Oleh
Imam Shamsi Ali*
SUBSTANSI dari keislaman itu adalah “al-istislam at-taam” (berserah diri secara totalitas) kepada Allah SWT. Dengan berserah diri secara totalitas inilah yang diimplementasikan dalam “at-thoo’ah at-taammah” (ketaatan penuh) seorang Muslim akan mencapai state of “as-salaam at-taam” (comprehensive peace).
Dalam perspektif agama semua yang ada (maujuud) hanya ada (exist) karena Dia yang Al-wujuudul Mutlaq (Maha Ada). Dia adalah sumber dari segalanya. Dia yang mengadakan yang tiada, mencipta, mengatur, memiliki, menguasai secara mutlak.
Keyakinan seperti itulah yang membangun kesadaran “istislam” (submission) yang mutlak. Bahwa memang Allah yang menjadi pusat segala sesuatu dalam hidup dan kuasa Dia pulalah yang berlaku.
Untuk itu sikap kita satu-satunya hanyalah: sami’na wa atho’na (setelah kita dengar maka kita taati) segala keputusanNya. Kita laksanakan perintah-perintahNya dan kita hindarkan larangan-laranganNya.
Dan seorang Mukmin akan merasa tidak pantas sama sekali ketika Allah dan Rasulnya telah menetapkan tentang sesuatu lalu merasa bahwa ketetapan mereka lebih baik daripada keputusan Allah dan RasulNya.
Seorang Mukmin akan selalu menyadari akan kemahasempurnaan Allah dan kesempurnaanNya dalam mengambil keputusan apapun itu. Lebih dari itu akan menyadari bahwa “Allah itu Maha Tahu dan mereka tidak tahu”.
Secara umum manusia terbagi dua dalam penolakan kepada agama. Ada yang memang karena tidak tahu (dhoollin) dan ada yang mengetahuinya tapi menolaknya karena arogansi dan alasan lainnya.
Golongan kedua ini dikategorikan sebagai golongan yang mendapatkan amarah (maghdhuub alaihim).
Dalam pandangan Islam keduanya tetap dinilai sebagai kesalahan. Walaupun “ad-dhoollin” (sesat karena tidak tahu) sebagai alasan. Tapi alasan tidak tahu itu tidak akan bisa melepaskannya dari tanggung jawab.
Sebagai ilustrasi, jika ada seorang turis datang ke kota New York mengendarai mobil. Karena aturan lalulintas  di kita New York sangat “complicated” (rumit) maka turis ini melanggar aturan lalulintas. Ketika ditanya oleh polisi dijawabnya tidak tahu.
Jawaban dia ini tidak melepaskannya dari tanggung jawab hukum. Dia tetap ditilang (ticketed) atas pelanggaran itu. Walaupun mungkin polisinya paham kalau orang ini memang tidak tahu aturan New York.
Sementara golongan “yang dimurkai” (al-maghdhuub) adalah mereka yang sudah tahu aturan bahkan sebenarnya mampu melakukannya. Tapi karena faktor-faktor negatif mereka seperti gengsi, arogansi, acuh dan merendahkan, dan seterusnya, mereka tidak mau mengikuti aturan lalu lintas tersebut. Selain ditilang orang semacam ini pasti akan mendapat amarah pula.
Orang beriman yang sesungguhnya tidak akan terjatuh ke dalam dua lobang itu. Lobang kesesatan dan lobang kemurkaan.
Orang beriman akan berusaha dengan segala daya untuk tidak sesat (dengan menuntut ilmu sungguh-sungguh) dan tidak juga ingin terjatuh ke dalam lobang “kemurkaan”.  Mereka dengan segala kesungguhan berkata: “sami’na” (kami dengarkan dan pahami) “wa atho’na” (maka kami taa’ti) sepenuh hati.
Puasa Ramadhan melatih kita kembali untuk membangun komitmen “sami’na wa atho’na” itu. Umat ini tidak pernah dan tak akan mempertanyakan keputusan Allah atas larangan makan, minum dan hubungan suami isteri di siang hari. Respon mereka hanya: “we hear, so we obey”. (Kami dengar. Karenanya kami taati).
Puasa melatih kita untuk membangun keislaman yang hakiki. Keislaman yang dibangun di atas asas “penyerahan diri secara total dengan ketaatan sehingga mampu mewujudkan “salaam” (kedamaian) yang sejati dalam hidup. Semoga! (*)
New York City, 30 Mei 2019
* Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation 
Di bulan yang suci ini, 
khususnya di sepuluh malam terakhir, kami mengajak semua untuk menjadi bagian dalam membangun pesantren pertama di AS. Berikan donasi terbaik melalui:                          Rek rupiah:
A.n: Inka Nusantara Madani
Bank BNI Syariah(427) – 887000045 
Bank Mandiri (008) – 1240000018185 
Jazakumullah khaer!
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry