Warga Pedukuhan Sepat saat melakukan aksi pengawalan sidang putusan praperadilan di PN Surabaya, Selasa (27/3/2018). (DUTA.CO/Henoch Kurniawan)

SURABAYA | duta.co – Majelis tunggal Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Dwi Winarko menolak permohonan praperadilan yang diajukan warga Pedukuhan Sepat Surabaya.

Dalam putusannya, hakim Dwi Winarko berpendapat bahwa terbitnya SP-3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) oleh Polda Jatim sudah sesuai prosedur.

“Proses penghentian penyidikan yang dilakukan Polda Jatim sudah transparan dan sesuai prosedur. Menolak pengajuan praperadilan yang diajukan pemohon,” ujar hakim membacakan putusannya, Selasa (27/3/2018).

Menurut Wachid Habibullah, dari LBH Surabaya yang ditunjuk warga sebagai kuasa hukum pemohon mengatakan bahwa pihaknya tidak akan berhenti berjuang kendati permohonan praperadilan ditolak hakim.

Wachid mengakui, langkah SP-3 itu merupakan hak dari penyidik, tapi pihaknya sudah mempersiapkan celah dari hasil persidangan tersebut.

“Yang jelas ada unsur pidana, dan harus ada proses hukum lanjutan. Hasil sidang akan dicari celah hukum, ada kejanggalan berkaitan gambar situasi waduk,” tambahnya.

Meski kalah di praperadilan pertama, lanjut Wachid, pihaknya akan melakukan praperadilan lagi terkait tindak pidana lingkungan. “Di fakta persidangan sudah jelas, yaitu menyebabkan banjir. Di mana dokumen perizinan belum dikeluarkan Pemkot,” pungkas Wachid lagi.

Perlu diketahui, para warga Pedukuhan Sepat, Surabaya mengajukan praperadilan karena merasa tidak puas atas penanganan kasus yang dilaporkannya ke Polda Jatim. Kasus itu dihentikan seiring dengan keluarnya surat SP3 (surat perintah penghentian penyidikan).

Kasus ini berawal dari laporan warga soal dugaan manipulasi data yang dilakukan pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN). Waduk yang ada di RW 03 dan RW 05 tersebut berubah status kepemilikan dan saat ini dikuasai oleh PT Ciputra Surya.

Sejak saat itu, warga sudah tidak bisa lagi melakukan akses di waduk tersebut. Sebab, sekeliling waduk sudah dipagari dengan seng. Warga mengklaim bahwa tanah tersebut merupakan tanah kas desa dan bukan milik Pemkot Surabaya, yang kemudian dilakukan tukar guling dengan tanah lalu digunakan untuk membangun Stadion Bung Tomo.

Warga merasa heran atas keluarnya sertifikat hak guna bangunan (HGB) di waduk tersebut. Sebab, lokasinya bukanlah daratan, melainkan waduk. Warga ingin agar waduk seluas 6,6 hektare lebih itu dikembalikan lagi ke warga untuk dikelola. (eno)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry