
Dari berbagai problem dan kerumitan yang menyertainya tersebut, bisa dibuat sederhana solusinya. Yaitu: “Yang paling penting adalah Muktamar NU terselenggara dengan secepatnya.”

Oleh Purwanto M Ali*
HARI Minggu kemarin, bertempat di Ponpes Miftachussunnah, Kedung Tarukan, Surabaya milik KH Miftachul Akhyar, Rais Aam PBNU, para petinggi PBNU yang selama ini dinilai sedang berkonflik panjang, bertemu dan berkumpul dalam suasana guyup dan rukun kembali. Mereka seolah sedang mengakhiri perseteruan yang terjadi.
KH Yahya Cholil Staquf yang telah dipecat dari jabatannya sebagai Ketua Umum PBNU oleh Syuriyah PBNU pada 20 November yang lalu, juga turut menghadiri acara silaturahmi di kediaman Rais Aam tersebut.
Suasana guyup dan rukun setelah sekian lama bersitegang karena berseberangan, sudah cukup menjadi penyejuk suasana yang selama ini gerah dan panas. Suasana akrab antarpengurus PBNU tersebut telah melupakan sejenak perbedaan dan silang pendapat yang selama ini terjadi.
Sebenarnya acara yang dihadiri puluhan fungsionaris PBNU itu, tidak ada pembicaraan tentang organisasi NU, tidak ada pembahasan tentang penyelesaian konflik di antara petinggi PBNU. Acara pertemuan tersebut hanyalah pengajian dan sholawatan saja, kemudian dilanjutkan makan siang, ramah tamah dan foto bersama.
Di sinilah peran sentral Rais Aam PBNU KH. Miftachul Akhar dalam upaya penyelesaian dinamika keributan dan konflik internal PBNU. Hiruk pikuk pertikaian antardua kubu yang selama inl terjadi, di akhiri di dalam kediaman beliau.
Bila diibaratkan perseteruan dua kubu tersebut adalah permainan catur, maka papan catur dipindahkan ke rumah Rais Aam dan papan catur tersebut disimpannya, sehingga bidak-bidak catur sudah tak bisa lagi dimainkan lagi. Permainan catur bubar dan selesai.
Manuver politiik Rais Aam PBNU dalam menyelesaikan konflik ini sudah tergolong siasat politik kelas dewa. Bukan lagi siasat kelas politik praktis atau pun politik syariat, namun sudah menunjukkan siasat kelas “politik makrifat”.
“Politik makrifat” Rais Aam bisa diartikan sebagai praktek atau pemikiran politik yang didasarkan pada pemahaman spiritual yang mendalam—yaitu kebijakan, kebijaksanaan, kearifan, ketulusan, kelapangan hati dan tindakan politik yang dianggap sesuai dengan kebenaran Ilahi atau hakikat kehidupan yang sebenarnya untuk tujuan yang sangat besar yang menjadi harapan sebagian besar jamaah yang dipimpinnya. Demi kemaslahatan jam’iyah dan jama’ah NU.
“Politik Makrifat” ala Rais Aam sudah melampaui “Politik Syariat” yang terikat oleh berbagai aturan, prosedur dan mekanisme struktural organisasi NU. Manuver politik Rais Aam dengan tujuan mulianya terebut telah berhasil mengenyampingkan problem struktural PBNU. Dan Rais Aam seolah memberlakukan “seponering” untuk perkara pelanggaran berat yang telah membelit Gus Yahya Staquf yang telah dipecatnya.
Seponering dalam arti umum adalah mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, meskipun ada bukti yang cukup kuat untuk menuntut tersangka atau terdakwa.
Dan dalam konteks perkara Gus Yahya, segala tuduhan pelanggaran berat organisasi NU sebagai alasan pemberhentiannya sebagai Ketua Umum PBNU telah dikesampingkan demi kepentingan yang lebih besar, yaitu kemaslahatan jam’iyah dan jamaah NU. Bahkan soal status Gus Yahya yang sudah bukan ketua umum PBNU juga dikesampingkan, kini Gus Yahya dianggap Ketua Umum PBNU kembali.
Kebijaksanaan, kearifan dan kelapangan hati Rais Aam tersebut juga telah mengabaikan marwahnya sendiri sebagai Rais Aam di mata publik dan jama’ah NU. Rais Aam pun rela dianggap seolah-olah tunduk pada tekanan.
Namun apabila dicermati lebih jeli dan jernih, sesungguhnya Rais Aam sedang menunjukkan begitu kuatnya marwahnya sebagai Rais Aam. Faktanya, semua pihak di internal PBNU yang berseteru sekarang tunduk dan tergantung pada kebijakan Rais Aam.
Dahulu Gus Yahya Staquf yang berani melawan dan membangkang terhadap Rais Aam dan keputusannya, kini telah berada dalam rangkulannya. Tampak dalam beberapa hari terakhir ini Gus Yahya berusaha keras untuk dapat mendekatkan diri kembali kepada Rais Aam.
