Oleh: Suparto Wijoyo

RAKYAT sejatinya telah lelah menahan nafas atas imaji tentang  pemimpin yang amanah, bersih, cerdas, bukan yang culas dengan memangsa kekayaan umat. Tapi kesabaran menempuh jalan pengharapan meski panjang tetaplah dikuat-kuatkan. Sabar yang tiada batasnya. Ini berbeda dengan pandangan umum yang menyatakan “sabar itu berbatas”. Pemilu yang menghasilkan kepemimpinan yang antikorupsi terus ditunggu sampai kapan pun. Itulah tekad yang disemat oleh seluruh warga negara, meski Mahkamah Agung memperkenankan seorang mantan koruptor  menjadi legislator. Sebuah posisi kenegaraan yang penuh martabat demokrasi, sehingga untuk memanggilnya selalu penuh harkat: kepada dewan yang terhormat. Begitulah nisbat yang dapat dipetik pesannya bahwa pemilih siap berlama-lama menanti kehadiran wakilnya yang tidak korupsi. Kesabarannya  mengikuti laras cerita One Hundred Years of Solitude – Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Marques, Novelis asal Colombia dan Penerima Nobel Sastra 1982.

Putusan MA yang membolehkan eks koruptor menjadi caleg dirasa perih oleh khalayak ramai yang kian hari merasakan “gelembung derita” atas harga-harga yang terus berlari kencang.  MA dinilai tidak paham kosmologi rakyat yang telah menista laku korupsi. Alasan tiada undang-undang yang melarang amatlah naif.  Putusan MA  itu menggiring bangsa ini  dirundung derita memanen penguasa produk demokrasi tetapi rajin “ngapusi” karena korupsi ditenteng tanpa henti.

Sungguh kasus yang menimpa para penguasa, termasuk hakim-hakim yang kena rasuah,  sudah cukup memberikan keperihan. Meski  sebagian pihak tetap kukuh pada pendirian bahwa caleg yang dibopongnya tetaplah orang “suci”,  sang pendharma sejati. Selama undang-undang tidak melarangnya  janganlah buru-buru menghakimi “korupsi yang dibagi-bagi”.

Ampun deh ini. Fenomena korupsi yang “diimani” seperti “jalan  untuk mengabdi” dalam demokrasi  memanglah unik. Keunikan yang ikhwalnya menghantarkan kepada kehancuran sebuah peradaban yang mengabsahkan nyolong sebagai kemuliaan”, apapaun wujudnya. Pemaknaan ini mengingatkan saya pada cerpen The Spider’s Thread” (1961) yang ditulis Ryunosuke Akutagawa (1892-1927). Dia adalah pengarang terkemuka Jepang dan namanya diabadikan sebagai penghargaan sastra paling bergengsi di negaranya.

Cerpen Jaring Laba-laba telah menjadi bagian dari Sehimpun Cerpen Terbaik Dunia Sepanjang Masa yang dikompilasi oleh kurator Anton Kurnia (2016). Ceritanya: saat itu hari masih pagi di surga. Sejenak sang Buddha berdiri di tepi Kolam Teratai, melalui celah terbuka di antara dedaunan yang menutupi permukaan air, tiba-tiba terpampang sebuah pemandangan. Matanya tertumbuk pada seorang lelaki bernama Kandata yang berada di dasar neraka bersama para pendosa lainnya. Kandata semasa hidupnya adalah seorang perampok kelas berat yang telah banyak berbuat kejahatan; membunuh, membakar rumah dan hanya memiliki satu kebaikan. Suatu kali saat dia berjalan di tengah hutan belantara, dilihatnya seekor laba-laba sedang merayap di tepi jalan. Dengan cepat ia mengangkat kakinya bermaksud hendak menginjaknya, namun tiba-tiba ia berpikir: ah tidak, tidak. Sekecil inipun dia mempunyai nyawa. Alangkah memalukannya bila aku membunuhnya tanpa alasan. Dia pun membiarkan laba-laba itu tetap hidup.

Ketika memandang ke neraka, sang Buddha teringat bagaimana Kandata telah menyelamatkan seekor laba-laba. Sang Buddha dengan tenang mengambil seutas jaring laba-laba dan dijatuhkannya benang itu ke dasar neraka yang terhampar di antara bunga-bunga teratai yang berwarna seputih mutiara.  Perampok ulung itu, Kandata tengah terbenam di dalam genangan darah, tak bisa berbuat apa-apa selain berjuang agar tak tenggelam di kolam seperti seekor kodok sekarat. Namun saatnya telah tiba. Hari ini Kandata mengangkat kepalanya secara kebetulan dan menatap langit di atas Kolam Darah. Dia melihat seutas jaring laba-laba berwarna keperakan yang menjulur ke arahnya dari arah surga yang tinggi. Melihat itu Kandata bertepuk kegirangan untuk merangkak. Jika semuanya berjalan lancar dia bisa mencapai surga. Itu berarti dia akan terbebas dari Gunung Jarum dan Kolam Darah. Adapun soal memanjat jaring itu bagi mantan perampok ulung bukanlah hal yang asing baginya.

Kandata telah memanjatnya dan Kolam Darah tampak tersembunyi di balik kegelapan dan Gunung Jarum sependar samar-samar di bawahnya. Kandata   berteriak nyaring kegirangan setelah bertahun-tahun terpuruk di dasar neraka. “Berhasil”, teriaknya. Akan tetapi, tiba-tiba dia memandang ke bawah jaring itu dan melihatnya para pendosa lain ternyata ikut berduyun-duyun memanjat penuh semangat menggapai jejaknya, naik dan terus naik bagaikan upacara para semut. Saat itulah Kandata terbelalak dengan mulut ternganga. Bagaimana mungkin jaring laba-laba yang tipis ini dapat menahan sebanyak itu, sementara untuk menahan beban tubuhnya sendiri saja nyaris putus. Jika jaring itu sampai putus, dia akan jatuh kembali ke dasar neraka setelah berhasil mencapai titik pengharapan. Kini ratusan bahkan ribuan pendosa merayap naik dari kegelapan Kolam Darah dan memanjat sekuat tenaga. Kandata pun menghardik dengan suara lantang: “hai, kalin para pendosa, jaring laba-laba ini milikku. Siapa yang memberimu izin  naik mengikutiku? Turun! Turun!”.

Tepat pada saat itulah, seutas jaring tipis itu, yang sejauh ini tak menunjukkan tanda-tanda akan putus, tiba-tiba putus tepat di titik Kandata tengah bergantung. Tanpa sempat menjerit, dia meluncur deras ke arah kegelapan, terus melayang, berputar dan berputar. Setelah semuanya usai, hanya sisa jaring laba-laba surga itu saja yang tampak bergoyang berkilat-kilat, bergantung di langit tak berawan. Ya … sambil berdiri di tepi Kolam Teratai di surga, sang Buddha menatap dari dekat semua kejadian tadi. Saat itu hari beranjak telah menjelang siang di surga. Pembaca,  jangan terlambat untuk berbuat maslahat.

*Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry