
SURABAYA | duta.co – Dari rumah ukuran 5×25 meter, Munawaroh (56) ‘menggantungkan’ hidupnya. Dia bekerja sebagai tenaga pakacging sebuah home industry makanan ringan bermerek Canoi.
Canoi yang berasal dari kata Camilan Olahan Indonesia ini diproduksi di sebuah rumah kecil di kawasan Bulak Banteng, Kota Surabaya. Kawasan pesisir bagian timur Kota Pahlawan yang selama ini dikenal sebagai penghasil ikan laut.
Tidak ada tulisan apapun di depan rumah itu. Hanya ada tulisan jasa wedding, rias, sewa baju dan dekorasi pengantin. Ada juga persewaan perlengkapan catering. Selebihnya tidak ada sama sekali tulisan Canoi.
Padahal di sana menjadi pusat produksi dan pakaching 17 jenis makanan ringan olahan dari ikan.
Saat bertandang Jumat (23/5/2025) siang, Munawaroh, sedang mengemasi kerupuk salmon. Dia bersama satu orang pekerja di bagian tempel sticker. Yang lain sedang beristirahat. Munawaroh, asal Gresik itu sudah menjadi pekerja sejak home industry itu berdiri pada 2020 lalu. Dia betah bekerja di situ karena berbagai macam alasan.

“Bisa dapat uang. Buat tambahan uang belanja. Saya memang sudah tidak ada tanggungan karena anak sudah berumah tangga semua. Tapi selama masih bisa kerja, ya kerja,” katanya .
Perempuan berkerudung itu bekerja mulai pukul 07.00 hingga 16.00 WIB. Kecuali ada orderan lebih banyak, dia harus lembur. “Tergantung bosnya. Kalau lembur ya bisa dapat tambahan, Alhamdulillah,” ungkapnya tertawa.
Pusat produksi Canoi ini memang menjadi tumpuan banyak orang di sekitarnya. Bukan hanya para pekerja , tapi juga para pengepul ikan segar dan bahan baku lainnya. Dari tempat produksi Canoi, mereka bisa membantu dan membuat dapur para pekerja ‘tetap ngebul’.
Rachmawati Basuki (43), sang pemilik, merasa ada tanggung jawab moral untuk menjaga keberlangsungan usahanya itu. Karena dari usaha itu bisa menghidupi banyak orang.
“Ada puluhan orang yang bekerja membantu saya memenuhi pesanan pasar. Kalau usaha ini jalan, ada banyak sekali orang yang bisa terbantu,” kata Rachma, panggilan akrab Rachmawati.
Usaha ‘Warisan” Pandemi
Agak sedikit berkaca-kaca, Rachma menceritakan tentang bisnisnya ini. Lulusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) itu awalnya bekerja di perusahaan kontraktor. Menikah dan punya anak, dia beralih menekuni bisnis wedding.
“Rias itu hobby sejak SMA. Akhirnya saya tekuni sampai akhirnya punya persewaan baju pengantin, dekorasi hingga perlengkapan makan minumnya. Saya punya dua gudang besar,” tuturnya.
Namun, pandemi Covid-19 melanda. Semua usaha terhenti. Tidak ada yang boleh menggelar pesta pernikahan. Begitupun usaha kue kering yang biasa ramai order di Lebaran dan Natal, sepi pembeli.

Rachma banting stir dengan memproduksi masker kain. Pekerja jasa weddingnya tidak boleh diberhentikan. Karena mereka butuh pekerjaan, mereka butuh makan. Dia sulap tempat jasa wedding menjadi produksi masker.
Walau sukses usaha maskernya tidak bisa dijadikan sandaran hidup. Rachma sudah berpikir untuk membuat usaha baru yang lebih bertahan lama dan tahan dari kondisi apapun.
Saat itulah dia berpikir untuk mengolah hasil laut dari nelayan sekitarnya. Saat itu ikan hasil tangkapan nelayan berlimpah karena tidak ada satu suplier-pun yang mengambilnya.
Udang rebon yang saat itu berlimpah hanya bisa dijemur oleh nelayan tanpa tahu akan dibuat apa. “Dari sana saya berpikir untuk menampung dan mengolahnya,” kata Rachma.
Beruntung Rachma adalah sosok multitalenta. Pengalamannya sebagai pembuat kue kering menjadi modalnya untuk mengolah hasil laut terutama udang rebon.
Di awal hanya beberapa olahan dia buat. Belum banyak karena keterbatasan pengetahuan pengolahannya. Serta keterbatasan alat produksi.
Beruntung, walau tidak bisa bertatap muka karena pandemi, promosi produk bisa tetap dilakukan. Pameran online diikutinya. Dari sana, produknya dikenal. Transaksi perdana tembus Rp 500 ribu. Sebuah hasil yang wow bagi Rachma. “Memacu saya untuk terus bertahan dan membesarkan bisnis ini,” katanya.
Berbagai macam pameran online terus diikuti. Kompetisi bisnis juga dicobanya. Walau saat itu pakaching-nya masih seadanya, masih sederhana karena alat yang dimiliki juga sederhana.
Rachma mengaku sering diejek para kompetitor saat lomba. Bahkan dewan juri juga mengakui kalau kemasannya belum rapi.
Rachma tak putus asa. Dia bertekad bisa membeli alat agar kemasan produk olahannya bisa lebih kayak. “Beruntung dibantu Kemenparekraf. Saya dapat bantuan sealer yang besar. Ternyata mereka di Jakarta sudah tahu nama Canoi. Saya dicari dan diberi bantuan,” ungkapnya.
Dari satu macam produk dan satu bahan baku, yakni Teri Udang Rebon, Rachma tertantang untuk membuat produk baru secara berkala. Apalagi pameran demi pameran diikutinya selepas pandemi Covid-19. Membuat produknya semakin dikenal luas.
Tidak hanya udang rebon atau gragu, tapi ada banyak olahan salmon, teri dan ikan lainnya. Kini ada 17 macam olahan yang diproduksinya, dari yang siap makan, diolah lagi, hingga pelengkap atau bumbu masakan.
Target Masuk Toko Ritel Modern
Produk Canoi sudah mengantongi sertiikasi Halal, ISO KAN, SNI dan banyak lagi lainnya. Tak heran produk Canoi sudah masuk ke beberapa toko oleh-oleh dan restoran.
Rumah Makan Bu Rudi di Surabaya menjadi tempat di mana produk Canoi bertengger di rak-raknya. Ada juga reseller yang memasoknya ke berbagai rest area jalan tol dan pusat oleh-oleh lainnya.

Setiap hari produksi terus berjalan. Puluhan kilo ikan segar berbagai jenis, diolahnya menjadi aneka makanan ringan. Seperti crispy teri, kerupuk salmon, crispy teri ebi dan banyak lainnya.
Rachma mengaku tidak pernah kekurangan bahan baku ikan walau saat musim angin dan banyak nelayan tidak melaut. Hal itu karena dia menjaga stok ikan agar produksi terus berjalan. “Saat musim banyak ikan, saya olah ikan itu lalu saya masukkan frezer. Kalau lagi tidak ada ikan, saya bisa terus berproduksi,” katanya.
Rachma pun mengaku kapasitas produksi Canoi masih sangat besar. Dia bisa memaksimalkan alat dan sumber daya yang ada untuk memproduksi Canoi lebih besar lagi.
Namun dia berharap ada bantuan pihak lain agar produknya ini semakin meluas pemasarannya. Terutama untuk bisa masuk ke toko ritel modern, seperti jaringan mini market dan super market.
Karena dikatakan Rachma, dia dan suaminya Hamrozi Hamidi sudah berupaya untuk masuk ke pasar itu namun masih belum menemukan jalan. “Kurasi sudah kami lakukan, sertifikat yang dibutuhkan sudah kami kantongi, kami harus bagaimana lagi, kami mohon arahannya agar produk Canoi bisa masuk mini market di kawasan Surabaya saja,” tuturnya.
Karenanya, Rachma mengaku salut dengan Kata Oma Telur Gabus. Usaha yang dirintis Furiyanti dari resep keluarga itu bisa berkembang pesat hingga saat ini. Bahkan bisa menjadi snack favorit di toko ritel modern.
Rachma juga mengaku ingin belajar banyak terutama dari founder Kata Oma, Furiyanti. Apalagi Rachma mendengar, Furiyanti juga tidak pernah pelit ilmu dan merangkul pelaku UMKM seperti dirinya. “Semoga suatu saat ada kesempatan untuk bertemu,” harapnya.
Rachma yakin semua pelaku usaha kecil seperti dirinya akan bisa berkembang seperti Kata Oma Telur Gabus. “Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Jadi, Ayo UKM, Tunggu Apa Lagi!,” kata Rachma.  *endang lismari