SURABAYA | duta.co – Polemik Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA) masih begitu panjang. Terutama terkait pekerja swasta yang diharuskan wajib membayar iuran dari gaji atau upah mereka sebesar 2,5%, dengan ‘subsidi’ perusahaan di mana dia bekerja, sebesar 0,5%.
“Maksud pemerintah baik, tetapi, realitasnya berbenturan dengan kondisi di lapangan. Artinya, banyak karyawan masih kontrak. Belum jelas masa depannya. Karenanya, kebijakan ini perlu kaji ulang, bukan ditolak. Lebih karena kondisi sosial ekonomi karyawan swasta belum memungkinan. Saya sangat berharap ada deep analysis atau analisis mendalam lagi,” tegas Dr Lia Istifhama, anggota DPD RI terpilih dari Jawa Timur, kepada duta.co, Jumat (31/5/24).
Menurut Ning Lia (panggilan akrabnya), masih banyak keluarga (suami-istri) harus sama-sama bekerja dengan gaji UMR (upah minum regional) untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. “Kita harus paham, bahwa realita saat ini, mayoritas seorang ibu menjalankan multi fungsi. Artinya, gaji UMR yang dimiliki suami saja, belum bisa menjawab kebutuhan hidup mereka,” tegasnya.
Padahal, lanjut Ning Lia, UMR setiap tahun meningkat. Bahkan di Jawa Timur misalnya, meningkatnya signifikan, 6,13 persen tahun 2024. Namun peningkatan itu, dibarengi dengan meningkatnya kebutuhan hidup lainnya. “Jadi, mau tidak mau suami-istri dituntut harus sama-sama bekerja. Bahkan tidak sedikit yang sama-sama memiliki side job. Jadi benar-benar harus pintar mengelola waktu mengasuh anak, ini termasuk tantangan kita,” urainya.
Ia kemudian membeber pengalaman hidup belasan tahun menjadi pekerjaan swasta bergaji UMR. “Saya merasakan. Alhamdulillah, sebagai warga metropolis, saya merasakan perjuangan mencari rezeki halal dengan profesi bergaji UMR. Sekarang, saya paham betul, arti potongan sekian rupiah. BPJS, itu sangat positif. Tapi, ada dampak dari sebuah potongan, ini dirasakan karyawan swasta,” terangnya.
Oleh sebab itu, tegas Ning Lia, jika sekarang ada penambahan potongan TAPERA, ia khawatir membebani karyawan dengan tingkat ekonomi tertentu. Atau membebani perusahaan, sehingga mereka semakin terbiasa membuat karyawan kontrak, bukan karyawan tetap. “Ini harus menjadi kajian serius,” usulnya.
Diakui, bahwa, habit perusahaan mempekerjakan karyawan kontrak. Ini persoalan yang harus menjadi atensi bersama. “Diakui atau tidak, budaya ‘kontrak’ sudah lumrah. Bekerja sebagai karyawan kontrak, tinggal di rumah kontrak, itu seperti sebuah realita yang sangat umum terjadi, terutama di perkotaan. Ini fakta lapangan,” tegasnya.
Pertanyaannya: Mengapa karyawan memilih kontrak? Mengapa mereka berat menerima kebijakan TAPERA? “Karena memang mampunya rumah kontrak. Masalahnya, mengapa karyawan yang sudah bekerja sekian tahun tetap berstatus kontrak? Saya justru khawatir, perusahaan hanya mampu mempekerjakan karyawan secara kontrak. Karena bebas pesangon. Ini jangan sampai luput dari atensi kita bersama. Demikian pula TAPERA,” pungkasnya. (mky)