Yudi Widiana Adia (PAN)|IST

Yudi Widiana Adia (PAN)|IST

JAKARTA – Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Musa Zainuddin dan politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Yudi Widiana Adia ditetapkan sebagai tersangka korupsi proyek jalan Kementeriaan Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) di Maluku dan Maluku Utara. Namanya dicokot oleh Damayanti, politis PDIP yang kali pertama jadi tersangka kasus ini.

Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah tak membantah penetapan tersangka keduanya. Dalam waktu dekat, KPK akan mengumumkan pengembangan kenaikan status dua anggota Dewan itu.

“Pengumuman akan dilakukan segera, baik nama atau pun sangkaan terhadap tersangka. Saat ini kita belum dapat mengonfirmasi,” kata Febri saat dikonfirmasi, Jumat (3/2).

Febri mengakui telah ada perkembangan dalam kasus dugaan korupsi proyek jalan di Maluku. Penyidik perlu mengumpulkan bukti permulaan yang cukup buat meningkatkan status seseorang menjadi tersangka. “Penetapan tersangka dalam proses penyidikan dilakukan jika terdapat bukti permulaan yang cukup,” ujar dia.

Musa dan Yudi diduga menerima uang pelicin atas proyek tersebut dari pengusaha bernama Abdul Khoir dan Sok Kok Seng alias Aseng. Musa disebut menerima Rp 8,4 miliar dari Abdul Khoir guna memuluskan proyek jalan Pulau Seram dari total proyek sekitar Rp 104 miliar.

Musa Zainuddin (PKB)

Sedangkan sumber KPK menyebut telah menyita uang Rp 100 juta dari hasil penggeledahan di rumah Yudi kawasan Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Bahkan, KPK juga disebut menyita uang pecahan Rp 20 ribu milik Yudi usai penggeledahan. Sumber itu mengatakan, uang pecahan itu sisa THR milik Yudi yang dibagikan ke kerabat.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif membenarkan KPK telah melakukan ekspose kasus dugaan korupsi proyek jalan KemenPUPR di Maluku dan Maluku Utara. Ekspose dilakukan buat mendapatkan tersangka baru.

Laode tak ingat apakah surat perintah penyidikan (Sprindik) buat Yudi Widiana dan Musa Zainudin telah ditandatangani atau belum. “Saya masih ingat pernah ada ekspose, tapi saya lupa dia sudah ditandatangani, dinaikan (ke penyidikan apa belum),” kata Laode di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (31/1) lalu.

KPK menetapkan delapan orang tersangka dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan jalan pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ini. Tiga di antaranya anggota Komisi V DPR. Mereka Damayanti Wisnu Putranti dari PDI Perjuangan, Budi Supriyanto dari Golkar dan Andi Taufan Tiro dari PAN. Ketiganya diduga menerima fee hingga miliaran rupiah dari Direktur PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir.

Sementara itu, tersangka lainnya adalah Komisaris PT Cahaya Mas, Sok Kok Seng alias Aseng, Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara, Amran HI Mustary, Abdul Khoir serta dua rekan Damayanti, Dessy A. Edwin dan Julia Prasetyarini.

Andi Taufan Tiro belum lama menjalani sidang dakwaan. Dia didakwa menerima suap Rp 7,4 miliar. Suap tersebut terkait program aspirasi anggota Komisi V DPR untuk proyek di bawah KemenPUPR. Surat dakwaan dibacakan jaksa penuntut pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (25/1/2017).

Menurut Jaksa Mochamad Wiraksajaya, uang Rp 7,4 miliar tersebut diberikan agar Andi menyalurkan program aspirasinya dalam bentuk proyek pembangunan infrastruktur jalan di wilayah Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara.

Dalam surat dakwaan, Andi disebut menerima suap secara bertahap dari dua pengusaha di Maluku dan Maluku Utara. Pertama, Andi menerima Rp 3,9 miliar dan 257.661 dollar Singapura, atau Rp 2,5 miliar dari Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir.

Kemudian, Andi menerima 101.807 dollar Singapura, atau senilai Rp 1 miliar dari Direktur Utama PT Martha Teknik Tunggal, Hengky Poliesar. “Uang juga diberikan untuk mengarahkan agar Abdul Khoir dan Hengky menjadi pelaksana proyek tersebut,” ujar JPUP.

Kasus ini bermula pada 14 September 2015. Sebelum dilakukan rapat kerja antara Komisi V DPR dan Kementerian PUPR, Andi mengikuti rapat informal yang dihadiri pimpinan Komisi V DPR, beberapa ketua kelompok fraksi, dan Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR Taufik Widjoyono.

Rapat tersebut membahas permintaan Komisi V agar usulan program aspirasi yang sebagian sudah diakomodir Kementerian PUPR. Kemudian disepakati bahwa setiap anggota Komisi V akan mendapat jatah proyek program aspirasi.

Kemudian,  pada Oktober 2015, Andi memanggil Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara Amran HI Mustary dan tangan kanan Amran, Imran S Djumadil ke ruang kerjanya di Gedung DPR RI. Dalam pertemuan tersebut, Andi menjelaskan bahwa ia memiliki jatah proyek senilai Rp 170 miliar, dan bersedia menempatkan jatah aspirasinya di Maluku dan Maluku Utara.

Andi meminta agar Amran mencari calon kontraktor yang dapat mengerjakan proyek yang ia usulkan. Tetapi, ia meminta agar para kontraktor tersebut bersedia memberikan fee kepadanya.

Atas perbuatannya, Andi didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. ful, mer, meo

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry