“Puasa adalah media paling cepat menuju itu semua. Tentu puasa di sini harus berlangsung selama 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu, dan 30 hari dalam sebulan.”

Oleh: Muhammad Yunus*

Di sela waktu nganggur, saya buka-buka buku lama di lemari. Satu buku saya pungut, ‘Quantum Belajar; membangun gelora untuk hidup Bahagia’, karya sahabat pena nusantara. Buku ini saya ambil karena kontekstualisasi dari puasa Ramadhan, bagaimana mencapai kebahagian hidup, menjadi hamba muttaqien? Dari buku ini saya terinspirasi menulis tentang puasa dan quantum belajar.

Di dalam sinopsisnya, buku ini mempertanyakan makna hakiki dari belajar. Apakah belajar dimaknai mereka yang melangsungkan proses belajar mengajar di sekolah atau kampus? Betulkah belajar itu identik dengan formalitas, sistematis, dan tersturktur?

Ternyata buku ini menjawab bahwa belajar bukanlah aktivitas yang sarat tatap muka — antara guru dan murid — di ruangan kelas. Belajar mempunyai makna luas yang keluasan itu bermuara pada penciptaan gelora untuk hidup bahagia.

Sebuah definisi yang selaras dengan tujuan manusia hidup di dunia ini, lebih-lebih di akhirat kelak yakni mencapai kebahagiaan baik di dunia terlebih di akhirat, fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah.

Lantas dimana hubungan puasa dan quantum belajar yang memberikan makna belajar sebagai pemantik gelora untuk hidup bahagia tersebut? Apakah puasa dapat dijadikan sarana dari quantum belajar?

Puasa ramadhan wajib dilaksanakan oleh orang-orang beriman setelah turunnya ayat 183 dari surat Al Baqarah tersebut. Puasa ini bukan saja amaliah ummat Nabi Muhammad saja. Jika dicermati dari ayat tersebut, selain perintah yang wajib dilaksanakan, Allah juga memberikan informasi bahwa puasa telah dilaksanakan oleh orang-orang beriman sebelum ummat Nabi Muhammad SAW.

Hal ini menisyaratkan bahwa ummat-ummat sebelum Nabi Muhammad SAW telah melaksanakan puasa. Tentu yang ingin dicapai dari puasa ini adalah tangga yang lebih tinggi dari sekedar menjadi orang beriman, yakni menjadi orang yang bertaqwa.

Taqwa merupakan derajat yang membedakan manusia di sisi Allah SWT. Ummat Nabi Muhammad tidak diperintahkan untuk berlomba-lomba menjadi orang kaya, memiliki jabatan yang tinggi, menjadi konglomerat, cantik rupawan, keturunan bangsawaan, menjadi orang terkenal, tapi justru merekalah yang paling bertaqwa yang paling dekat dengan Rabnya.

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS. Al Hujurat: 13). Demikian penegasan Allah dalam Al Quran. Hal ini berarti menjadi terkenal di muka bumi belum tentu terkenal di langit.

Manakah yang akan dikejar, apakah ingin terkenal di bumi sementara dunia ini penuh dengan kefanaan. Maka mengejar untuk terkenal di langit dengan banyak melakukan kebajikan di muka bumi adalah yang utama. Apa pun posisi kita di  muka bumi maka tujukanlah untuk mendapat kasih sayang Allah SWT.

Indikator dari ketaqwaan seseorang adalah senantiasa bersyukur dan bersabar. Syukur merupakan ekspresi seorang hamba yang selalu berterimakasih kepada sang pencipta atas keadaan yang diterimanya. Sementara sabar adalah ekspresi keterimaan atas ujian yang dihadapi. Di   vbalik rasa syukur ada tambahan kebaikan, di balik sabar ada pahala tampa batas. Syukur dan sabar sejatinya adalah sekolah orang-orang yang hidup didunia ini. Manusia yang husnul khatimah adalah manusia yang hidupnya selalu diselimuti dengan syukur dan sabar tersebut.

Orang yang senantiasa bersyukur dan bersabar akan selalu ridha terhadap apa yang telah, sedang, dan akan terjadi. Dengan masa lalunya tidak terlalu menyesal, dengan masa depannya tidak pernah kuatir, dengan masa kini selalu dihadapi dengan optimisme. Mereka ridha dengan keputusan Allah dan Allah pun akan ridha kepada mereka.

“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” Demikian penegasan Allah SWT dalam QS Al Bayyinah ayat 8.

Inilah kebahagiaan sejati itu. Maka puasa Ramadhan ini harus dijadikan momentum untuk melakukan quantum belajar. Untuk menuju ‘tangga’ taqwa dengan sifat syukur dan sabar tersebut maka mengekang diri dengan menahan hawa nafsu adalah jalan menuju tangga taqwa tersebut.

Puasa adalah media paling cepat menuju itu semua. Tentu puasa di sini harus berlangsung selama 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu, dan 30 hari dalam sebulan.

Mengapa demikian, karena ternyata malam seribu bulan di Ramadhan ini tidak terjadi di siang hari melainkan di malam hari yang dalam makna sederhana puasa terjadi pada waktu di mana diperbolehkan untuk makan dan minum. Maka puasa yang berlangsung penuh selama 24 jam, 7 hari, dan 30 hari itu harus sungguh-sungguh kita lakukan untuk mencapai kebahagiaan hidup melalui predikat taqwa tersebut.

Itulah puasa yang dikaitkan dengan quantum belajar. Percepatan yang harus dilakukan oleh orang-orang beriman untuk mencapai derajat muttaqien melalui sarana berpuasa penuh selama Ramadhan. Selamat menjalankan ibadah Puasa Ramadhan. Semoga kita menjadi orang-orang yang bertaqwa. Amin.

*Penulis adalah Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP UNISMA. Kepala BAKAK Unisma. Anggota PW LP Maarif PWNU Jawa Timur. Alumni PP. Nurul Jadid, Probolinggo.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry