Keterangan foto youtube. Saat Presiden Jokowi bicara ruwet, ruwet ruwet.

@Simson Marada memberi judul dramatis: ‘Hampir Nangis Jokowi Sampaikan Pesan Ini Pada Para Pejabat Indonesia! Haru.’ Video itu diunggah di laman youtube Jumat, 10 April 2020. Di acara ini Presiden Jokowi menyebut kata ‘ruwet’ sampai tiga kali.”

Oleh Mokhammad Kaiyis

DUA HARI, sampai Rabu (22/4/2020) pagi, masih berseliweran video pendek Presiden Jokowi. Ini video terpendek, jika dibandingkan dengan video lain yang beredar di grup-grup WhatsApp saat itu. Durasinya 5 detik. Hanya ada satu kata, ruwet. Tiga kali presiden mengatakan itu: Ruwet, ruwet, ruwet!

Saya tidak tertarik mencari tahu, siapa ‘pelempar’ video itu. Yang menarik, potongan video tersebut kelihatan asli. Meminjam bahasa santri ‘ashli’, pakai ‘shod’ agar tidak diragukan keaslihannya.

Pertanyaannya: Kapan Presiden Jokowi bicara ruwet, ruwet, ruwet, itu? Apa konteksnya? Adakah kaitannya dengan kondisi (susah) saat ini, dengan mengganasnya wabah Covid-19?

Melalui mesin google, kita bisa menyimak ‘pidato ruwet’ tersebut di youtube. Banyak unggahan yang sama, baik media mainstream mau pun akun personal, seperti @Simson Marada.

Bedanya, yang terakhir ini, lebih lengkap. Durasinya lumayan utuh, 14:58 menit. Pada menit 7:05, kita bisa mendengar dengan jelas, Presiden Jokowi mengatakan: ‘Ruwet,ruwet,ruwet!

@Simson Marada memberi judul dramatis: ‘Hampir Nangis Jokowi Sampaikan Pesan Ini Pada Para Pejabat Indonesia! Haru.’ Video itu diunggah Jumat, 10 April 2020. Di acara inilah, Presiden Jokowi menyebut kata ‘ruwet’ sampai tiga kali.

Keruwetan itu dipidatokan presiden di acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2019. Presiden kelihatan jengkel, karena perizinan (investasi) masih berbelit belit dan memakan waktu lama. Berikut petikannya:

“Lima tahun ke depan, mohon maaf, saya sudah ndak ada beban. Saya sudah nggak bisa nyalonkan (mencalonkan presiden red.) lagi. Jadi, apa pun yang paling baik, terbaik untuk negara, akan saya lakukan. 

Jadi? Yang namanya penyederhanaan perizinan, saya sudah bolak balik ngomong (bicara), kita ini dari 20 tahun tidak bisa menyelesaikan yang namanya defisit transaksi berjalan, defisit neraca perdagangan. Karena apa? Karena ekspor kita, investasi kita. Dua hal ini yang tidak bisa kita selesaikan dengan baik.

Soal investasi, perizinan yang berbelit-belit, baik di pusat maupun di daerah. Baik di Jakarta, provinsi, kabupaten, kota, belum ada penyelesaian yang, betul-betul sangat drastis.

Saya itu tiap hari, lima tahun yang lalu, datang berbondong-bondong investor. Datang berbondong-bondong, betul. Ingin investasi, tapi yang netes (jadi), dapat saya katakan sangat kecil sekali.

Orang datang, datang, datang. Ingin, ingin, ingin. Tapi tidak netas, karena kita tidak bisa mengeksekusi dan merealisasikan. Izin bulet-bulet kayak gini.

Contoh saja, pembangkit listrik, baik tenaga uap, angin, panas bumi. Semuanya ruwet, ruwet, ruwet. Lima tahun yang lalu, saya cek (butuh) 259 izin. Apa nggak terengah-enggah investornya. Mengurus izin saja nggak mungkin (baru selesai) dalam tiga tahun. Siapa yang kuat? Kalau dimasukin koper, bisa 10 koper izinnya.

Dulu cuma syarat, berubah menjadi izin, sebelumnya hanya rekomendasi berubah menjadi izin. Sudah kita potong menjadi 58 izin, 58 ini juga (masih) kebanyakan. Apa-apaan izin sampai 58. Maksimal 5, cukup. Baru tepuk tangan kalau sudah di bawah 5.

Investasi, terutama, yang berorientasi pada ekspor, investasi yang berorientasi pada substitusi barang-barang  impor. Dua ini yang penting. Kalau itu yang datang (investornya), sudah tutup mata. Besok, bangun. Kalau dua ini bisa diselesaikan, rampung kita. Jengkel saya, tidak bisa menyelesaikan yang sudah kelihatan.”

Benar-benar Ruwet

Ya Allah! Benar-benar ruwet. Mendengar keluhan Presiden Jokowi, rasanya, sesak ‘dada bangsa’ ini. Nasib kita benar-benar ruwet. Bayangkan, 20 tahun lamanya, pemerintah gagal menyelesaikan defisit transaksi berjalan, defisit neraca perdagangan. Dua periode menjadi presiden, Pak Jokowi juga belum berhasil memangkas perizinan.

Sementara, kebijakan anyar pemerintah, tak kalah ruwet.

Pertama, terbitnya Perppu (Corona) No 1 Tahun 2020. Ini juga bikin ruwet.

Ada pasal melindungi biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) itu, bagian dari biaya ekonomi penyelamatan krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Maka, anggota KSSK tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana jika melakukan tugas sesuai Perppu.

Lalu, apa gunanya DPR sebagai mitra pemerintah? Ruwet, bukan?

Kedua, RUU Omnibus Law. Draft UU Cipta Kerja yang pernah salah ketik ini, juga bikin ruwet.

RUU ini sudah ditolak kaum buruh, juga masyarakat pers. Karena ada pasal yang menggerus kebebasan pers. Melalui suratnya tertanggal 4 Maret 2020, Ketua Dewan Pers (H M Nuh) minta DPR berhenti membahasnya. Ruwet, bukan?

Ketiga, pemerintah yang katanya kerja, kerja, kerja, ternyata ruwet juga. Lambatnya perubahan iuran BPJS Kesehatan serta belum adanya koreksi harga BBM sampai hari ini, padahal harga minyak mentah dunia ‘nyungsep’ gila-gilaan, adalah bukti bahwa kerja pemerintah masih ruwet. Atau bahkan lebih ruwet, bukan?

Jadi? Tepat video pendek (5 detik) Presiden Jokowi: Ruwet, ruwet, ruwet! (*)

Mokhammad Kaiyis adalah wartawan Koran Duta Masyarakat dan portal berita duta.co.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry