“Politisi sejati hanya berpikir bagaimana memenangkan pemilu berikutnya. Sementara negarawan berpikir apa yang akan dia wariskan untuk generasi berikutnya. Sikap kesatria, jujur, berani mengakui kesalahan, jauh lebih berharga dari hanya sekedar memenangkan  Pilpres.”

Oleh : Hersubeno Arief

ADA yang menyatakan, politisi itu adalah orang yang sering membuat kebohongan, dan dia percaya dengan kebohongannya. Presiden AS Donald Trump bahkan mengaku,  “ It’s okay to lie, since “people agree with me.

Bagi Trump berbohong tidak masalah, asal rakyat tetap memilihnya. Tak mengherankan aktor dan komedian AS Robin William menggambarkannya dengan sangat sinis. “Politik: “Poli” kata Latin yang berarti” banyak dan “tics” yang berarti “makhluk pengisap darah “.

Dengan banyaknya stempel buruk seperti itu, tidak mengherankan bila pelawak terkenal Charlie Chaplin berani menggambarkan posisinya jauh-jauh lebih tinggi dibanding para politisi manapun. “I remain just one thing, and one thing only, and that is a clown. It places me on a far higher plane than any politician.”

Bagi siapapun yang menyaksikan pidato permintaan maaf Prabowo yang disiarkan secara langsung sejumlah stasiun televisi, Rabu (3/10) malam, pasti sepakat pada satu kesimpulan: Prabowo itu bukan politisi!

Bagaimana mungkin seorang politisi bersedia menyampaikan permintaan maaf secara terbuka. Apalagi kesalahan tersebut tidak sepenuhnya bisa dinisbahkan kepadanya?

Dia menyampaikan berita yang salah, karena mendapat info yang salah. Jadi Prabowo dibohongi, bukan berbohong! Itupun Prabowo juga tetap minta maaf. “Saya mengakui kadang grasa-grusu (ceroboh), maklumlah tim saya baru, sedang belajar,” ujarnya dengan ringan.

Berbohong dan dibohongi itu dua hal yang sangat berbeda. Yang pertama pelaku, dan yang kedua adalah korban. Berbohong, membuat janji, tapi tidak ditepati, jelas sangat berbeda dengan orang yang dibohongi.

Dalam terminologi agama, janji yang tidak ditepati masuk dalam salah satu kriteria ciri-ciri orang munafik. Mumpung menjelang pileg dan pilpres, silakan buka-buka file kembali, siapa yang paling banyak mengobral janji, dan siapa yang tidak menepati.

Sama seperti halnya prinsip dalam intelijen, ketika menghadapi persoalan yang akan merugikan, politisi biasanya menerapkan tiga prinsip utama: admit nothing, deny anything, make counter accusations.

Jangan pernah buat pengakuan apapun, bantah semuanya, dan buat sebanyak mungkin tuduhan balasan. Setelah itu bersikaplah seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Mantra sakti itu juga menjadi rumus baku yang selalu digunakan oleh jagoan konsultan politik asal AS Roger J Stone Jr. Salah satu sentuhan tangan sakti Stone adalah membantu pemerintah Israel menghadapi kelompok perlawanan Palestina, Hamas.

Suatu ketika seorang kameraman televisi berhasil menangkap gambar pesawat helikopter Israel menembaki sekumpulan anak-anak. “ Lihat! Hamas memaksa kami menembaki anak-anak yang tidak bersalah. Inilah tepatnya yang diinginkan Hamas,” ujar juru bicara militer Israel.

Suatu kali di bulan Juni tahun 2010 pasukan Israel menyerbu kapal berbendera Turki Mavi Marmara. Kapal yang membawa aktivis perdamaian dari 50 negara itu mencoba menembus blokade Israel atas wilayah Gaza. Selain aktivis, ada 19 wartawan dari beberapa negara, termasuk Indonesia. 10 warga sipil tewas, kebanyakan berasal dari Turki.

Lantas apa yang disampaikan militer Israel? “Pasukan kami terpaksa menembak, untuk membela diri.” Bayangkan disaksikan puluhan wartawan, namun militer Israel bisa tanpa berkedip memutar balikkan fakta. Itulah perang informasi yang dilakukan tanpa mengenal ampun.

Tidak selamanya seorang konsultan menyarankan untuk menyatakan yang hitam itu, putih. Terkadang mereka juga menyarankan untuk mengatakan bahwa yang hitam itu kemungkinan bisa saja putih. Atau setelah dilakukan penyelidikan yang mendalam, ternyata yang hitam itu terbukti putih.

Tidak berlaku bagi Prabowo

Prinsip baku seorang politisi, maupun saran para jagoan konsultan politik itu pasti tidak laku bagi Prabowo. Dia tampaknya memilih prinsip seorang prajurit sesuai Sapta Marga : Kami Kesatria Indonesia yang Bertaqwa Kepada Tuhan yang Maha Esa Serta Membela Kejujuran Kebenaran dan Keadilan.

Prabowo tidak mencoba menutup fakta bahwa secara pribadi dia sangat dekat dengan Ratna Sarumpaet (RS). “Saya sangat menghormati, saya sayang  beliau.” ujarnya. Latar belakang RS sebagai aktivis yang membela kepentingan rakyat kecil membuatnya menaruh hormat yang tinggi.

Keputusan Prabowo untuk meminta RS mengundurkan diri, bukan memecatnya, juga menunjukkan sikapnya konsisten tetap menjaga kehormatan RS secara pribadi maupun keluarganya.

Melihat latar belakangnya sebagai seorang prajurit, tampaknya masih sulit bagi Prabowo untuk larut dan bermetamorfosa menjadi seorang politisi sungguhan. Dalam pidato permintaan maafnya,  sebagai pemimpin dia mengambil alih tanggung jawab. Dalam militer dikenal sebuah prinsip “Tidak ada anak buah yang salah. Bila terjadi kesalahan, maka yang salah adalah komandan.”

Dari sudut pandang politik, apa yang dilakukan Prabowo sungguh naif. Dia mengabaikan kemungkinan besar elektabilitasnya akan ambruk, demi sebuah prinsip yang sangat dibela: Boleh salah. Tapi tidak boleh berbohong!

Waktu yang akan menjawab, apakah prinsip-prinsip seorang kesatria seperti yang dipilih Prabowo masih laku dan dihargai pemilih Indonesia.

Yang perlu dicatat seorang penulis dan theolog terkenal dari AS James F Clarke pernah mengingatkan. “The difference between a politician and a statesman is that a politician thinks about the next election while the statesman think about the next generation.”

Politisi sejati hanya berpikir bagaimana memenangkan pemilu berikutnya. Sementara negarawan berpikir apa yang akan dia wariskan untuk generasi berikutnya. Sikap kesatria, jujur, berani mengakui kesalahan, jauh lebih berharga dari hanya sekedar memenangkan  Pilpres. (hersubenoarief.com)

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry