Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik, Dr. Solikin Rusli. S.H.

JOMBANG | duta.co — Polemik pengadaan sepeda motor untuk para Kepala Desa (Kades) melalui program Desa Mantra terus memantik gelombang kritik. Setelah Ketua Badan Anggaran (Banggar) yang juga Ketua DPRD Jombang menyatakan tidak mengetahui detail program tersebut, sorotan publik justru semakin tajam. Pernyataan itu dianggap sebagai cermin betapa longgarnya kontrol legislatif terhadap belanja daerah.

Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik, Dr. Solikin Rusli, S.H., menilai kondisi tersebut sebagai bentuk kecerobohan kelembagaan dan lemahnya fungsi pengawasan pimpinan dewan.

“Pernyataan seorang Ketua DPRD yang tidak mengetahui program bernilai ratusan juta rupiah adalah sinyal bahwa mekanisme anggaran kita sedang tidak baik-baik saja,” ujarnya saat dimintai tanggapan, Senin (1/12)

Menurutnya, pimpinan DPRD seharusnya menjadi garda terdepan memastikan setiap rupiah anggaran yang disahkan melewati proses pembahasan yang transparan dan akuntabel.

“Kalau pimpinan tidak tahu, bagaimana dengan anggota? Dan kalau anggota tidak tahu, siapa yang sebenarnya mengawasi pemerintah daerah?” tanyanya.

Dosen Fakultas Hukum UNTAG Surabaya ini membeberkan, saat ini pembahasan anggaran dinilai semakin dangkal. Pernyataan tersebut dibenarkan sumber duta.co di internal DPRD Jombang yang enggan disebutkan namanya turut membenarkan adanya perubahan drastis dalam pola pembahasan anggaran beberapa tahun terakhir.

“Dulu itu ada komisi. Komisi A dengan klaster programnya, Komisi B dengan sektornya. Semua dipaparkan, dibahas, diuji, lalu ditentukan anggarannya. Tapi sekarang tidak ada lagi,” ungkap sumber duta.co itu.

Ia menjelaskan, kini pembahasan telah direduksi menjadi pertemuan gabungan antara Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Pemkab dan Banggar DPRD. Tidak lagi ada pendalaman per komisi, per SKPD, bahkan per bidang.

Makanya ketika ditanya soal kenaikan PBB, soal anggaran poting, sampai soal pengadaan sepeda motor ini, banyak anggota Dewan benar-benar tidak tahu. Karena memang tidak pernah dibahas secara intens,” jelasnya.

Lebih lanjut, Solikin Rusli menegaskan, hal ini menunjukkan fungsi Anggaran DPRD tumpul, publik jadi penjaga terakhir. Kondisi itu membuat fungsi anggaran DPRD menjadi tumpul. Masukan publik justru baru terdengar ketika keputusan sudah telanjur diketok.

“Fungsi anggaran itu bukan sekadar hadir saat rapat paripurna. Harusnya usulan program masuk dulu ke komisi terkait, dibahas detail, dikritisi, dievaluasi. Mana yang layak didanai, mana yang perlu dipangkas, mana yang harus ditolak. Itu inti dari tugas Dewan,” kata Solikin.

ABD itu produk hukum berupa peraturan daerah syarat pembuatan peraturan yang menurut UU 12/2011, sebelum disahkan harus ada uji publik, ketua DPRD kelihatannya gagal paham perbedaan uji publik dan sosialisasi.

Namun kenyataannya, proses tersebut seolah hilang. Sumber internal DPRD menggambarkan suasana pembahasan anggaran yang berlangsung serba mendadak dan tanpa uji publik, perda yang seperti ini cacat formil.

“Kalau pun ada pembahasan, sifatnya gelondongan. Sepuluh OPD disodorkan sekaligus. Itu pun mepet waktu. Dikasih satu OPD saja sering tidak sempat dipelajari, apalagi sepuluh,” keluhnya.

Bagi publik, ketidakjelasan ini bukan sekadar soal teknis. Ini soal rasa keadilan. Ketika harga kebutuhan naik, layanan publik belum merata, dan fasilitas dasar masih banyak bolong, keputusan membeli motor untuk Kades terasa menjauh dari kenyataan hidup masyarakat.

Solikin juga menyoroti lemahnya koordinasi internal di tubuh DPRD. Menurutnya, Ketua DPRD seharusnya mampu menggerakkan anggotanya agar fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan berjalan sebagaimana mestinya.

“Ketua DPRD lemah mengorkestrasi anggotanya. Kekosongan koordinasi seperti ini memberi ruang sangat besar bagi pemerintah daerah untuk memasukkan program-program yang bisa memicu masalah. Secara administratif mungkin dibahas, tapi secara substansi tidak pernah didalami,” tegasnya.

Ia mengingatkan, konsekuensi dari kelambanan ini bukan hanya kritik publik, tetapi juga hilangnya kepercayaan rakyat terhadap lembaga yang seharusnya menjadi suara mereka.

“Jika pimpinan dewan tidak mau berubah jangan salahkan rakyat tidak percaya lagi sama peran mereka,” pungkasnya. (din)

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry