Keterangan foto indonation

SURABAYA | duta.co – Selain sektor pertanian, masyarakat pesisir harus menjadi perhatian serius pemerintah mendatang. Selama ini, mereka terabaikan, dibiarkan miskin. Apalagi paska perjanjian perdagangan bebas dengan Norwegia, ini bagaikan bom waktu yang bisa ‘melumat’ habis masa depan mereka.

“Miris menyaksikan nasib masyarakat pesisir dan nelayan kecil. Hingga kini, mereka belum merasakan keuntungan nyata dari kue pembangunan yang digalakkan pemerintah. Mereka ini hanya didekati menjelang pemilu,” tegas Hendro T Subiyantoro, relawan Prabowo-Sandi kepada duta.co, Minggu (30/12/2018).

Masih menurut Hendro, komitmen Prabowo-Sandi adalah hentikan impor pangan. Artinya, berdayakan petani, nelayan, peternak. “Mereka ini lama terabaikan,” jelas mantan Pengurus GP Ansor Jatim yang dikenal dekat kalangan bawah ini.

Nasib nelayan ini juga dibahas secara serius dalam talk show Obrolan Bahari bertema Membangun Indonesia dari Pesisir, yang digelar oleh Masyarakat Pesisir dan Nelayan Tradisional bersama Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Semarang.

Pakar Antropologi Maritim, Dedi S Adhuri dalam Obrolan Bahari Rabu (26/12/2018), menegaskan, masyarakat pesisir, terutama nelayan kecil, masih mengalami masalah serius dalam kesejahteraannya. Permasalahan-persoalan sosial, seperti kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah masih terus terjadi.

“Hal ini dikarenakan, nelayan masih dipandang sebagai objek ketimbang subjek dari program pembangunan,” tutur Dedi dalam keterangannya.

Dia mengingatkan, kegiatan mencari ikan di laut oleh nelayan tradisional dihadapkan dengan bahaya yang sangat besar, sedangkan kemampuan terbatas.

Bayangkan saja, kata dia, dengan kondisi laut yang sangat berbahaya itu, nelayan kecil dan masyarakat pesisir berani hadir ke tengah laut untuk mempertaruhkan nyawanya, agar bisa hidup.

“Bahkan, perlu disampaikan, kehadiran nelayan dan masyarakat pesisir kita di lautan lebih besar jumlahnya daripada TNI Angkatan Laut atau Polisi Perairan loh. Oleh karena itu, nelayan dan masyarakat pesisir kita bisa dijadikan sebagai mata aparat kita loh,” terang pria yang juga peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini.

Potensi masyarakat pesisir dan nelayan tradisional Indonesia yang besar itu, lanjut Dedi, semestinya dilindungi dan dikembangkan. Mereka bahkan sangat bisa diandalkan untuk menjaga ekosistem pesisir.

Seperti di Aceh, kata dia, masyarakatnya memiliki Panglima Laut. Yaitu struktur dan masyarakat adat Aceh yang menjaga laut dan keadilan.  “Di dalam peraturanya ada muatan keadilan yang bahkan di peraturan modern tidak ada. Dan banyak sekali daerah-daerah pesisir yang memiliki kearifan lokal,” imbuhnya.

Dedi menyarankan agar pemerintah dan negara menciptakan narasi nelayan yang berbeda-beda, sesuai dengan kearifan lokal masing-masing. Selain kegiatan menangkap ikan, menurut Dedi,  sektor budidaya perikanan juga bisa dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Ancaman Impor Norwegia

Pemerintah Indonesia dikabarkan telah membuat perjanjian perdagangan bebas dengan Norwegia. Perjanjian perdagangan bebas itu dinilai sangat merugikan nelayan Indonesia. Minggu (16/12) lalu, perjanjian dimaksud telah ditandatangani di Jakarta.

“Jika perjanjian ini diberlakukan, maka lebih dari 80 persen ekspor Norwegia ke Indonesia akan bebas bea masuk. Dan itu sangat merugikan nelayan Indonesia,” tutur Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata dalam keterangan persnya, Senin (24/12).

Dia mengatakan, perjanjian tersebut didorong melalui forum European Free Trade Association (EFTA), di mana Norwegia menjadi salah satu negara anggotanya. “Negosiasi perjanjian ini telah berlangsung hampir delapan tahun di antara kedua negara tersebut secara tertutup, tanpa partisipasi dari masyarakat sipil terlebih organisasi nelayan Indonesia,” terangnya.

Marthin memaparkan, pada 2017, Indonesia mengekspor produk senilai 1,3 miliar dolar AS ke negara-negara EFTA. Sementara Indonesia mengimpor 1,1 miliar dolar AS dari blok tersebut.

Perjanjian EFTA-Indonesia ini secara intensif dibahas bersamaan dengan keputusan parlemen Norwegia yang melarang penggunaan biodiesel berbasis minyak kelapa sawit dalam upaya untuk melindungi iklim dan hutan hujan.

Secara tidak langsung, lanjut Marthin, keputusan ini berdampak pada intensitas ekspor minyak sawit yang berasal dari Indonesia dengan ancaman menghentikan masuknya ekspor ikan dari Norwegia.

Saat ini, sekitar 60 persen dari total impor salmon ke Indonesia berasal dari Norwegia. Ekspor makanan perikanan laut Norwegia ke Indonesia pada tahun 2017 mencapai 250 juta dolar AS atau setara dengan 219 juta Euro.

Perjanjian EFTA-Indonesia secara khusus menjadi sarana untuk menjaga kelangsungan perdangan bebas di sektor perikanan.

Menurut Marthin, perjanjian perdagangan bebas ini hanya menguntungkan Norwegia untuk mengamankan kepentingan posisi ekonomi dalam perdagangan internasional.  “Perjanjian perdagangan ini hanya akan meningkatkan dam membuka pasar ekspor untuk perusahaan Norwegia. Sementara perjanjian itu akan menjadikan hal sebaliknya bagi situasi perikanan Indonesia,” tuturnya.(wid,rmol)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry