Prof Dr Rochmat Wahab, MPd, MA (FT/moestopo.ac.id)

SURABAYA | duta.co – Prof Dr Rochmat Wahab, MPd, MA,  Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) 2009-2017, memberikan catatan terkait pemberian gelar Profesor Kehormatan Universitas Pertahanan (Unhan) kepada Megawati Sukarnoputeri yang mengundang banyak respon publik.

“Jangan sampai penganugerahan Guru Besar Tidak Tetap kepada Megawati Sukarnoputeri ini, terkesan lebih mempertimbangkan aspek politik daripada aspek akademik,”  demikian disampaikan Prof Dr Rochmat Wahab, MPd, MA, yang juga Dosen FIP UNY kepada duta.co, Jumat (11/6/21).

Menurut Ketua Umum Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) periode 2011-2016 ini, pemberian istilah Profesor Kehormatan juga tidak ditemukan dalam Permendikbud RI, Nomor 40 Tahun 2012 tentang  PENGANGKATAN PROFESOR/GURU BESAR TIDAK TETAP di Perguruan Tinggi. Yang ada dan sah adalah Profesor atau Guru Besar Tidak Tetap. Walau pun di luar negeri disebut Honorary Profesor.

Terkait kebijakan Unhan, maka, perlu dipahami, bahwa, profesor pada hakekatnya bukanlah gelar, seperti Sarjana, Master, atau doktor, tetapi jabatan akademik tertinggi di perguruan tinggi.  “Nah, perolehan jabatan Guru Besar Tidak Tetap melalui proses yang tidak sama dengan Guru Besar Tetap. Guru Besar Tetap harus melewati jabatan Asisten Ahli, Lektor dan Lektor Kepala, walau ada juga yang melompat dengan syarat-syarat tertentu.  Sedangkan Guru Besar Tidak Tetap tanpa melalui prosedur itu, tetapi harus bisa dibuktikan dengan keahlian atau prestasi luar biasa di bidang keahlian tertentu. Selanjutnya harus menjadi tenaga pengajar tetap di tempat itu. Yang ditandai dengan tugas rutin setiap semester atau tahun, sesuai dengan kebutuhan bidang keahlian itu,” urainya.

Ditanya soal alasan Universitas Pertahanan, bahwa, pemberian jabatan akademik Profesor kepada Megawati karena dinilai berhasil mengatasi  krisis multidimensional bidang ekonomi, politik, dan sosial, menurut Prof Rochmat masih terkesan sangat subyektif. “Ya, memang sah-sah saja. Tetapi menurut hemat saya, keyakinan itu masih bersifat subyektif, relatif. Publik bisa punya keyakinan beda, karena ‘keberhasilan’ beliau belum mendapat pengakuan secara meluas. Faktanya, Ibu Mega untuk menjadi presiden lagi, prosesnya tidak mulus, dua kali Pilpres gagal,” pungkasnya sambil menegaskan bahwa berdasarkan karya ilmiah yang diungkapkan kurang menunjukkan balance argumentation. Yang diangkat hanya kelebihannya, kurang mengangkat kelemahannya. (mky)