Keterangan FT /ANTARA
“…perlu diwacanakan sebuah terobosan dalam sistem perpolitikan kita yang lebih mendorong melesatnya Indonesia sejajar dengan China dan negara tetangga Singapura dan Malaysia.”

Oleh: Haris Muhith*

MENGAMATI hiruk pikuk politik pemilihan presiden (Pilpres) yang tidak kunjung reda, menarik untuk digagas sebuah terobosan yang efektif mereduksi dan mengendalikan kondusifitas politik jagad negeri yang kita cintai ini.
Terobosan ini menjadi urgen, lantaran Indonesia saat ini dihadapkan pada tuntutan pengarusutamaan pemenangan persaingan ekonomi global yang menuntut kondusifitas iklim politik. Tanpa hal tersebut mustahil suatu negara bisa menggapai keunggulan di sektor bisnis dan memenangkan pertarungan antar negara.
China contohnya, ia berhasil meraih mencapai kemajuan pesat lantaran mewarisi budaya komunisme yang secara keras mengendalikan kebebasan masyarakat, dan memanfaatkannya untuk kepentingan negara. Pengutamaan kepentingan negara daripada kepentingan individu, menjadi ciri khas budaya komunis yang sekarang menuai hasilnya di bidang ekonomi. Di mana superioritas pemerintah mampu efektif mengarahkan potensi rakyat untuk menjalankan kebijakan pemerintah di sektor bisnis dan perdagangan global.
Demi tujuan tersebut yang menuntut stabilitas politik, China pun tidak segan-segan menyepakati kekuasaan sang presiden, Xi Jinping, seumur hidup. Keputusan parlemen komunis China itu patut menjadi pelajaran Indonesia bahwa rotasi kepemimpinan bukanlah segala-galanya jika dibandingkan dengan kedigdayaan negara.
Sirkulasi kepemimpinan merupakan salah satu pilar demokrasi yang tidak bisa ditinggalkan. Meski demikian ia bisa seperti pisau bermata dua, satu sisi memberikan peluang kepemimpinan bagi pemimpin baru yang lebih baik, di sisi lain menjatuhkan penguasa dan menimbulkan situasi politik yang kronis.
Jika yang kedua terjadi, maka roda perekonomian terganggu dan iklim investasi dan bisnis dirugikan. China dalam hal ini sudah berketetapan untuk mengamputasi mata pisau yang membahayakan sekaligus mengamputasi mata pisau yang lain yang memberikan peluang bagi pemimpin baru karena meyakini pemimpin sangat baik dan layak diberikan mandat seumur hidup. China dengan demikian mengabaikan nilai-nilai demokrasi demi kepentingan ekonomi yang bagi mereka lebih layak untuk diutamakan.
Sementara apa yang terjadi di negara kita nampaknya masih jauh mementingkan rotasi kepemimpinan dan menjadikan perebutan kekuasaan sebagai sesuatu yang utama dan paling menyedot energi kekuatan-kekuatan politik.
Belum habis ‘sakit hati’ akibat kekalahan pilpres kemarin, sekarang sudah mau pilpres lagi. Jadilah politik jagad negeri diisi oleh hiruk pikuk yang tiada henti. Mulai dari isu bangkitnya komunisme yang oleh Buya Syafi’i Ma’arif disebut sebagai mimpi di siang bolong hingga pernyataan Amien Rais yang menyebut koalisi partainya sebagai Partai Allah dan koalisi partai pemerintah sebagai Partai Setan dan pengarahan isu-isu yang lain untuk menyerang lawan politik, ini semua memperkeruh situasi sosial-politik yang berimbas pada lambannya pembangunan dan sulitnya Indonesia melesat seperti negara-negara maju yang baru.
Meski demikian, menurut Fadli Zon, Wakil Ketum Gerindra, kegaduhan politik yang ada dinilai masih pada batas-batas yang wajar. Artinya bahwa pemerintah jangan baper atau berlebihan dalam meresponnya dan menganggapnya menjegal  kepemimpinan yang sah.
Mengamati ketegangan yang kerap muncul dan seringnya aksi turun ke jalan oleh massa yang tidak berbendera partai, tapi sangat mungkin didukung oleh kepentingan partai sehingga memperkeruh iklim dunia usaha dan percepatan laju ekonomi, maka, perlu kiranya ditinjau ulang praktik berdemokrasi kita. Sebab yang diharapkan darinya bukanlah semata berdemokrasi tapi berkeadilan dan berkemakmuran. Hendaknyalah kebebasan yang didapat dari demokrasi tidak membuat kita dalam euforia kebebasan saja tapi mengarahkannya pada sesuatu yang lebih produktif dan bernilai signifikan yang.
Untuk itu perlu diwacanakan sebuah terobosan dalam system perpolitikan kita yang lebih mendorong melesatnya Indonesia sejajar dengan China dan negara tetangga Singapura dan Malaysia. Terobosan ini tentu tidak mungkin seperti China yang berideologikan komunisme atau seperti yang sudah ditempuh orde baru di bawah rezim Soeharto yang memasung kebebasan berekspresi dan menebarkan rasa takut di hati masyarakat agar tunduk kepada pemerintah. Tapi dengan mengurangi potensi bias demokrasi seperti ketegangan yang ditimbulkan oleh oposisi yang tidak menginginkan kekuatan yang berkuasa berpeluang untuk berkuasa kembali pada periode yang akan datang.
Ide yang ditawarkan di sini adalah dengan membatasi periode kepresidenan hanya satu periode namun dengan perpanjangan durasi dari lima tahun menjadi tujuh tahun. Hal ini untuk mengurangi agresifitas oposisi dalam menyerang presiden dengan tujuan menurunkan elektabilitasnya pada pemilu mendatang.
Presiden yang mendapatkan polling tinggi karena kemampuannya mengambil hati rakyat otomatis mendorong oposisi untuk melemahkannya dengan berbagai cara. Hal ini kerap menciptakan kegaduhan sepanjang masa berkuasa apalagi dengan turunnya massa di jalan.
Dengan ditetapkan jabatan presiden hanya satu periode, setidaknya kegaduhan yang disebabkan oleh kekhawatiran akan terpilihnya kembali presiden petahana bisa dihilangkan. Karena hanya satu periode tentunya masa lima tahun terlalu singkat. Untuk itu perlu ditambah menjadi tujuh tahun sebuah durasi yang tidak kurang dan tidak lebih.  Oposisi yang menginginkan maju di pilpres mendatang tidak terlalu lama menunggu dan presiden yang sedang berkuasa memiliki waktu yang cukup untuk mewujudkan mimpinya dalam membangun negeri.  Wallahu a’lam bis-shawab. (*)
*Haris Muhith adalah Peneliti Sosial Politik dan Dosen UIN Sunan Ampel.
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry