KH Iffatul Lathoif, Pengasuh Pondok Pesantren Al Falah Ploso, Mojo, Kediri.(DUTA.CO/Budi Arya)

Madrasah Abang Jadi Cikal Bakal Perjuangan

KEDIRI | duta.co – Mendengar nama Pondok Pesantren atau Ponpes Al Falah, Desa Ploso, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, memang masyur di khalayak. Utamanya, dalam menelurkan para santri dan santriwati yang mumpuni sampai saat sekarang. Kali ini, kita akan membahas bagaimana Ponpes yang lokasinya di selatan Kota Kediri tersebut dari masa ke masa dan digali langsung dari sumber Keluarga Ponpes Al Falah dan rujukan dari berbagai sumber. Simak ulasannya.

Berbicara akan sejarah berdiri dan perkembangan Pesantren, pada pertengahan tahun 1924, dengan satu masjid dan seorang santri bernama Muhammad Qomar, yang tidak lain adalah kakak iparnya sendiri, Haji Djazuli mulai merintis pesantren. Beliau meneruskan pengajian untuk anak-anak desa sekitar Ploso yang sudah dimulainya dengan pulang pergi sejak masih berada di Karangkates.

Kala itu, jumlah murid pertama yang ikut mengaji hanya berkisar 12 orang. Di penghujung tahun 1924 itu seorang santri Tremas bernama Abdullah Hisyam asal Kemayan atau sekitar 3 kilometer selatan Ploso, datang bertamu kepada Haji Djazuli sambil membawa salam dan surat-surat dari sahabat lamanya. Pada akhirnya, Hisyam melanjutkan belajarnya kepada kyai Djazuli yang memang sudah dikaguminya semenjak di Tremas.

Berbekal tekad yang kuat, pada tanggal 1 Januari 1925 kyai Djazuli mengajukan surat permohonan pemantauan kepada pemerintah Belanda untuk lembaga baru yang kemudian dikenal dengan nama Al Falah. Karena Madrasah tersebut belum punya Gedung, maka tempat belajarnya menggunakan serambi masjid.

Inilah awal keberangkatan Haji Djazuli menjadi seorang Kyai di usia yang masih muda 25 tahun. Diantara santri-santri pertama yang menetap adalah H. Ridwan Syakur, Baedlowi dan Khurmen, ketiganya dari Sendang Gringging ditambah H. Asy’ari dan Berkah dari Ngadiluwih. Saat suasana sudah terasa ramai dan masjid pun terasa sesak, kyai Djazuli merencanakan pembangunan sebuah gedung Madrasah. Beliau mengayuh sepeda berpuluh-puluh kilometer sampai Kediri, Tulungagung, Trenggalek dan terkadang ke Blitar, guna mencari donator pembangunan. Dipimpin oleh seorang tukang bangunan bernama Hasan Hadi. Seluruh santri bahu membahu bergotong royong, begitu juga kyai dan ibu nyai. Sampai pembangunan sudah layak untuk ditempati, tinggallah semen untuk lantai yang tak terjangkau oleh dana.

Tak ada rotan akarpun jadi, maka dipakailah batu bata merah untuk lantainya, sehingga Madrasah yang berlokasi di depan Masjid dan terdiri dari 2 lokal itu terkenal dengan sebutan Madrasah Abang (Madrasah Merah). Peristiwa ini terjadi pada tahun 1927. Konon, KH. Hasyim Asy’ari berkenan hadir pada acara selametan (syukuran) pembangunan madrasah tersebut, suatu peresmian yang sangat sederhana.

Selanjutnya, pada tahun berikutnya (1928) dibangunlah asrama pertama yang diberi nama pondok D (Darussalam) yang disusul pada tahun berikutnya dengan pembangunan Pondok C (Cahaya) yang semula diperuntukkan sebagai tempat mujahadah bagi para santri.Pada tahun 1939 dibangunlah komplek A (Andayani), sebuah asrama berlantai dua dilengkapi sebuah musholla di depannya. Pada akhir masa penjajahan Belanda sekitar tahun 1941, kantor kenaiban diputuskan untuk pindah ke Mojo atau berjarak sekitar 6 kilometer utara Ploso. Tentu Saja, perpindahan tersebut meninggalkan kekayaan yang berharga, di antaranya sebuah masjid, pendopo kenaiban, rumah-rumah dan tanah pekarangan yang cukup luas.

Untuk dapat memiliki kekayaan tersebut pihak pondok diminta untuk menyediakan tanah pengganti di Mojo. Untuk itulah, pondok mengeluarkan biaya 71 gulden Belanda.Pada masa penjajahan Jepang, Kyai Djazuli diangkat sebagai Sancok (Camat), kemudian dipindah tugaskan ke Pare sebagai ketua parlemen (Ketua DPRD Tk. II). Bagian, nama beliau sempat dimasukkan dalam daftar KAMIKAZE (Pasukan berani mati). Sa’idu Siroj, seorang santri sekaligus lurah pondok pertama merasa tak tega melihat perlakuan Jepang yang biadab ini. Pemuda Tulungagung ini tampil dengan berani untuk mewakili kyai, gurunya yang diagungkan. Hingga pada akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat dan angkat kaki dari Indonesia. Alhamdulillah, selamatlah Kyai Djazuli dari KAMIKAZE.

Kegiatan pondok yang sempat terganggu di zaman Jepang kini telah berakhir, penyempurnaan-penyempurnaan di bidang kurikulum dapat terus dilakukan. Gaung kemajuan Al Falah semakin menyebar ke kalangan yang lebih luas sehingga jumlah santri melonjak menjadi sekitar 400 orang dalam waktu bwrkisar dua tahun. Tahun 1948, belanda melancarkan agresi militer. Para santripun akhirnya ikut berjuang mempertahankan agama dan negara. Bahkan, dua orang dari santri Ploso gugur di medan juang, sebagai syuhada bunga bangsa. Selama dua tahun pula, pondok Ploso sepi tanpa santri dan kosong dari pengajian. Yang tersiksa, hanya 5 orang santri yang sudah bertekad hidup dan mati di pondok. Mereka adalah, Zainuddin dari Kebumen, Mas’uddin dari Yogyakarta, Kholil dari Solo, Abd. Kholiq Dhofir dari Kediri serta Romli dari Trenggalek.

Tahun 1950 situasi kembali aman, dan kegiatan pondok diaktifkan kembali. Zainuddin Kebumen diangkat sebagai lurah pondok yang bertugas mengelola jalannya roda pendidikan setelah masa-masa agresi. Sedangkan, 5 orang temannya yang di masa agresi tetap tinggal di pondok diangkat sebagai pengurus-pengurus lain. Berangsur-angsur para santri kembali ke pondok setelah mengalami libur panjang selama 2 tahun. Jumlah santri 400 orang sebelum agresi sudah datang, bahkan terus bertambah dengan datangnya santri-santri baru secara berangsur-angsur. Kepadatan warga mulai terasa lagi di pondok Al Falah sehingga perluasan harus segera diwujudkan. Maka, pada tahun 1952 Kyai Djazuli beserta segenap para santrinya membangun sebuah asrama yang diberi nama komplek B (Al Badar).

Sistem Kurikulum Ponpes Berkiblat Ke Tebuireng

Memasuki usianya yang ke-25 di tahun 1950, sejalan dengan berkembangnya fasilitas-fasilitas gedung, peralatan dan sebagainya, maka perbaikan dan penyempurnaan juga ditingkatkan di bidang sistem pendidikan seperti kurikulum, metode interaksi dan lain-lain. Penyempurnaan tersebut diarahkan (berkiblat) kepada sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba oleh Kyai DjazuIi selama mondok di sana pada tahun 1923. Maka, sistem belajar mengajar di Al Falah ini terus berlangsung dengan berpedoman kepada sistem Tebuireng hingga sekarang. Tak berlebihan bila dikatakan bahwa, Pondok Al Falah adalah duplikat monumental dari Pondok Tebuireng di masa KH. Hasyim Asy’ari tahun 1923. Kyai Djazuli, rupanya mempunyai prinsip yang kokoh dan sangat yakin kepada sistem salafiyah yang dipilihnya, sehingga beliau tetap konsisten untuk melestarikannya. Dan ternyata Kyai Djazuli tidak salah pilih. Sebab,sistem salafiyah tetap punya pendukung dan penggemar di kalangan ummat Islam. Begitulah kenyataannya sekitar tahun 1960-an santri terus meningkat sehingga fasilitas gedung yang ada sudah tak menampung lagi.

Untuk mengatasi masalah tersebut, pada tahun 1957 dibangun dua unit bangunan asrama yang diberi nama Komplek G (Al Ghozali) dan Komplek H (Hasanuddin). Begitu seterusnya, lima tahun berikutnya pondok terasa sesak lagi dan dibangunlah Komplek AA (Al Asyhar) pada tahun 1962. Pondok Al Falah semakin anggun dengan bangunan-bangunan yang sudah berderet seiring dengan wibawanya yang makin dirasakan oleh masyarakat luas. Pengaruh pondok yang dihuni sekitar 600 orang santri ini semakin kuat di tengah-tengah masyarakat abangan Ploso. Gangguan-gangguan pihak luar yang ditujukan kepada pondok pun berangsur-angsur berkurang dan akhirnya hilang sama sekali. Masyarakat, rata-rata menunjukkan sikap simpati dan berduyun-duyun menyekolahkan anaknya ke pondok, hingga mendorong dibukanya Madrasah Lailiyah (malam) khusus untuk anak-anak kampung sekitar, yang didirikan pada tahun 1957/1958.

Hadratus Syaikh KH. A. Djazuli Utsman menghadap kepada yang kuasa pada jam 15.30 wib Hari Sabtu wage 10 januari 1976 bertepatan dengan 10 Muharam 1396 H.

Beliau wafat tanpa meninggalkan harta benda, sawah, ladang ataupun emas permata. Tetapi, sebuah pondok pesantren Al Falah telah melebihi segalanya. Kyai Djazuli telah sukses besar dalam menyebar luaskan ilmunya, mencetak putra-putrinya menjadi manusia-manusia sholeh, ditambah lagi Al Falah yang akan mengalirkan pahala terus menerus sepanjang masa, jauh lebih deras dari aliran sungai Brantas.

Mengedepankan Rujukan Masyayikh

KH Iffatul Lathoif, Pengasuh Pondok Pesantren Al Falah Ploso, Mojo, Kediri, mengutarakan, dari masa ke masa, visi dan misi Pesantren tetap mengedepankan rujukan dari para Masyayikh. Visinya yakni, mencetak para santri sebagai kader ahlus sunnah wal jama’ah yang teguh dalam pinsip ilmiyahamaliyah dan amaliyah-ilmiyah serta menjadikan Al Falah sebagai rujukan pengembangan keilmuan keislaman dan da’wah multi kultural.

Adapun misinya, mengembangkan pesantren secara keilmuan dan kelembagaan serta melakukan pencerahan kepada masyarakat melalui kegiatan ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Lalu, meningkatkan kompetensi lulusan pondok pesantren melalui pembekalan moral, skill dan penguatan di bidang ilmiyah-amaliyah dan amaliyah-ilmiyah

Dalam perjalananya, Ponpes Al Falah terus berkembang, hingga terus merangsak ke Pendidikan Formal melalui Madrasah Islamiyah Salafiyah Riyadlotul ‘Uqul (MISRIU) Dengan sistem klasikal yang terbagi dalam 3 (tiga) jenjang pendidikan yang dikelola melalui:
– Madrasah Ibtidaiyah
– Madrasah Tsanawiyah
– Madrasah Aliyah
– Ma’had Aly

Untuk jenjang Aliyah MISRIU sudah mendapatkan izin operasional sebagai Satuan Pendidikan Muadalah melalui SK Dirjen Pendis Nomor : Dj.I/457/2008 tahun 2008 pada tanggal 23 Desember 2008. SK tersebut, senantiasa diperbarui sesuai peraturan Kementerian Agama, dan terakhir diperbarui melalui SK dirjen Pendis Nomor : 2791 Tahun 2017.Jenjang Tsanawiyah MISRIU sudah mendapatkan izin operasional sebagai Satuan Pendidikan Muadalah melalui SK Dirjen Pendis Nomor : 4210 tahun 2009 pada tanggal 22 November 2019.

“Kalau Ma’had Aly Al Falah sebagai jenjang pendidikan tinggi yang berada di bawah naungan pondok pesantren Al Falah telah mendapatkan izin operasional melalui SK Dirjen Pendis Nomor : 2888 tahun 2019 pada tanggal 23 Mei 2019,” kata Gus Thoif, sapaan akrab Pengasuh Ponpes Al Falah, kepada Wartawan Harian Duta Masyarakat dan duta.co, perwakillan Kediri Raya, baru-baru ini.

Gus Thoif juga mengungkapkan, selama kurun 3 tahun terakhir ini, jumlah Santri maupun Santriwati terus mengalami lonjakan yang signifikan. Sebelumnya, mencapai 7 ribu an Santri dan kiini sudah mencapai 13 ribu Santri.

“Alhamdulillah, jumlah Santri yang mengenyam pendidikan di Ponpes Al Falah terus bertambah. Mereka, berasal dari seluruh Indonesia, di antaranya, Papua, Lampung, Sumatera, Kalimantan dan daerah lainya,” urainya.

Ketika ditanya perihal Penganugerahan dari PBNU di TMMI yang dijadwalkan 31 Januari 2023, perihal Ponpes yang sudah berdiri di atas 1 Abad, Gus Thoif, mengaku, cukup bangga. Menurutnya, anugerah ini akan menjadi beban moral bagi Ponpes Al Falah untuk terus berkembang maju.

“Pastinya harus menjadi lebih baik dalam kualitas, utamanya mendidik Santri.Tugas yang cukup berat. Terlebih lagi, di era modern nisasi yang terus berkembang saat Ini. Semoga Ponpes Al Falah tetap Lestari,” ucapnya.

Gus Thoif yang juga Ketua Pengurus Wilayah (PW) Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU) Jawa Timur, juga menuturkan, harapan terbesar ke depannya, Ponpes Al Falah bisa mewarnai dan terus bisa bermanfaat dalam penyebaran agama, serta berguna bagi nusa dan bangsa.

Ketika disinggung perihal pesta demokrasi yang akan bergulir di tahun 2024, Gus Thoif, mengatakan, dalam menghadapi pesta demokrasi, pihaknya selalu mengedepankan musyawarah dengan arahan para Masyayikh.

“Hak politik tetap harus digunakkan, dengan tidak berpihak ke manapun. Karena, kita juga menjadi bagian dari penentu Pemimpin bangsa ini dengan mewujudkan hak suara sebagai warga negara,” tutupnya.

Penulis : Budi Arya

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry