
“Nah, ketika masuk Indonesia, tentu budaya nano banana ini tidak mau kalah.”
Catatan Cak AT*
PISANG itu, saudara-saudara, ternyata punya lebih banyak identitas daripada warga negara dalam KTP elektronik. Ada pisang Lampung, pisang Medan, pisang Ambon. Dari silsilah feodal ada Pisang Raja, dari biologi ada Pisang Jantan, dari dapur ada Pisang Goreng.
Bahkan dari politik ada “Republik Pisang” —negara yang hancur lebur tapi masih sempat jualan ekspor pisang. Dan kini, di era kecerdasan buatan, muncullah satu varian baru: Nano Banana. Anda sudah tahu maksudnya, jadi saya tidak perlu menerjemahkannya.
Tapi jangan salah, ini bukan pisang mini buat bekal anak sekolah. Nano Banana adalah nama sebuah tool AI yang bikin orang bisa mengedit foto jadi maha sempurna, seolah-olah tukang rias pengantin dan tukang jahit kebaya sudah diakuisisi oleh Google, pencipta tool AI ini.
Di India, tren ini lahir dari demam Navratri —bayangkan, orang biasa yang tadinya selfie di kamar kos dengan kipas angin gantung bisa seketika tampil dalam foto seolah menari dandiya di bawah langit penuh lampion, lengkap dengan kain ghagra choli yang berkilauan.
Nah, ketika masuk Indonesia, tentu budaya nano banana ini tidak mau kalah. Bayangkan orang Bekasi yang tadinya selfie di depan warung Indomie, tiba-tiba dalam fotonya sudah jadi raja dangdut di pelaminan dengan baju bludru merah.
Atau mahasiswa kos-kosan di Yogyakarta yang tadinya tidur di kasur tipis, mendadak berubah jadi model iklan batik dengan senyum tipis penuh estetika. Nano Banana ini memang sakti, bisa mengubah wajah murung habis dikejar deadline jadi wajah glowing ala iklan skincare.
Popularitasnya? Jangan ditanya. Di media sosial, kata kunci “Nano Banana AI” sudah viral lebih cepat dari gosip artis cerai. Di TikTok, jutaan orang memamerkan “before-after” foto mereka. Sebelum Nano Banana: wajah pucat, rambut acak-acakan, latar belakang jemuran.
Lalu, sesudah Nano Banana: aura selebriti, baju adat lengkap, latar belakang pura Bali dengan cahaya senja. Kalau dulu orang rebutan filter Instagram, sekarang semua ramai-ramai bikin diri jadi action figure 3D Nano Banana yang bisa diputar-putar seperti mainan di meja gamer.
Sejak peluncuran model Nano Banana oleh Google Gemini sekitar akhir Agustus 2025, lonjakan popularitasnya sungguh spektakuler: dalam sebulan pertama, lebih dari 500 juta gambar telah dihasilkan oleh pengguna di seluruh dunia menggunakan fitur edit visualnya.
Berkat tersedianya model Nano Banana, aplikasi Gemini berhasil menarik 23 juta pengguna baru. Gemini melambung menduduki posisi teratas di App Store dan Google Play di banyak negara berkat tren ini, termasuk Indonesia yang ikut merasakan gema viralitasnya.
Fenomena ini sebenarnya menarik bila dilihat dari kaca mata budaya visual. Ada semacam demokratisasi estetika: siapa pun bisa tampil bak selebriti tanpa perlu warisan genetik maupun dana salon. Tapi di sisi lain, ada juga bahaya. Apa itu?
Nano Banana bisa menimbulkan _cultural dissonance_: orang lebih percaya pada dirinya yang digital ketimbang dirinya yang nyata. Orang lebih bangga pada figurine 3D hasil AI ketimbang wajah asli di KTP.
Akhirnya, lahirlah generasi yang lebih sibuk mengatur prompt AI daripada mengatur jadwal mandi. Namun, bukankah memang begitu jalannya sejarah?
Dulu orang berdebat tentang pisang apa yang paling enak. Kini orang berdebat prompt apa yang paling tepat agar hidung tidak ketuker dengan lampu jalan.
Dulu orang rebutan tahta Pisang Raja, kini orang rebutan siapa yang paling glowing di Nano Banana. Hiperbolanya jelas: bangsa ini bisa lebih serius mengedit foto pernikahan virtual daripada merencanakan pernikahan nyata.
Lalu apa pelajaran dari semua ini? Mungkin justru di titik absurd inilah manusia diuji. Bahwa tragedi identitas —ketidakpuasan pada wajah sendiri, tubuh sendiri, dunia sendiri—disulap jadi komedi massal.
Bahwa kehilangan autentisitas bisa jadi bahan renungan: siapa kita tanpa filter, tanpa edit, tanpa pisang nano yang melapisi wajah kita? Mungkin kita hanyalah pisang biasa, yang sudah cukup manis walau tak berkilau.
Jadi, kalau hidup terasa getir, ingatlah: bahkan pisang pun bisa jadi nano. Dan dari pisang nano itu, kita belajar bahwa kadang realitas terlalu keras untuk ditelan mentah-mentah—maka kita pun mengupasnya, menambahkan gula visual, lalu menyajikannya dengan tawa.
Pada akhirnya, tragedi berubah jadi komedi, kehilangan jadi pelajaran, dan angka besar viralitas hanya jadi bahan tertawaan sambil menyeruput kopi. Karena hidup, pada hakikatnya, hanyalah drama komedi dengan kulit pisang yang selalu siap membuat kita terpeleset.
*Cak AT adalah Ahmadie Thaha. Pengasuh Ma’had Tadabbur al-Qur’an.