga masyarakat,” ucap Todung.
Todung menuturkan, saat ini masyarakat sangat membutuhkan sosok seperti Gus Mus di tengah menguatnya paham radikalisme dan sektarianisme. Kedua paham tersebut, kata Todung, sangat mengganggu situasi masyarakat yang beragam dan majemuk.
Gus Mus dinilai tidak pernah rela keberagaman dirusak oleh kelompok-kelompok tertentu. “Kita sangat butuh sosok yangkuat konsisten dan jujur seperti Gus Mus. Beliau tidak ikhlas jika kemajemukan dicabik oleh ideologi yang anti kemajemukan,” kata Todung.
Todung mengatakan, terpilihnya Gus Mus juga mempertimbangkan konteks politik Indonesia kekinian. Kondisi di mana agama kerap dijadikan alat politik untuk meraih kekuasaan. “Ini memang pertama kali ulama menerima Yap Thiam Hien award. Ia tak suka melihat agama dipolitisasi, dijadikan alat politik,” tuturnya.
Dalam acara penganugerahan tersebut, hadir Menkumham Yasonna Laoly, Menteri KKP Susi Pudjiastuti, Wakil Ketua KPK Laode M Syarief, Komisioner Komnas HAM Beka Hapsara dan Wakil Ketua Komisi Yudisial Sukma Violetta.
Allah-Nabi Muliakan Manusia
Dalam pidatonya saat menerima Yap Thiam Hien, Gus Mus menyatakan, para Nabi adalah manusia yang memuliakan manusia dan memperlakukan manusia sebagai manusia. Bahkan Allah Sang Pencipta alam semesta juga sejak awal memuliakan manusia.
Menurut Gus Mus, dalam ajaran Islam, landasan utama dalam memuliakan dan memanusiakan manusia terdapat dalam kitab Suci Alqur’an yang berbunyi Wa laqod karromna banii aadama yang artinya Allah sejak awal memuliakan manusia (QS 17:70).
Lebih lanjut Gus Mus menjelaskan, dirinya bukanlah orang yang mengagungkan HAM karena didengungkan oleh orang-orang Barat. Namun dirinya hanya memperjuangkan terciptanya keadilan bagi siapa pun manusia. Itulah yang sesuai dengan ajaran agama Islam dan ajaran para gurunya.
Dalam nada kelakar Gus Mus menyatakan, “Saya ini tidak tahu HAM karena pendidikan saya hanya sedikit lebih rendah dari Bu Susi (Susi Pujiastuti/Menteri Perikanan dan Kelautan). Bu Susi tamat SMP, sedang saya hanya sampai kelas satu Madrasah Tsanawiyah (setara kelas 1 SMP).”
“Saya ini ndak tahu apa itu HAM, nasionalisme, dan lain-lain karena sejak kecil saya dididik di pesantren. Saya hanya diajari bahwa Indonesia adalah rumahmu, maka kamu harus jaga. Jangan rusak rumahmu dan jagalah rumahmu dari gangguan orang lain,” terang Gus Mus disambut tepuk tangan meriah hadirin.
Lebih lanjut, Gus Mus menandaskan, ketidakadilanlah yang membuat orang marah dan kemarahan itulah yang membuat orang bersikap ekstrem. “Maka kuncinya adalah bagaimana keadilan ditegakkan agar tidak menimbulkan kemarahan dan tindakan ekstrem lainnya,” tandasnya. hud, kcm, nuo