Oleh Hananto Widodo*

Seorang hakim konstitusi mengundurkan diri dari jabatannya bukan karena keputusan dari Majelis Kehormatan MK, tetapi karena keinginan dari hakim yang bersangkutan atau karena ada desakan dari publik.

DESAKAN mundur terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat semakin menguat. Bahkan sebanyak 54 Guru Besar dari berbagai Perguruan Tinggi juga ikut mendesak Arief Hidayat agar mundur dari hakim Konstitusi. Tentu ketika ada desakan mundur terhadap seorang pejabat selalu muncul dua perspektif, yaitu perspektif dari kelompok penekan (publik) yang menuntut seorang pejabat mundur dari jabatannya dan perspektif dari pejabat yang dituntut untuk mundur dari jabatannya.
Kelompok yang menghendaki Arief Hidayat mundur dari jabatannya dilandasi pada argumentasi bahwa seorang hakim konstitusi adalah seorang negarawan. Seorang negarawan selalu dipahami sebagai seorang yang memiliki standar moral di atas rata-rata orang pada umumnya. Perbuatan Arief Hidayat berkaitan dengan katabelece dan dugaan loby kepada komisi III DPR agar dia terpilih kembali menjadi hakim konstitusi dengan janji bahwa dia akan memenangkan pihak DPR berkaitan dengan perkara angket KPK yang sedang dalam proses persidangan di MK, dianggap oleh 54 Guru Besar sebagai tindakan yang tercela. Kelompok penekan, termasuk 54 Guru Besar lebih menggunakan landasan moral sebagai dasar argumentasinya.
Desakan mundur ini semakin menguat ketika MK dalam putusan MK No. 40/PUU-XV/2017 memutuskan bahwa KPK dapat menjadi subyek hak angket, karena KPK merupakan bagian dari eksekutif. Putusan ini oleh sebagian kalangan dianggap ganjal antara lain karena putusan ini bertentangan dengan empat putusan MK sebelumnya yang menyatakan bahwa KPK bukan merupakan bagian dari eksekutif. Lahirnya putusan MK No. 40 ini dicurigai sebagai bentuk perwujudan janji Arief Hidayat kepada Komisi III DPR. Kecurigaan ini bukan tanpa dasar karena putusan MK No. 40 ini diwarnai dengan empat hakim MK yang melakukan dissenting opinion. Persoalannya menjadi lain jika Arief Hidayat berada pada posisi mengabulkan permohonan dari pemohon, maka publik bisa beranggapan bahwa janji Arief Hidayat kepada Komisi III DPR untuk memenangkan pihak DPR hanya isapan jempol.
Sementara itu, Arief Hidayat beranggapan bahwa tuntutan dari publik agar dia mundur dari hakim konstitusi tidak memiliki landasan hukum. Tidak ada satu aturan pun yang mengharuskan dia untuk mundur sebagai hakim konstitusi. Perspektif yang digunakan baik oleh Arief Hidayat maupun oleh publik tentu memiliki elaborasinya masing-masing. Arief Hidayat mendasarkan pada Peraturan MK No. 2 Tahun 2013 tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi dan Peraturan MK No. 2 Tahun 2014  tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Dalam kedua Peraturan MK tersebut seorang hakim konstitusi bisa diberhentikan sebagai hakim konstitusi jika telah melakukan pelanggaran berat atau telah mendapat teguran lisan sebanyak tiga kali. Proses pemberhentian hakim konstitusi terlapor atau hakim konstitusi terduga juga harus melalui proses yang cukup panjang..
Oleh karena itu jika mendasarkan pada kedua Peraturan MK tersebut maka Arief Hidayat tidak akan bisa diberhentikan sebagai hakim konstitusi, sebab Arief Hidayat masih memiliki satu kesempatan lagi untuk tidak melakukan pelanggaran etik ringan. Jika Arief Hidayat melakukan pelanggaran etik lagi maka Dewan Etik akan mengambil keputusan yang menyatakan bahwa Arief Hidayat diduga melakukan pelanggaran berat (vide Pasal 32 ayat (1) Peraturan MK No. 2 Tahun 2014). Keputusan Dewan Etik tersebut dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Dewan Etik. Penyampaian Berita Acara Pemeriksaan Dewan Etik juga akan disertai dengan pembebasan tugas hakim terduga atau terlapor. Pembebasan tugas hakim terlapor dan hakim terduga juga disertai dengan pembentukan Majelis Kehormatan MK. Majelis Kehormatan MK inilah yang akan memproses dugaan pelanggaran etik berat yang dilakukan oleh hakim terlapor atau hakim terduga.
Jika menengok pada prosedur yang diatur dalam kedua Peraturan MK tersebut maka akan sangat sulit untuk memberhentikan Arief Hidayat sebagai hakim konstitusi. Namun demikian, yang dilakukan dituntut oleh publik bukan agar dilakukan pemberhentian terhadap Arief Hidayat sebagai hakim konstitusi, tetapi agar Arief Hidayat melakukan pengunduran diri dari jabatannya sebagai hakim konstitusi. Antara pengunduran diri dan pemberhentian adalah dua istilah yang mengandung pengertian yang berbeda.
Meskipun antara pemberhentian dan pengunduran diri memiliki akibat yang sama, yakni sama-sama berakibat pada berhentinya orang yang bersangkutan sebagai hakim konstitusi. Pemberhentian seorang hakim konstitusi dilakukan oleh pihak yang berwenang dalam hal ini adalah Dewan Etik Hakim Konstitusi dan Majelis Kehormatan Dewan dengan melakukan pemberhentian secara tidak hormat sebagai hakim MK. Di samping itu seorang hakim konstitusi telah diberhentikan sebagai hakim konstitusi jika ada keputusan tetap dari Majelis Kehormatan MK.
Sementara itu, seorang hakim konstitusi mengundurkan diri dari jabatannya bukan karena keputusan dari Majelis Kehormatan MK, tetapi karena keinginan dari hakim yang bersangkutan atau karena ada desakan dari publik. Desakan publik agar Arief Hidayat mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi juga merujuk pada sejarah mundurnya Arsyad Sanusi sebagai hakim konstitusi, karena telah melakukan pelanggaran ringan. Namun demikian sekali lagi, keputusan mundur atau tidaknya Arief Hidayat bukan masuk pada wilayah kewenangan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan, tetapi merupakan keputusan pribadi dari Arief Hidayat apakah akan meniru langkah Arsyad Sanusi atau tetap pada pendiriannya. Atau Arief Hidayat akan goyah sikapnya dengan semakin menguatnya desakan dari publik agar dia segera mengundurkan diri.
*Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara, Ketua Pusat Studi Dan Layanan Hukum (PSLH) Unesa.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry