
“Prinsipnya ditegaskan dalam berbagai kesempatan, dirangkum dalam ungkapan yang menjadi motto perjuangan intelektualnya: “Kiai menulis, santri berpikir, guru berjuang.””
Oleh Abdul Wachid BS*
SETIAP 10 November, langit Indonesia kembali meneteskan cahaya kenangan bagi mereka yang gugur demi kemerdekaan. Hari Pahlawan bukan sekadar tanggal di kalender, melainkan cermin yang memantulkan keberanian dan pengorbanan.
Dalam gema peringatan ini, kita menoleh ke Purwokerto, tempat lahirnya sebuah lembaga pendidikan tinggi yang kini bernama Universitas Islam Negeri Prof KH Saifuddin Zuhri (UIN Saizu). Tanggal 10 November 1962 menandai lahirnya Lembaga Pendidikan al-Djami’ah Sunan Kalijaga, sebuah inisiasi visioner dari Prof KH Saifuddin Zuhri selaku Menteri Agama, yang menyalakan obor ilmu di tengah bayang-bayang perjuangan fisik yang telah lampau.
Di sini, sejarah bertaut dengan visi: dari medan perang menuju medan pendidikan, dari santri yang gagah berani menjadi guru bangsa yang menebar cahaya pengetahuan.
Namun, pertanyaan reflektif muncul di tengah damainya negeri: apakah makna kepahlawanan masih hidup ketika medan pertempuran telah diganti oleh ruang kelas dan perpustakaan? Apakah generasi akademik kini mampu meneladani keteguhan seorang Prof KH Saifuddin Zuhri, yang menjadikan pena sebagai senjata, ilmu sebagai jihad, dan moral sebagai perisai bangsa?
Dalam konteks ini, esai ini menegaskan sebuah tesis reflektif: Kepahlawanan sejati bukan hanya tentang mengangkat senjata, melainkan tentang menyalakan cahaya ilmu dan keimanan untuk menerangi bangsa.
Kepahlawanan dapat diwujudkan melalui pendidikan, tulisan, dan pengabdian moral: sebuah perjalanan yang mempersatukan sejarah, iman, dan akal, menuntun civitas akademika UIN Saizu untuk menapaki jejak perjuangan yang abadi.

Kepahlawanan yang Religius
Prof KH Saifuddin Zuhri menempatkan iman sebagai fondasi setiap langkah perjuangan. Bagi beliau, jihad fi sabilillah bukan hanya sekadar perlawanan terhadap penjajah atau ancaman fisik, tetapi pengabdian yang lahir dari kesadaran akan kehendak Tuhan dalam kehidupan sosial dan moral bangsa.
Dalam Berangkat dari Pesantren (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2013-a), beliau menekankan bahwa santri bukan hanya siap menghadapi medan tempur, tetapi juga dipersiapkan untuk menegakkan kebenaran dan moral di tengah masyarakat. Dengan demikian, perjuangan fisik dan spiritual saling melengkapi: keberanian lahir dari keikhlasan, pengorbanan diperkuat oleh pengetahuan agama, dan disiplin lahir dari ketundukan hati kepada Allah.
Nilai inti yang ia tanamkan meliputi keikhlasan, kesetiaan, dan keberanian. Keikhlasan membimbing pahlawan untuk bertindak bukan demi pujian manusia, tetapi demi ridha Tuhan. Kesetiaan menuntun pada konsistensi dalam menjalankan amanah, dan keberanian meneguhkan langkah di tengah tantangan yang menuntut pengorbanan. Dari perspektif sufistik, kepahlawanan yang sejati dimulai dari penguasaan diri sendiri: menaklukkan hawa nafsu sebelum menaklukkan musuh (Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1999).
Jihad sejati tidak hanya di medan tempur, tetapi di medan batin, melawan kebodohan dan kemalasan. Dengan cara ini, perjuangan Prof. K.H. Saifuddin Zuhri menunjukkan bahwa energi spiritual dapat menjadi kekuatan transformatif: mencetak generasi yang berani, cerdas, dan beriman. Kepahlawanan religius bukan hanya aksi heroik di panggung sejarah, tetapi juga penciptaan budaya moral yang abadi bagi umat.
Kepahlawanan Intelektual
Setelah debu peperangan kemerdekaan mereda, Prof. K.H. Saifuddin Zuhri memindahkan medan perjuangan dari panggung konflik fisik ke ranah pendidikan. Bagi beliau, mencerdaskan umat adalah perpanjangan dari jihad fi sabilillah: medan yang damai namun menuntut kesungguhan dan pengorbanan. Dalam kapasitasnya sebagai Menteri Agama, beliau mendorong pendirian madrasah, memperluas akses perguruan tinggi Islam, dan membimbing santri agar mampu berpikir kritis sekaligus beriman.
Prinsip hidup yang selalu beliau tegaskan dalam berbagai kesempatan dapat dirangkum dalam ungkapan yang menjadi motto perjuangan intelektualnya: “Kiai menulis, santri berpikir, guru berjuang.”
Ungkapan ini menegaskan bahwa pengetahuan bukan sekadar harta intelektual, tetapi senjata moral dan spiritual. Pena menjadi pedang yang menebar cahaya di zaman damai; buku menjadi medan pertempuran melawan kebodohan, ketidakadilan, dan kemalasan berpikir. Pendidikan adalah jihad berkelanjutan: bukan sekadar transfer ilmu, tetapi pembentukan karakter, kesadaran etis, dan spiritualitas yang kokoh.
Warisan nilai ini kini hidup di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri. Mahasiswa dan dosen yang menapaki koridor kampus bukan hanya meneruskan tradisi akademik, tetapi juga menyalakan obor pengetahuan, menjadikan ilmu sebagai sarana pengabdian kepada bangsa dan umat. Kepahlawanan intelektual, sebagaimana dicontohkan beliau, mengajarkan bahwa membimbing pikiran sama pentingnya dengan menuntun hati, dan mencetak generasi berilmu adalah jihad yang tiada henti.
Kepahlawanan Kultural dan Nasional
Prof. K.H. Saifuddin Zuhri menegaskan bahwa kepahlawanan tidak berhenti pada medan fisik atau intelektual semata, tetapi juga menuntut keseimbangan kultural: integrasi antara iman dan kebangsaan. Beliau menolak dikotomi yang sering muncul antara nilai-nilai religius dan semangat nasionalisme. Bagi beliau, mencintai tanah air adalah bagian tak terpisahkan dari iman; menjaga bangsa dan umat adalah wujud konkret dari pengabdian kepada Allah (2013-a: 112).
Dalam karya monumental Guruku Orang-Orang dari Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Sastra, LKiS, 2013-b), beliau menampilkan bagaimana pesantren menjadi pusat moral dan penjaga keberagaman bangsa. Pesantren tidak hanya membentuk santri yang berilmu, tetapi juga menanamkan etika sosial, rasa tanggung jawab, dan toleransi: fondasi bagi keharmonisan masyarakat plural. Beliau meyakini bahwa kepahlawanan sejati muncul ketika seseorang mampu menegakkan keseimbangan antara iman dan kemanusiaan, antara surga dan bumi, antara hak individu dan tanggung jawab sosial.
Dengan perspektif ini, pahlawan kultural bukanlah sekadar tokoh yang mengangkat senjata atau menorehkan prestasi akademik, tetapi mereka yang menebar cinta, menegakkan keseimbangan, dan membimbing masyarakat menuju kebaikan. Seperti yang beliau gambarkan secara alegoris: “Kepahlawanan bukan sekadar mengangkat senjata, tetapi menegakkan cinta dan keseimbangan di tengah kehidupan.”
Nilai ini relevan bagi generasi akademik kini: mahasiswa dan civitas akademika UIN Saizu dipanggil untuk menjadi penjaga keseimbangan moral dan intelektual, menjadikan kampus sebagai medan amal yang menyinari bangsa dengan ilmu, iman, dan akhlak.
Kepahlawanan Spiritual
Kepahlawanan Prof. K.H. Saifuddin Zuhri melampaui ranah fisik, intelektual, dan kultural; ia menembus dimensi spiritual, menjadikan diri beliau insan rahmatan lil-‘alamin. Kepahlawanan spiritual ini terwujud dalam pengabdian yang menyatukan iman, akal, dan akhlak, sehingga setiap tindakan, baik dalam mendidik santri maupun menulis, menjadi sarana menebar rahmat bagi seluruh ciptaan.
Bahasa alegoris mampu menggambarkan dimensi ini secara intuitif: “Beliau berperang tanpa pedang, mencerdaskan tanpa luka, dan menang tanpa musuh.” Ungkapan ini menyiratkan bahwa jihad beliau bukan melawan manusia atau materi, melainkan menundukkan ego, menyingkirkan sifat kebencian, iri, dan kemalasan, sehingga tercipta ruang bagi ilmu dan rahmat untuk menyinari masyarakat. Dalam perspektif sufistik, jihad akbar sebagaimana dijelaskan Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din adalah perjuangan melawan hawa nafsu dan kebodohan internal, dan ini menjadi medan utama bagi pahlawan spiritual.
Selain itu, konsep insan kamil Ibn ʿArabī dalam Futuhat al-Makkiyyah (The Meccan Revelations. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999:342) menegaskan puncak kemanusiaan: manusia yang mampu mencerminkan sifat-sifat Ilahi dalam kehidupan sehari-hari, membimbing masyarakat dengan moral dan intelektual, serta menebar kasih tanpa pamrih. Prof. K.H. Saifuddin Zuhri mewujudkan hal ini melalui pendidikan, karya tulis, dan pengabdian masyarakat; dan visi ini menjadikan kampus UIN Saizu sebagai laboratorium kepahlawanan spiritual yang nyata.
Dengan demikian, kepahlawanan beliau bukan sekadar catatan sejarah atau prestasi akademik, tetapi sebuah model hidup: jihad batin, pengajaran sebagai amal jariyah, dan bimbingan moral yang menebar rahmat bagi seluruh umat. Generasi akademik kini, khususnya civitas UIN Saizu, dipanggil untuk meneladani jejak ini: menjadi insan yang berilmu, beriman, dan rahmatan lil-‘alamin dalam konteks modern.
Di tengah riuhnya aktivitas kampus dan derasnya arus informasi, UIN Saizu berdiri sebagai mercusuar nilai-nilai kepahlawanan Prof. K.H. Saifuddin Zuhri. Dosen dan mahasiswa yang menapaki lorong-lorong ilmu, menyalakan laboratorium penelitian, dan membimbing masyarakat melalui pengabdian, sesungguhnya meneladani jihad modern yang pernah beliau lakukan. Kepahlawanan itu kini hadir dalam bentuk lain: bukan lagi pedang dan meriam, tetapi pena, buku, dan hati yang teguh. Spirit perjuangan ini dihidupkan melalui tridarma perguruan tinggi: pendidikan yang mencerahkan, penelitian yang membebaskan, dan pengabdian yang menyejahterakan.
Nilai-nilai yang beliau wariskan mengajarkan kita bahwa iman melahirkan keberanian, ilmu menumbuhkan kemerdekaan, dan pendidikan menegakkan peradaban. Seorang pahlawan sejati bukanlah mereka yang hanya dikenang dalam prasasti atau patung, tetapi mereka yang tetap menebar cahaya, menegakkan kebaikan, dan membimbing generasi penerus dengan ketulusan dan hikmah.
Dalam kata-kata yang sederhana namun sarat makna: Meneladani Prof. K.H. Saifuddin Zuhri berarti berjuang dalam diam, mengajar dengan cahaya, dan mencintai negeri dengan doa.
Pesan ini mengingatkan kita bahwa kepahlawanan tidak berhenti pada masa lalu; ia mengalir terus, menginspirasi setiap insan yang berani menyalakan obor ilmu di tengah gelapnya kebodohan dan kemalasan.(sumber kemenag.go.id)
*Abdul Wachid B.S.adalah penyair, Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, dan Ketua Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura), UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto





