Lantas bagaimana nasib jabatan Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU?
Pertanyaan ini sesungguhnya problematik. Apabila dijawab dengan jujur sesuai aturan organisasi NU, tetap akan menjadikan masalah dan konflik internal PBNU akan terus berlanjut. Apabila dijawab dengan tidak jujur demi kepentingan yang lebih besar, juga akan meninggalkan masalah organisasi di kemudian hari.
Di sinilah letak keberanian sekaligus kebijaksanaan Rais Aam dengan “politik makrifatnya” harus menentukan kebijakan. Dengan tetap terus mendengarkan aspirasi, rekomendasi dan nasihat para kyai, mustasyar dan ummat NU dan juga tetap mempertimbangkan aturan main dan keputusan organisasi yang telah diambil oleh PBNU.
Sebagaimana diketahui, hasil Rapat Konsultasi Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan Mustasyar PBNU memutuskan bahwa Muktamar ke-35 harus dilaksanakan secepatnya oleh Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar dan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya. Rapat tersebut berlangsung di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, pada Kamis, (25/12/2025).
Keputusan rapat konsultasi tersebut tanpa ada keputusan untuk menganulir keputusan Rapat Pleno PBNU yang telah memecat Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU. Tentu, keputusan Rapat Konsultasi tersebut bukan hanya memberikan solusi, tetapi juga meninggalkan problem.
Pertanyaan simpel, bagaimana mungkin seorang ketua umum PBNU yang sudah dipecat tetapi diputuskan sebagai penyelenggara Muktamar NU? Itulah problem yang ditinggalkan oleh Rapat Konsultasi Syuriyah dengan Mustasyar. Dan kini problem itu pun harus diselesaikan oleh Rais Aam.
Dan pada kesempatan berbeda, Rais Aam dalam pernyataannya mengatakan bahwa keputusan Rapat Pleno yang mengesahkan pemberhentikan Gus Yahya haruslah diralat atau dianulir oleh Rapat Pleno pula. Sedangkan rapat pleno pembatalan keputusan rapat pleno terdahulu belum terselenggara. Maka status Gus Yahya saat ini sebenarnya sudah bukan ketua umum PBNU lagi sebelum ada Rapat Pleno yang mengembalikan kedudukannya.
Apabila dilaksanakan rapat pleno untuk menganulir keputusan rapat pleno terdahulu, juga akan menimbulkan problem pula. Problemnya akan lebih serius, yaitu keputusan Rais Aam dan Syuriyah memecat dan berbagai alasannya, baik dalam tinjauan yuridis maupun fikih, adalah keputusan yang salah. Keputusan yang berdasar dalil fikih pun bisa dianggap salah. Gawat !!
Disinilah “politik makrifat” Rais Aam KH Miftachul Akhyar akan diuji kehebatannya dengan menemukan alasan dan dalil pembenarannya.
“Seponering” perkara pemecatan Gus Yahya, akibat pelanggaran berat, mesti dilakukan karena Muktamar NU harus segera dilaksanakan. Untuk melaksanakan Muktamar membutuhka legalitas formal penanggung jawab Muktamar, terutama yang terkait perijinan kegiatan dan birokrasi pemerintahan.
Keberadaan Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU yang tercatat dalam SK Kemenkum/Dirhen AHU, tetap dibutuhkan. Karena tidak ada waktu lagi untuk bersengketa tentang status kepengurusan PBNU melalui jalur hukum.
Alasan status Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU yang tercatat dalam SK Kemenkum/Dirjen AHU ini dapat dijadikan alasan pembenar bagi pemberlakuqn “seponering” perkara pelanggaran berat Gus Yahya.
Nasihat dan rekomendasi dari para mustasyar PBNU dan kiai sepuh yang meminta Muktamar NU disegerakan juga bisa dijadikan alasan etik, moral dan kultural untuk melakukan “seponering” perkara pelanggaran berat Gus Yahya.
Namun juga perlu diingat, seponering atau mengesampingkan perkara demi tujuan yang lebih besar, belum tentu akan berlaku untuk selamanya. Apabila tujuan besar tersebut telah tercapai, bisa saja “seponering” perkara bisa dihentikan, artinya perkara pelanggaran berat Gus Yahya bisa diusut dan diadili kembali.
Dari berbagai problem dan kerumitan yang menyertainya tersebut, bisa dibuat sederhana solusinya. Yaitu : “Yang paling penting adalah Muktamar NU terselenggara dengan secepatnya, sedangkan persoalan yang lain dikesampingkan dahulu dan tak perlu dianggap penting”.
*Purwanto M Ali adalah Ketua PP GP Ansor 2005 – 2011





































