SURABAYA | duta.co – Langkah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terkait putusan penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dinilai tidak sesuai kompetensinya. Hal ini diungkapkan Bambang Ariyanto, SH, MH, CMC, CCD, Dosen Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah (FH UHT) Surabaya
Menurut Ari, panggilan akrabnya, ketidaksesuaian kompetensi itu dapat dilihat dari jenis gugatan. Meskipun gugatannya adalah Perbuatan Melawan Hukum (PMH), namun jenis PMH-nya adalah PMH terhadap penguasa.
“PMH memang awalnya menjadi domain peradilan umum. Namun seiring dengan berlakunya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Peraturan MA No. 2 Tahun 2019 maka PMH penguasa itu menjadi domain Peradilan Tata Usaha Negara (TUN),” jelas Ari saat berbicara dalam Dialog Hukum, “Menyoal Putusan Pengadilan Negeri No. 757/Pdt.G/2022/PN. Jkt. Pst Terhadap Penyelenggaraan Pemilu”, yang digelar Konggres Aliansi BEM Fakultas Hukum Surabaya Ke-IV yang digelar di FH Universitas Bhayangkara (Ubhara)
Selain itu, lanjut Ari, karakter dari perkara perdata itu mengikat para pihak, namun dalam perkara ini justru putusannya memberikan dampak pada ruang publik. Pemilu itu wilayah publik, bukan wilayah privat. Jadi harusnya ada di Peradilan TUN.
Karena itu, Ari menilai gugatan itu keliru, sebab dalam konteks pemilu seharusnya gugatan yang terkait dengan pemilu harus diselesaikan dalam prosedur yang ditetapkan dalam penyelesaian pelanggaran, sengketa proses, sengketa hasil dan pidana pemilu. Tidak boleh masuk ke peradilan umum atau peradilan lainnya.
“Kalau mengganggu sudah pasti. Bahkan, putusan ini berpotensi melanggar konstitusi, sebab dalam Pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 dinyatakan secara tegas bahwa pemilu harus dilakukan 5 tahun sekali,” katanya.
Untuk itulah, menurutnya, putusan dari PN Jakpus ini perlu dikoreksi atau diajukan banding, sebab berpotensi ditundanya pelaksanaan pemilu.
Terkait banding, seperti diungkapkan Nur Syamsi, SPd, MSos, Ketua KPU Kota Surabaya, telah dilakukan oleh KPU Pusat. KPU sudah pasti melawan atas putusan penundaan pemilu.
“KPU secara personal repot, tapi secara kelembagaan tidak. Tidak ada persoalan karena KPU bekerja berdasarkan fakta-fakta hukum berdasarkan undang-undang yang mengikat lainya,” tegasnya.
Arif Fathoni SH, Anggota Komisi A DPRD Surabaya, menjelaskan berdasarkan UUD 1945 pada Pasal 22E mengamanatkan secara tegas bahwa pemilu harus dilakukan lima tahun tahun sekali. Karena itu menurutnya, diperlukan politik hukum yang sungguh-sungguh dalam menyikapi putusan PN Jakpus ini.
“Tentu langkah KPU untuk mengajukan banding, merupakan upaya untuk mendapatkan kepastian hukum yang sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan,” tandasnya. rum