“Gerakan pemurnian  berdampak langsung terhadap matinya kasadaran akan perlunya harmoni sosial dan mencabut masyarakat dari tradisi lokal. Pemaksaan kehendak demi hegemoni ideologi kerap terjadi tanpa merasa bersalah. Konsekuensi lebih lanjut adalah hilangnya pengakuan terhadap pranata sosial yang ada.”

Oleh: Achmad Murtafi Haris*

Benarkah Radikalisme Islam adalah produk dari gerakan Pembaharuan Islam? Dalam tulisan ini izinkan saya membuat thesis statement bahwa benar radikalisme Islam adalah buah dari Pembaharuan Islam dan bahwa ia (para pembaharu red.)  paling bertanggung jawab terhadap fenomena itu.

Kaum pembaharu yang hadir dengan paradigma baru yang diadopsi dari Timur Tengah, khususnya Mesir, mengembangkan perubahan di segala aspek kehidupan, baik agama, sosioal, politik, ekonomi dan budaya dan menolak banyak hal yang telah berlaku selama ini dalam praktek dan tradisi keagamaan.

Seperti halnya pembaharuan Kristen yang menolak banyak hal yang ada dalam tradisi Katholik, pembaharu Islam juga menolak banyak hal yang ada dalam tradisi Islam. Tradisi yang sejatinya adalah manifestasi ajaran Islam dalam budaya lokal, dengan dalih pemurnian ajaran Islam, mereka tolak, meski tradisi tersebut mengandung elemen ajaran Rasulullah. Seluruh seremoni keagamaan yang tidak dilakukan nabi, mereka menolaknya. Demikian juga Peringatan Hari Besar Islam (PHBI), peringatan kematian (Haul), bacaan Tahlil setelah kematian, doa tujuh bulan kehamilan (mitoni), dll.

Paradigma puritan ini telah menjadi core-value gerakan pembaharuan Islam dan mencap tradisi Islam sebagai sebuah distorsi yang harus diganti dengan pandangan yang lebih produktif bagi kemajuan duniawi. Meminjam istilah Thaha Hamim dalam menjelaskan perspektif kaum pembaharu tentang tradisi Islam, bahwa ibarat tubuh yang terlalu gemuk oleh lemak yang tidak sehat, maka tradisi-tradisi itu adalah lemak yang tidak menyehatkan yang harus dibuang dari umat Islam. Sebagai gantinya, energi disalurkan ke kegiatan yang lebih konkret seperti pendidikan dan santunan anak yatim.

Di antara sekian banyak organisasi yang memeluk faham pembaharuan, Muhammadiyah adalah jagonya di bidang ini. Muhammadiyyah memiliki lembaga pendidikan formal dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi dan rumah sakit dengan jumlah yang besar kalau tidak fantastis.

Dubes Syria untuk Indonesia yang sedang menempuh kuliah S3 di UIN Syarif Hidayatullah yang dipromotori oleh Din Syamsuddin mantan Ketua Umum PP Muhammadiyyah mengatakan, bahwa jumlah rumah sakit Muhammadiyyah lebih banyak daripada seluruh rumah sakit yang ada di Syria. Hal ini menunjukkan betapa gerakan pembaharuan adalah gerakan yang produktif dalam membangun peradaban Islam.

Meski produktifitasnya tidak bisa dipungkiri, bukan berarti gerakan pembaharuan tidak memiliki sisi negatif. Pemberangusan tradisi berakibat pada penggerusan aset budaya dan timbulnya disharmoni sosial. Ketegangan-ketegangan di tengah masyarakat yang diakibatkan oleh gerakan pemurnian Islam,  itu tidak kunjung reda hingga kini.

Setelah gerakan Muhammadiyah sudah break dari aktifitas ini dan bersikap lebih lunak bahkan mengangkat jargon Dakwah Kultural yang notabene berseberangan dengan nilai dasar puritanisme, muncul kelompok-kelompok baru yang mengambil alih posisi Muhammadiyah. Majelis Tafsir al-Quran  dan gerakan Salafi Wahabi Indonesia adalah kelompok baru yang melangggengkan ketegangan dan perselisihan yang anti tradisi Islam.

Gagal faham terhadap esensi tradisi Islam adalah masalah yang dampaknya terus berlanjut hingga kini. Manusia tidak hanya membutuhkan materi sebagai wujud konkret dari keberhasilan sebuah gerakan sosial keagamaan. Manusia juga membutuhkan kepuasan batin di luar materi yang bisa didapat dalam tradisi sebagai wadah berkumpul, bercengkerama dan bersenda gurau satu sama lain. Mereka demi tradisi rela mengorbankan harta dan tenaga demi solidaritas bersama. Ini adalah aset budaya yang mempererat kohesi sosial yang mengantarkan pada harmoni yang seringkali tidak mampu difahami masyarakat modern yang menekankan pada keuntungan materi.

Gerakan pemurnian  berdampak langsung terhadap matinya kasadaran akan perlunya harmoni sosial dan mencabut masyarakat dari tradisi lokal. Pemaksaan kehendak demi hegemoni ideologi kerap terjadi tanpa merasa bersalah. Konsekuensi lebih lanjut adalah hilangnya pengakuan terhadap pranata sosial yang ada.

Para petinggi masyarakat apakah itu tokoh adat atau tokoh agama tidak mereka akui eksistensinya. Mereka mengambil jalan sendiri dengan mem-bypass tatanan social, sehingga kontra produktif bagi tercapainya kemaslahatan dan kemajuan umat Islam yang diimpikan oleh kaum pembaharu.

Jadilah keinginan untuk meraih cita-cita mulia menghalalkan segala cara dan menempuh jalan yang ‘terjal’ yang justru menarik peradaban mundur ke belakang, karena banyak korban dan mahalnya ongkos yang diakibatkan oleh perubahan drastis yang ditempuh.

Gerakan radikal itu bahkan menempuh jalan yang sangat ekstrim dan mengangkat senjata dengan melakukan aksi terror agar semua orang takut dan menuruti apa yang mereka inginkan. Pada tataran ini,  nyawa manusia tidak lagi berarti. Demi perubahan sosial seperti pandangan yang mereka impikan, yaitu ‘berlakunya’ syariat Islam yang murni, rasa aman dan bahkan nyawa manusia dikorbankan.

Niat baik ‘demi’ Islam  berubah menjadi emosi yang tidak terkendali yang memangsa dirinya sendiri. Hampir pasti, di manapun, aksi kekerasan atas nama Islam selalu jatuh korban mayoritas dari kalangan umat Islam sendiri. Seandainya pun dari kalangan non-muslim, maka mereka adalah warga sipil yang tidak tahu-menahu urusan memperjuangkan syariat Islam. Mereka juga bukan sasaran yang diperbolehkan untuk diserang lantaran mereka dari kalangan sipil. Apalagi yang meninggal dari kalangan wanita dan anak-anak seperti bom bunuh diri yang terjadi di Pakistan dan Afghanistan pada 2017 yang memakan korban 60 orang di sebuah taman bermain, sungguh suatu hal yang miris dan ironi. Betapa mengatasnamakan agama bisa membuat nyawa anak-anak melayang tanpa sang pelaku merasa bersalah.

Jika dilihat afiliasi faham yang mereka anut, atau yang dianut oleh kelompok radikal, bisa dipastikan bahwa mereka menganut faham pemurnian agama yang anti tradisi Islam. Yaitu faham  yang menghalalkan pengeboman makam-makan wali dan nabi seperti yang dilakukan Salafi Wahabi di Saudi Arabia pada awal kemenangannya, di awal abad dua puluh. Ini kemudian diikuti dengan pembersihan seluruh lawan politik dan tokoh Islam dari kalangan faham yang berbeda untuk diterapkan faham yang baru yang mereka usung.

Gerakan pemurnian ini merupakan paket yang tidak terpisahkan dari gerakan pembaharuan Islam selain modernisme. Ia sama sekali bukan bagian dari faham yang ada (Islam tradisional) dan itu tidak mungkin sebab Islam tradisional justru faham petahana yang ingin mereka hancurkan demi perubahan yang diimpikan.

Dampak destruktif dari gerakan pembaharuan begitu besar. Hingga kini terus terjadi dan telah berlangsung lebih dari satu abad. Gelombang aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh kelompok Islam garis keras adalah tragedi kemanusiaan yang paling mengerikan dalam sejarah peradaban manusia. Itu terjadi karena pemaksakan agenda perubahan yang tidak kunjung terwujud, sebuah agenda yang menjadi impian kaum pembaharu. Maka, kaum pembaharu dituntut untuk berinstropeksi dan berada di baris  terdepan dalam penanggulangan kekerasan yang diakibatkan oleh bias ideologis yang mereka perjuangkan. (*)

*Achmad Murtafi Haris adalah Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry