“Dengan potret dan postur NU seperti di KMP sekarang, tugas NU adalah memacu warganya agar sesuai dengan kepentingan nasional. Dengan begitu, perspektif Prabowo juga untuk mendorong NU berperan aktif sekaligus bermain di level internasioanl.”
Oleh M Sholeh Basyari*
MERUJUK struktur dan person kekuatan Islam Indonesia dalam Kabinet Merah Putih (KMP),
mengisyaratakan bahwa Prabowo ingin memanfaatkan ‘kekuatan hijau’ ini untuk kepentingan nasional kita sendiri.
Kepentingan nasional dalam negeri, yang fokus pada pemberdayaan masyarakat (empowering society), secara koordinatif dimandatkan kepada Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, politisi berlatar belakang NU. Sementara terkait pembinaan dan Pendidikan sumberdaya manusia (human recourses capital), menjadi tanggung jawab tokoh Muhammadiyah, Abdul Mukti.
Dengan penguatan pemberdayaan masyarakat dan sumberdaya manusia (SDM), Prabowo tampaknya ingin membingkai Islam Indonesia agar terlibat dalam percaturan geopolitik Islam internasional, yang mandatnya diserahkan kepada Anis Matta, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang pro Ikhwanul Muslimin serta dekat dengan aktivis Salafi-Wahabi.
Ini berbeda secara diametral dengan policy yang diambil dalam satu dekade rezim Jokowi. Islam Indonesia pada masa Jokowi, lebih banyak berperan sebagai ‘pelayan’ atau bahkan ‘agen’ Barat dan kepentingan Amerika.
Untuk kepentingan ini, Jokowi memberikan ”penugasan” kepada NU. Selama sepuluh tahun Jokowi, penugasan ini tampak nyata dari serangkaian program, agenda maupun isu-isu yang diusung NU terutama periode kedua rezim Jokowi. Setidaknya ada dua kampanye utama yang menjadi icon NU di era itu, yakni: Moderasi Beragama dan Religion Dua Puluh (R20).
Potret dan Postur NU
Setidaknya ada enam Menteri berlatarbelakang NU dalam KMP. Kecuali Nusron Wahid (Menteri ATR-BPN), lima Menteri lainnya fokus kerjanya bersentuhan langsung dengan pemberdayaan, perlindungan dan pembinaan sosial ekonomi warga NU. Mereka adalah: Muhaimin Iskandar, Menko Pemberdayaan Masyarakat, Syaifullah Yusuf Menteri Sosial, Abdul Kadir Karding, Menteri BP2MI, Arifatul Choiri, Menteri PPPA, serta Nasarudin Umar, Menteri Agama.
Pembidangan dan penugasan lima menteri berlatar NU tersebut, sangat tepat menyasar kondisi riil warga nahdliyin. Catatan BNP2TKi yang kemudian berubah menjadi BP2MI menyebut bahwa mayoritas pekerja migran berasal secara berutuan dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung dan Jawa Barat. Provinsi-provinsi tersebut, selain sebagai kantong-kantong pekerja migran, juga basis NU.
Sementara publik juga mudah mendapatkan data, siapa dan segmen masyarakat yang mana, penerima aneka bantuan sosail pemerintah dengan Kementerian Sosial sebagai leading sector. Program-progran bantuan sosial itu antara lain; Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai, Bantuan Pangan Beras maupun BLT Mitigasi Resiko Pangan. Tidak berbeda jauh dengan catatan BP2MI, mayoritas penerima sejumlah program bantuan itu adalah tiga provinsi terbesar di Jawa, plus satu Provinsi di Sumatera, yang mayoritas warganya adalah kaum nahdliyin.
Data ini makin sempurna dengan temuan salah satu Lembaga survei (Lingkaran Survei Indonesia) yang menyebut bahwa, secara kuantitaf jumlah warga NU adalah 56,9% dari populasi masyarakat Indonesia.
Data dan fakta, bahwa, secara ekonomi, kesempatan kerja dan secara sumberdaya manusia, warga nahdliyin kurang accessible, acceptable, adaptable serta available, dengan sumber-sumber ekonomi, adalah tantangan dan tugas pokok menteri-menteri dari NU.
Dengan potret dan postur seperti ini, Prabowo tampaknya ingin mendorong menteri-menteri dari kaum nahdliyin fokus pada pemberdayaan, perlindungan dan peningkatan sosial ekonomi warga NU. Lagi-lagi fokus ini dihajatkan untuk kepentingan nasional kita.
Berbeda dengan rezim sebelumnya, bahwa agenda, program dan isu yang dikelola NU ‘sebatas’ sebagai pelayan kepentingan orang lain atau bahkan kepentingan asing. Dengan potret dan postur NU seperti itu, tugas NU adalah memacu warganya agar sesuai dengan kepentingan nasional kita dan tidak terus menjadi beban negara. Dengan begitu, perspektif Prabowo: mendorong NU berperan dan bermain di level internasioanl, bisa diwujudkan.
Potret Muhammadiyah
Dari sekian Menteri Muhammadiyah yang ditunjuk Prabowo, setidaknya ada tiga Menteri yang fokus utamanya adalah, peningkatan sumberdaya manusia dan penguatan karakter (nation and character building). Tiga Menteri tersebut adalah Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen), Fauzan, mantan Rektor Univ Muhammadiyah Malang, (Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, serta, anak muda mantan Direktur Ekskutif Ma’arif Institute, Fajar Riza ul Haq, Wakil Menteri Dikdasmen.
Penunjukkan Menteri berlatar Muhammadiyah untuk menggawangi pendidikan dan riset, secara tidak langsung adalah bentuk pengakuan negara atas kiprah kependidikan ormas bentukan Kiai Ahmad Dahlan ini. Secara visual tugas utama menteri-menteri tersebut adalah melakukan penguatan, pengembangan, pendampingan serta pembinanaan sumberdaya manusia Indonesia secara umum.
Termasuk tugas penting jajaran Menteri kependidikan adalah ‘meluruskan’ kebijakan ‘Merdeka Belajar’ oleh menteri sebelumnya, menekankan kembali perlu dan pentingnya pendidikan akademik di samping pendidikan vokatif. Meski sejatinya pelurusan ini sedikit menyindar Muhammadiyah yang gemar dan hobby memajang gelar kademik yang panjang di sela-sela nama asli seseorang.
Anis Prototype Islam Internasional
Anis bisa disebut multi face. Setidaknya ada tiga wajah yang melekat pada mantan presiden PKS yang sekarang adalah Ketua Umum Partai Gelora ini. Wajah pertama Anis adalah sebagai pentolan utama Ikhwanul Muslimin (IM) Indonesia. Termasuk ketika masih di PKS, alumnus Universitas Saudi Arabia cabang Jakarta ini, seperti umumnya aktivis IM, dalam dirinya menyala “pan-Islamisme” khas Hassan Albanna, pendiri sekaligus ideolog IM Mesir.
Wajah kedua Anis adalah wajah Salafi-wahabi. Sebagai alumnus perguruan tinggi Saudi yang mengusung ekspansi paham wahabi-salafi, tokoh kelahiran Sulawesi Selatan ini, sangat menekankan puritanisme dalam berislam. Wahabi yang galak dengan praktek keislaman sufisme, acapkali berbenturan dengan penganut Islam mayoritas di nusantara: Islam NU.
Terakhir, wajah Anis sebagai global player Islam dari Indoensia. Sebagai pemain global, Anis sangat menguasai geopolotik, geostrategi dan jaringan Islam internasional. Penguasaannya atas peta Islam kawasan sangat memukau. Dia fasih bicara tentang Islam di Balkan (bekas pecahan Yugoslavia), Transaxonia (Islam di Kawasan bekas Uni Soviet) dan lebih-lebih Timur Tengah. Penunjukkan Anis sebagai Wamenlu, sangat tepat.
Penutup
Sebagai catatan penutup, menjadi consent kita semua, terutama kementerian pemberdayaan masyarakat dan kependidikan, untuk menyiapkan sumberdaya manusia Indonesia agar mampu bersaing dan bermain di kancah geopolitik global. Penguatan sosial ekonomi parallel dan in line dengan keberhasilan memacu SDM. Ekonomi yang kuat dan SDM yang tangguh adalah raw material utama sebagai global player.
Nah, dari catatan di atas, maka, Muhaimin, Mu’ti dan Anis Matta ini diharapkan mampu menjadi garansi dan garda depan dalam mewujufkan kepentingan nasional ini. Selamat bertugas! Semoga sukses, amien. (*)
*M SHOLEH BASYARI adalah Direktur Eksekutif Center Strategy on Islamic and International Studies (CSIIS)) dan Aktivis NU.