Oleh: Suparto Wijoyo*
SEKELEBATAN pandang sorot mata “penggenggam mukjizat demokrasi” itu sedang menoleh ke kampus. Para akademisi selaku pemanggul otoritas intelektual dan moral dibuat terhenyak meski tidak sempat beranjak. Penggerebekan pemilik wewenang untuk menumpas teroris itu sudah melangkah memasuki pekarangan yang pendar ilmu disemat penuh hormat. Teroris ditilik masuk kampus dan seluruh jajarannya menjadi sangat sibuk untuk saling tampil terdepan memberikan “baktinya”.
Suasananya makin ramai walau sekadar bisik-bisik saling selisik. Untung situasinya berada dalam Ramadan sehingga unggahan untuk menyanggah tuduhan tetap disampaikan dengan lirih saja agar tidak terjadi keguncangan. Masyarakat kampus yang selama ini memiliki ruang kebebasan akademik di bentara mimbarnya sebagai panggung keilmuan yang imun dari intervensi “organik” terkesan “berjarak” sebelum akhirnya “menunduk dalam telungkup pasrah”.
Perguruan tinggi berdasarkan ragam regulasi merupakan institusi ilmiah yang segalanya bergerak dinamis dengan tetap menggunakan patokan yang terukur koridornya. Para intelektual diniscayakan mampu menjaga marwah akademiknya sesuai “tupoksi”. Trisula fungsional masyarakat kampus harus dipanggul sekaligus tanpa jeda. Pergerakan para mahasiswa dan dosen melintasi proses belajar mengajar dalam cawan pendidikan tinggi yang terus bergulir ke ranah penelitian yang maslahat guna diabdikan kepada kepentingan sosial. Pengabdian masyarakat pastilah syarat nilai dan bukan tak bernilai. Maka stempel yang diberikan kepada “komunitas akademik” mestilah berhati-hati dan telunjuk tidak elok diarahkan kepada pemikiran yang ada di ruang perkuliahan.
Untuk itulah jangan heran apabila dosen pada setiap aktivitasnya berprofesi sesuai sertifikasinya sebagai ilmuwan yang profesional sekaligus berkelambu penelitian yang diantar menjadi “hamba pengabdi rakyat”. Inilah konstruksi kecemerlangan akademik yang memiliki implikasi praksis social services yang dipahatkan untuk dosen. Tetapi semua fungsi tridharma perguruan tinggi itu tidak boleh menggerakkan kaum pemikir ini terkerek selaksa “hulubalang raja” yang memberikan dalil-dalil pengabsahan. Biarlah gagasan didialogkan dan perdebatan keilmuan terus terhelat secara bermartabat tanpa ada sekat “kuasa yang bersabda melebihi dari para nabi”.
Khalayak ramai sekarang ini sedang diajari “memintal pikiran” tentang apa yang melanda dunia kampus yang diidamkan. Beberapa kampus di Jawa Timur bahkan telah diberitakan “disesaki” kaum radikal sehingga kata itu sangat menakutkan, terasa menghunjam dalam, menikam. Kata yang arti leksikalnya sangat terukur mengenai hal-hal mendasar, prinsipal, berdurasi fundamental, yang menyentuh pada atribut “berpikir jernih dan bertindak mengagumkan”. Namun kata radikal itu berubah menakutkan.
Pengajaran untuk memanggul kebenaran pastilah radikal sebagaimana makna aslinya. Kebenaran tidak bisa dibiaskan dengan kesalahan yang menyesatkan. Terdapat kesadaran komunal bahwa setiap kebenaran pasti berbeda secara radikal dengan kesalahan. Pencerahan tidak sama dengan “penggerhanaan”. Warna merah dan putih itu sesungguhnya menyangkut karakter diri pembeda yang sangat radikal. Setiap warna pun sejatinya memiliki dimensi radikal untuk kemudian memuaikan dirinya guna membangun kondisi yang diharapkan.
Pemuaian-pemuaian itu haruslah tetap dalam kerangka yang pas agar pemuaian tidak berubah menjadi pembiasan antara yang “hak dan yang batil”. Abu-abu sendiri bukanlah sebuah manifes dari kenyataan yang tidak jelas, melainkan sebuah jejak pembeda dalam kesementaraan. Namun kini warna “abu-abu” itu menunjukkan kepada seruan atas “kemunafikan”. Padahal abu-abu sendiri adalah produk dari integrasi warna meski tidak secara total, karena integrasi warna yang total menghasilkan “putih” dan “putih” itu penanda yang radikal, yang amat jelas perbedaannya.
Sebuah kata tampak tatkala dipanggul oleh kekuasaan yang menjadi “pemenang pertarungan” cenderung berubah isinya karena disesuaikan dengan bangunan isme-isme yang kemudian memunculkan kata radikalisme yang diberi arti leksikal maupun literarif sangat kentara arahnya. Radikalisme pada masanya disangkutpautkan dengan paham yang hendak melakukan “pembangkangan” yang mengancam kekuasaan. Radikalisme yang menyangkut tradisi politik haruslah dibedakan dengan radikalisme dalam berpikir kritis yang menjunjung tinggi kaidah-kaidah ilmiah. Setiap penelitian dan temuan riset itu tidak imun dari “perbedaan yang tajam” sehingga memunculkan adanya teori, paling tidak adanya konsepsi-konsepsi baru yang membedakan dengan konsepsi sebelumnya.
Oleh karena itu, adalah sebuah keanehan apabila yang radikal itu pasti “jahat” (bandingkan dengan radikal bebas dan antioksidan) serta dicampurbaurkan dengan kekerasan politik. Kata jahat dan radiks sangatlah berbeda dan untuk itu silhkan dipelajari dengan cermat asal-muasalnya. Batu itu tidak sama dengan air dan itu ketidaksamaan yang radikal. Lelaki (“adam”) dan perempuan (“hawa”) itu berbeda dan perbedaannya sangat radikal. Dalam konteks ini tampak bahwa penciptaan identitas itu amatlah radikal, dan kini orang mencoba untuk men-‘jumbuh’-kannya antara “lelaki dan perempuan” melalui kosmologi pergerakan global yang dibungkus dengan sebutan LGBT. Sebuah perbedaan yang radiks terpotret hendak “dicairkan dengan bumbu-bumbu kebebasan serta “identitas baru” yang menandai lahirnya “hukum-hukum evolusi” penciptaan. Dikira urusan demikian hanya sebatas selubung biologi tanpa kehadiran dimensi teologis.
Kekerasan, pembunuhan, dan pengancaman kepada keamanan siapa pun, apalagi kenyamanan rakyat tentulah itu tindakan kriminal yang ada hukumnya. Pembunuhan itu kejahatan dan atasnya hukum ditegakkan oleh negara. Lorong sejarah sepertinya tengah bergerak ke arah yang saya belum memahami ending-nya. Kata radikal telah disulap menjadi peluru yang dapat diarahkan kepada siapa saja yang tidak sejalan dengan “kehendak pemenang”.
Apakah memang kampus sekarang ini harus digiring menjadi penopang “siapa yang menang” ataukah tetaplah setia menjadi pengembang ilmu yang atasnya pencerahan dihadirkan agar kekuasaan menyemai kebijakan dari kebebasan akademik kaum “brahmana”. Adakah memang kondisinya ini seperti yang pernah disindir oleh Farid (1173-1266), sebagai seorang muslim yang telah bermimpi ketemu Rasulullah sebagaimana termuat dalam kumpulan Setanggi Timur dari Amir Hamzah: “kuasa konon menunjukkan mukjizat”.
* Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga