
JOMBANG | duta.co – Sebuah galon air mineral berisi koin menjadi pemandangan tak biasa di Kantor Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jombang. Bukan untuk belanja atau acara amal, melainkan untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak tajam. Pemiliknya, Joko Fattah Rochim, datang bukan hanya untuk melunasi kewajiban, tetapi juga menyampaikan pesan protes kepada Pemkab Jombang.
Pajak yang sebelumnya ia bayar sekitar Rp400 ribu per tahun, kini melonjak menjadi Rp1,35 juta. “Kalau naik dari Rp300 ribu ke Rp400 ribu atau Rp500 ribu itu wajar. Tapi ini sampai Rp1 juta lebih, ya memberatkan,” ujarnya, sambil menunjuk galon berisi koin hasil celengan anaknya sejak SMP hingga semester 2 kuliah, Senin (11/8).
“Ini uang anak saya, karena saya memang nggak punya uang. Saya minta bupati tegas membenahi aturan yang merugikan warga,” tambah Fattah.
Sesampainya di kantor Bapenda, suasana sempat memanas. Fattah beradu argumen dengan Kepala Bapenda Jombang, Hartono, sebelum akhirnya koin-koin itu dihitung. Totalnya Rp1,3 juta, cukup untuk menutup tagihan pajak.
Hartono tak menampik adanya kenaikan signifikan. Bahkan ia mengakui, di beberapa wilayah kenaikan PBB di Jombang tembus hingga seribu persen. “Memang ada beberapa yang naik sampai ribuan persen. Kenapa? Karena lama sekali tidak dilakukan pembaruan data. Di Jombang, updating baru dilakukan pada 2024. Hasilnya, banyak objek pajak yang nilainya ternyata sudah tidak sesuai, sehingga ada yang melonjak cukup tinggi,” jelasnya.
Namun, Hartono menegaskan, kenaikan ini tak seragam. “Tidak semua naik, ada juga yang turun,” katanya, sembari menyebut bahwa proses penetapan nilai pajak tersistem dalam aplikasi, sehingga sulit memeriksa kasus per kasus.
Kisah Fattah hanya satu dari sekian potret warga yang kelabakan menghadapi beban PBB. Fenomena ini mengingatkan pada gelombang protes di Pati, Jawa Tengah, yang sebelumnya juga geger akibat kenaikan pajak tanah. Persoalannya sama pembaruan data yang telat bertahun-tahun, hingga kenaikan terasa “mendadak” dan ekstrem.
Pertanyaannya, jika pembaruan data memang kewajiban pemerintah, mengapa dilakukan tanpa mekanisme penyesuaian yang lebih manusiawi? Kenaikan hingga 350 persen, meski secara teknis “hasil sistem”, tetap menabrak rasa keadilan publik. Warga akhirnya membayar, tapi sambil menabung rasa kecewa dan dalam kasus Joko Fattah Rochim, membayar sambil menumpahkan pesan protes di atas meja koin Bapenda. (din)