“Tak dapat disangkal, pengaruh era digital memang luar biasa dalam kehidupan. Pasca pandemi Covid-19, anak-anak menjadi terbiasa menggunakan perangkat elektronik.”

Oleh M Shoim Anwar*

MENJELANG salat lima waktu, khususnya di Jombang, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Lamongan, dan wilayah Jawa pada umumnya, terdengar pujian bersaut-sautan dari musala dan masjid yang masyarakatnya berbasis Nahdliyin.

Lazimnya, diawali dengan kumandang salawat “Syi’ir Tanpa Waton” (ada yang menyebut “Salawat Gus Dur”) yang bunyi awalnya “Ngawiti ingsun ngelaras syi’iran kelawan muji marang Pangeran” dan diteruskan dengan adzan. Lantunan dari pengeras suara itu menggaung dari berbagai arah. Syair itu konon diciptakan dan dilantunkan oleh KH Moh Nizam Asshofa.

Seusai adzan, kita akan mendengar puji-pujian. Tentu tradisi ini telah berlangsung sangat lama. Yang menarik, pada beberapa waktu terakhir ini, pujian yang dilantunkan anak-anak memiliki kesamaan yang meluas, menggunakan bahasa Jawa, diramu dengan notasi dari lagu-lagu populer, dangdut, campursari, serta lagu-lagu dolanan. Ada ekspresi kegembiraan dan semangat dari anak-anak. Menjelang salat, mereka seperti adu cepat ke masjid dan musala, pada saatnya mereka akan berebut memegang mikropon, banter-banteran melantunkan pujian yang sedang populer. Sebuah kultur berbasis Islam yang sulit kita jumpai di negara-negara Timur Tengah sekalipun.

Pujian yang paling populer adalah “Wali Sanga” yang syairnya menyebut nama-nama wali, gelar dan asli, serta keahlian mereka. Syair terakhirnya berbunyi “Ayo padha eling sak lawase”. Pujian lain yang juga populer adalah “Salawat Nasabe Kanjeng Nabi”, silsilah Nabi diurut dari atas hingga cucu dan cicitnya, ada yang diurutkan dengan istilah Jawa “putu, buyut, canggah, wareng, udek-udek”. Lagu dolanan “Sluku-sluku Bathok” juga diramu untuk pujian dengan dipadukan salawat dan kalimat-kalimat thoyyibah. Bunyi syair bagian akhir aslinya “wong mati ora obah, yen obah medeni bocah, yen urip goleka dhuwit”, tapi dalam pujian terdengar diubah menjadi “wong mati ora obah, yen obah medeni bocah, yen urip sregepa ibadah”. Syair “yen urip sregepa ibadah” memang lebih religis.

Pengaruh Era Digital

Tak dapat disangkal, pengaruh era digital memang luar biasa dalam kehidupan. Pasca pandemi Covid-19, anak-anak usia sekolah menjadi terbiasa menggunakan perangkat elektronik, khususnya gawai. Bukan hanya untuk perangkat pembelajaran, namun dalam kehidupan di luar sekolah mereka sulit dilepaskan dari gawai. Pujian yang dilantunkan di masjid dan musala, dalam berbagai versi dan pengarang, videonya juga dengan mudah ditemukan di internet. Video yang viral, atau sengaja diperintahkan oleh guru/ustadz sebagai bahan pelajaran, menjadi lebih cepat menyebar dan dihafal. Dunia digital memiliki manfaat positif dalam konteks relegis seperti ini.

Naluri musikal anak-anak menemukan paduan yang baik saat syair lagu/pujian dikaitkan dengan kehidupan beragama. Video sebagai sarana pendidikan, dakwah, bahkan hiburan yang edukatif menjadi efektif. Syair lagu dalam pujian menjadi lebih cepat dan tahan lama dalam ingatan ketika dilantunkan. Nilai religi akan meyertai lantunan itu, sebagaimana para wali melakukannya untuk sarana dakwah di masa lampau. Bagi anak-anak, perkataan Horace bahwa karya sastra yang baik itu dulce et utile (berguna dan menyenangkan) menjadi relevan jika dikaitkan dengan lantunan pujian.
Era digital yang tidak dapat ditampik harus dimanfaatkan untuk sarana edukasi dan religi, sebelum anak-anak teracuni oleh tayangan-tayangan negatif.

Sementara itu adanya pengeras suara di masjid dan musala, benar-benar menjadi sarana pendukung. Anak-anak yang telah hafal dengan lantunan syair atau pujian akan mengekspresikan diri melalui mikropon. Tidak heran jika menjelang salat mereka berlomba adu cepat ke masjid atau musala. Dengarkan lantunannya, ada kesan bangga, banter-banteran, mereka bersaing dengan semangat. Adanya perdebatan soal mikropon yang keras di masjid dan musala, jika dilihat pada dunia anak-anak ini, kita mesti berpikir ulang. Mikropon dan pujian di tempat ibadah menjadi strategis untuk menanamkan nilai-nilai keislaman bagi anak-anak secara menyenangkan.

Terkoordinasi

Saya tidak tahu, pujian di masjid dan musala yang menampilkan lantunan sama di berbagai tempat itu ada yang mengoordinasikan atau tidak, atau sebagai fenomena “viral” karena banyak yang menyenangi. Tapi mari kita bayangkan, andai para guru agama/ustad/guru mengaji di TPQ, berkoordinasi di wilayah yang lebih luas, memilih lantunan pujian yang cocok untuk anak-anak, lalu dimasyarakatkan di wilayah masing-masing, pastilah akan lebih “heboh” saat mereka mengumandangkan di mikoropon masjid dan musala.

Bayangkan pula, jika di suatu wilayah yang lebih luas itu dibuat jadwal terkait hari dan syair pujian apa yang dilantunkan di hari itu, pasti akan lebih semarak syiarnya, terdengar lantuanan pujian yang sama dari berbagai penjuru menjelang salat, mereka yang belum hafal pasti lebih cepat hafal. Anak-anak akan lebih bersemangat lagi ke masjid dan musala. Ini mirip dengan lantunan “Syi’ir Tanpa Waton” yang diakses dan kumandangkan di masjid dan musala yang berbasis Nahdliyin. Apa salahnya jika pola seperti ini juga dilakukan untuk syair pujian bagi anak-anak secara langsung?

Sebagai bagian dari karya sastra, syair untuk pujian tentu dapat dicipta. Kaun Nahdliyin sangat kreatif untuk memanfaatkan lagu-lagu dengan syair yang baru. Ruang kreatif ini perlu dicoba untuk jangkauan yang lebih luas. Ada semacam gerakan literasi berbasis religi antar masjid dan musala. Guru-guru agama Islam di sekolah memiliki peran strategis antar wilayah. Melalui mereka lantunan pujian itu mulai diajarkan di sekolah-sekolah. Muara bertemu lantunan itu pasti di masjid dan musala melalui pengeras suara. Bayangkan, ada semacam konser religi yang dikumandangkan dari berbagai wilayah, bergaung bersaut-sautan menjelang salat.

Pemodelan

Para wali telah mengajari kita tentang cara berdakwah melalui jalur budaya. Cara yang digunakan sangat lembut, melalui seni dan akar kultural sehingga masyarakat dapat menerima, tanpa konflik atau pertentangan. Alat komunikasi modern saat itu tentu belum, tapi tujuan bisa dicapai. Siapa yang tidak kenal tembang “Lir-ilir” yang konon ciptaan Sunan Kalijaga, atau syair “Tamba Ati” yang konon ciptan Sunan Bonang? Entah kapan semua itu itu dicipta, kenyataannya tetap aktual hingga saat ini.

Para wali dan pujangga lainnya dalam mencipta syair, kemudian dipakai sebagai pujian di masjid dan musala, adalah pemodelan. Dengan kemajuan teknologi komunikasi saat ini, seharusnya lebih banyak lagi yang dapat kita perbuat. Anak-anak dan generasi muda akan terus berkembang mengikuti eranya. Zaman boleh berubah, tapi nilai-nilai religi dan tatanan keagamaan harus tetap dipegang.

Dari masjid dan musala kita juga diingatkan dengan pujian “Eling-eling” tentang hakikat hidup “Eling-eling wong urip padha elinga. Besok yen mati wong urip rewangmu sapa. Ana kuburan rewangmu ilmu dan amal…” Syair dalam pujian, pengeras suara di masjid dan musala, adalah piranti penanaman nilai religi. Budaya sastra dan teknologi itu sudah menyatu dengan kaum Nahdliyin. Akar kultural telah menyatu perlu diupayakan secara optimal untuk kemuliaan umat, khususnya anak-anak dan generasi muda yang akan meneruskan langkah kita. ****

Dr M.Shoim Anwar, M.Pd. adalah dosen di Universitas Adi Buana Surabaya dan Sastrawan.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry