
SURABAYA | duta.co – Pemerintah pusat kini membuka peluang bagi pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk mengajukan pinjaman, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2025.
Namun, kebijakan ini muncul di tengah pemerintah pusat tengah melakukan pemotongan Dana Transfer ke Daerah (TKD) pada tahun 2026 mendatang. Untuk Provinsi Jawa Timur, nilai pemotongan tersebut mencapai lebih dari Rp 2,8 triliun.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi C DPRD Jawa Timur, Hartono, menilai pemotongan TKD akan berpengaruh signifikan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2026.
“Iya, sebenarnya pemotongan TKD ini otomatis akan sedikit banyak mengganggu APBD 2026, karena perencanaannya sudah mengacu pada nota keuangan gubernur yang telah tersusun sebelumnya,” ujarnya, kamis (30/10/2025).
Politisi asal Partai Gerindra menambahkan, dengan adanya pemotongan ini, sejumlah pos anggaran harus disesuaikan, terutama pada kegiatan seremonial maupun pembangunan infrastruktur.
“Akhirnya banyak hal yang harus disesuaikan. Khususnya kegiatan seremonial dan pengembangan infrastruktur, itu banyak yang dikurangi,” jelasnya.
Meski demikian, Hartono memastikan bahwa belanja pegawai, termasuk gaji dan tunjangan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) serta Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), tetap menjadi prioritas dan dijamin aman.
“Yang insyaallah aman itu belanja pegawai. Tapi untuk pengembangan infrastruktur, banyak yang berkurang atau ditunda menyesuaikan ketersediaan anggaran,” tegasnya.
Lebih lanjut, Hartono menyebut penerbitan PP Nomor 38 Tahun 2025 merupakan bentuk respons pemerintah pusat terhadap kondisi fiskal daerah yang terdampak pemotongan TKD. Aturan tersebut memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk mengajukan pinjaman ke pemerintah pusat.
“Pemerintah pusat tidak menutup mata. Banyak daerah yang kaget dengan pemotongan ini, termasuk Jawa Timur. Karena itu, diterbitkanlah PP 38 Tahun 2025 agar pemda bisa meminjam dana ke pusat,” katanya.
Meski demikian, Hartono mengingatkan agar setiap rencana pinjaman didahului dengan analisis manajemen risiko yang matang, sehingga tidak menimbulkan beban fiskal baru di kemudian hari.
“Kalau mau memanfaatkan pinjaman ini harus didahului dengan analisis manajemen risiko yang tepat. Jangan sampai justru menjadi beban fiskal berikutnya,” ujarnya.
Ia menegaskan, pinjaman daerah sebaiknya difokuskan pada kegiatan yang berdampak langsung terhadap pengembangan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat, bukan untuk kegiatan seremonial atau proyek yang manfaatnya tidak langsung dirasakan publik.
Hartono juga mengungkapkan bahwa hingga saat ini, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Jawa Timur belum berencana mengajukan pinjaman tersebut.
“Sejauh ini dari pihak Jawa Timur, terutama BPKAD, belum ada upaya untuk mengajukan pinjaman ke pemerintah pusat. Mudah-mudahan tidak sampai berdampak besar pada pembangunan yang sudah direncanakan,” pungkasnya. (rud)
 
		































 
             
             
             
             
             
            




