DARSO mewakili empat investor melaporkan Yusuf Mansur ke Polda Jatim Kamis 15 Juni 2015.

SURABAYA | duta.co – Ustadz Yusuf Mansur tampaknya harus lebih lama lagi berurusan dengan polisi. Setelah berdamai dengan salah satu investornya, kini investor lain yang merasa dirugikan giliran melaporkan sang ustad dengan tuduhan dugaan penggelapan investasi.

Kali ini pria bernama asli Jam’an Nurchotib Mansur itu dilaporkan ke Polda Jatim oleh Sudarsono Arief Bakuama. Dia mengaku kuasa empat pelapor yang merasa tertipu oleh Yusuf Mansur.

Darso — sapaan Sudarsono Arief Bakuama — datang ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Mapolda Jatim, Jl. A. Yani Surabaya, Kamis (15/6) sekitar pukul 13.30 WIB. Kehadirannya ditemani pengacara Rakhmat Siregar.

Berdasarkan tanda bukti lapor No TBL/742/VI/2017/UM/JATIM atas laporan polisi No LP/742/VI/2017/UM/SPKT POLDA JATIM, pria kelahiran 70 tahun yang berprofesi sebagai wartawan itu melaporkan Yusuf Mansur dengan perkara menipu sebagai mata pencaharian dan atau penggelapan.

Secara rinci, Darso menjelaskan, dugaan penggelapan tersebut terkait investasi proyek kondominium Condotel Moya Vidi di Yogyakarta. Investor yang merasa dirugikan dalam kasus ini tersebar di sejumlah daerah, termasuk di Surabaya.

“Korban sudah mulai bermunculan. Sementara ini baru empat orang yang memberikan kuasanya pada kami untuk mempolisikan masalah ini,” ujarnya usai melapor.

Menurut Darso, bentuk investasi yang ditawarkan Yusuf Mansur beraneka macam dan rata-rata korban di Surabaya memiliki minimal tiga sertifikat (bukan saham) dengan nilai Rp 2,7 juta per sertifikat.

“Yang saya tahu ada investasi usaha patungan, patungan aset, investasi konsisten dan ada juga investasi haji dan umroh,” ucapnya.

Darso juga tak habis pikir mengapa Yusuf Mansur seolah tak tersentuh hukum. Padahal pada 2013 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sempat menghentikan investasi asetnya.

“Kalau yang lain investasi ilegal seperti ini sudah ditangkap tapi Yusuf Mansyur disuruh bikin investasi baru. Dari berbagai macam investasi ini anggotanya mencapai dua ribuan orang,” ujarnya.

Karena itu, Darso meminta OJK segera memberikan sikap apakah perusahaan yang dipakai Yusuf Mansur untuk membangun Condotel Moya Vidi itu benar-benar perusahaan investasi. “Apakah yang dikeluarkan perusahaan itu berupa saham atau sertifikat. Ini OJK harus menentukan sikap,” tandasnya.

Tak sekadar melaporkan Yusuf Mansur, dia juga siap memfasilitasi para investor untuk menarik kembali uang yang sudah disetorkan, “Jika ada yang ingin mendapatkan kembali uang investasinya, bisa kami fasilitasi,” ucapnya.

Sebelumnya, para investor yang menanamkan investasinya berlangsung sejak 2012 namun mereka kemudian menilai tidak sesuai kesepakatan awal, di antaranya karena pembangunan CMV mangkrak. Lalu pada Agustus 2016, Darso yang diberi kuasa salah seorang korban, Darmansyah melaporkan Yusuf Mansur ke Bareskrim Polri dengan tuduhan tindak pidana penipuan dan penggelapan.

Laporan ini berujung kesepakatan damai antara Yusuf Mansur dan Darmansyah untuk mengembalikan investasi berikut keuntungannya. Sementara korban lain disebut Darso masih cukup banyak dan mereka kesulitan untuk menarik kembali investasi beserta keuntungannya.

Mangkrak

Condotel Moya Vidi (CMV) adalah sebuah kondominium untuk melengkapi gedung pertemuan Grha Sarina Vidi yang terletak di Jalan Raya Yogya–Magelang berkapasitas 2.500 orang milik Ir Suryati, wanita pengusaha ketering ternama di Yogyakarta.

Sebagaimana umumnya kondominium, setiap kamar dijual kepemilikannya kepada orang per orang meski pengelolaanya tetap di tangan PT Grha Suryamas Vinantito (GSV), perusahaan yang didirikan untuk pengelola hunian bersewa tersebut.

“Pada 22 Februari 2014 CMV mulai menjual kepemilikannya kepada umum. Untuk itu GSV kemudian merangkul Yusuf Mansur dengan harapan dia bisa ‘merayu’ orang untuk mau merogoh koceknya dalam-dalam,” tutur Darso.

Cara yang dipakai Yusuf Mansur, lanjut Darso, tidak perlu berkeliling dari satu kota ke kota lain untuk menjual condotel ini, cukup ‘memanfaatkan’ orang-orang yang tergabung dalam sebuah usaha miliknya Veritra Sentosa Internasional (VSI) yang kini berganti baju dengan nama Paytren.

“VSI adalah bisnis Yusuf Mansur yang menawarkan jasa pembayaran dengan skema serupa multilevel marketing (MLM),” tambahnya. VSI mengklaim sebagai penyedia jasa transaksi online untuk pembayaran listrik, pulsa telepon selular, tagihan PDAM, televisi berbayar hingga zakat.

Sebagai bukti keikutsertaan anggota VSI dalam investasi CMV ini, PT GSV kemudian menerbitkan sertifikat (bukan saham) bernilai Rp 2,7 juta per lembar. Dana yang terkumpul dari ‘penjualan’ sertifikat ini disebut-sebut hingga miliaran rupiah karena nilai investasi CMV di atas Rp 6 miliar.

Namun kerjasama antara Hj Suryati, Yusuf Mansur dan Harjanto Suwardono (seorang pengusaha pengelolaan properti) dalam membangun CMV tidak berlangsung lama. Ketiganya pecah kongsi sebelum 2015 dan proyek CMV pun mangkrak.

Nah, dari sinilah orang-orang yang menginvestasikan uangnya dengan cara membeli sertifikat untuk pembangunan CMV merasa tertipu dan meminta uangnya kembali berikut keuntungannya. Karena tak ada kejelasan, mereka pun mempolisikan sang ustad. *

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry