“Operasi ini dipimpin oleh National Democratic Institute (NDI), sebuah lembaga asing yang diduga menjadi dalang utama.”
Oleh: Zulkifli S. Ekomei

AKHIR-akhir ini, gelombang kekecewaan publik semakin membuncah terhadap Joko Widodo beserta keluarganya, yang kini dan telah menduduki jabatan-jabatan tinggi tanpa disadari banyak orang bahwa semua itu bermula dari pemilihan umum palsu.

Pemalsuan ini merupakan akibat langsung dari penggantian Undang-Undang Dasar 18 Agustus 1945 (UUD Asli) dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) atau yang lebih tepat disebut UUD 1945 Palsu.

Pemilihan umum disebut palsu karena bukan lagi suara rakyat yang jadi pemenang, melainkan kepentingan segelintir penguasa yang berhasil mengganti konstitusi asli melalui operasi senyap.

Operasi ini dipimpin oleh National Democratic Institute (NDI), sebuah lembaga asing yang diduga menjadi dalang utama, dengan bantuan para penghianat dalam negeri. Mereka termasuk anggota lembaga legislatif seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), khususnya Panitia Ad Hoc I (PAH I) Badan Pekerja MPR, yang merumuskan amandemen; lembaga eksekutif seperti menteri-menteri kabinet; serta pihak luar pemerintah seperti organisasi non-pemerintah (Ornop) yang tergabung dalam Koalisi Ornop Untuk Konstitusi Baru, media massa, lembaga survei, dan elemen lainnya yang turut memuluskan agenda tersebut.

Meskipun penting untuk mengungkap penyebab sebuah bencana nasional, prioritas utama adalah membahas langkah-langkah penyelamatan bangsa dan negara. Ibarat seorang dokter di Instalasi Gawat Darurat yang menerima pasien trauma berat di kepala, fokus pertama adalah menilai kondisi pasien saat tiba, melakukan tindakan darurat untuk menyelamatkan nyawa, kemudian menyembuhkan luka, dan akhirnya mencegah kekambuhan agar pasien kembali sehat. Demikian pula dengan krisis konstitusi ini: kita harus bertindak cepat untuk menghentikan kerusakan lebih lanjut sebelum terlambat.

Dengan berlakunya UUD NRI 1945 yang palsu ini, terpilihlah presiden beserta kabinetnya yang sarat kepalsuan. Anehnya, kepalsuan ini diterima begitu saja oleh sebagian rakyat yang kurang menyadari dampak jangka panjangnya. Sistem berbasis kepalsuan ini ibarat rumah kardus yang tampak megah dari luar, tapi rapuh dan siap runtuh kapan saja, membahayakan seluruh penghuninya.

Kemungkinan Buruk Mengintai

Berikut adalah skenario-skenario mengerikan yang mungkin terjadi akibat fondasi kepalsuan ini:

1. *Suksesi Paksa Keluarga*: Presiden Prabowo Subianto berhalangan tetap (misalnya karena alasan kesehatan atau politik), maka Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka secara otomatis naik menggantikannya sesuai Pasal 8 UUD NRI 1945. Ini akan memperkuat dinasti politik tanpa legitimasi rakyat sejati.

2. *Pemakzulan Selektif*: DPR, yang didominasi kepentingan tertentu, mengabulkan tuntutan pemakzulan terhadap Gibran sebagai Wakil Presiden. Hal ini bisa menjadi manuver untuk membersihkan jalur bagi figur lain dari lingkaran yang sama, sambil mempertahankan sistem palsu.

3. *Pengulangan Manipulasi Konstitusi*: Joko Widodo maju lagi sebagai calon presiden pada Pilpres 2029 dengan mengubah konstitusi lebih lanjut, mirip seperti yang dilakukannya saat “menaikkan” Gibran melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial. Ini akan memperpanjang umur rezim kepalsuan.

Pilihan Bagi Para Patriot Sejati

Bagi kita yang setia pada para pendiri bangsa—dengan kembali kepada Pancasila Sila Keempat dan UUD 18 Agustus 1945 yang asli—ada dua jalur utama yang harus dipertimbangkan secara matang:

1. *Mengikuti Skenario Jahat*: Ini berarti pasrah dan turut serta dalam permainan kotor, yang pada akhirnya akan menghancurkan kedaulatan rakyat. Pilihan ini bukanlah jalan keluar, melainkan pengkhianatan terhadap amanah proklamasi.

2. *Menyiapkan Rezim Baru Sesuai UUD 18 Agustus 1945*: Doronglah perubahan mendasar dengan keinginan luhur dan berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Langkah konkret meliputi:
– *Pendidikan Massal*: Sebarkan kesadaran tentang perbedaan UUD Asli (yang menekankan kedaulatan rakyat sepenuhnya di tangan MPR sebagai wakil rakyat) dengan UUD Palsu (yang membuka celah presidensialisme berlebih dan dinasti).
– *Gerakan Rakyat Terorganisir*: Bentuk aliansi lintas sektor—akademisi, ulama, tokoh adat, pemuda, dan militer patriot—untuk menuntut referendum nasional atau sidang istimewa MPR guna mengembalikan UUD 18 Agustus 1945.
– *Tekanan Hukum dan Internasional*: Ajukan gugatan ke mahkamah internasional atas campur tangan asing (seperti NDI) dan tuntut audit forensik atas amandemen 1999-2002.
– *Persiapan Transisi Damai*: Siapkan blueprint pemerintahan transisi yang adil, dengan presiden sementara dipilih oleh MPR sesuai UUD Asli, untuk menghindari kekosongan kekuasaan.

Kesimpulan: Bangkit dari Kepalsuan

Puncak kepalsuan ini bukanlah akhir, melainkan panggilan untuk revolusi konstitusional yang damai dan bermartabat. Bangsa Indonesia pernah bangkit dari penjajahan dengan semangat Proklamasi 17 Agustus 1945; kini, saatnya kita bangkit dari penjajahan konstitusi palsu. Kembalilah kepada UUD 18 Agustus 1945 sebagai fondasi sejati, di mana kedaulatan benar-benar di tangan rakyat. Dengan tekad bulat, iman yang teguh, dan persatuan nasional, kita bisa selamatkan Indonesia untuk generasi mendatang. Merdeka atau Mati dalam Kepalsuan!

Catatan Penulis: Artikel ini didasarkan pada analisis historis dan konstitusional. Pembaca diimbau untuk memverifikasi fakta melalui sumber primer seperti naskah asli UUD 1945 sebelum amandemen.(*)

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry