“Bagaimana gerakan PMII pasca reformasi hingga era revolusi digital saat ini? Tentu ada perubahan yang radikal terkait kondisi sosial politik di tanah air dan konstelasi global lainnya.”
Oleh Dr Yusuf Amrozi, MMT*
SETIAP menjelang tanggal 17 April beranda sosial media saya banyak dipenuhi flayer dan poster ucapan selamat Hari Lahir Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Sebagai orang yang pernah berkiprah di PMII, tidak sedikit sahabat-sahabat saya di sosmed yang dulu menjadi aktivis PMII posting atau membuat konten, yang karenanya dipertemukan kembali oleh media online itu. Tahun 2024 ini PMII genap berusia 64 tahun. Sebuah usia yang boleh disebut cukup matang sebagai organisasi kemahasiswaan nasional, bahkan konon telah memiliki cabang di luar negeri.
Sebagai informasi, PMII dideklarasikan di Kota Pahlawan Surabaya tanggal 17 April 1960. Para pendiri PMII yang bersidang di salah satu ruangan di Taman Pendidikan Khodijah (Sebuah yayasan pendidikan milik Muslimat NU di Wonokromo Surabaya) tersebut adalah aktivis dan pemuda NU saat itu diantaranya Sahabat M Chalid Mawardi (Jakarta), M Said Badairy (Jakarta), Hilman Badrudinsyah (Bandung), Ismail Maky (Yogyakarta), Moensif Nachrowy (Yogyakarta), Nuril Huda (Surakarta), Laily Mansur (Surakarta), Abdul Wahab Jaelani (Semarang), Hisbullah Huda (Surabaya), M. Calid Narbuko (Malang), serta beberapa nama lain. Mereka menggelar rapat dan mendeklarasikan PMII sebagai wadah perjuangan mahasiswa Nahdlatul Ulama.
Beberapa alasan perlunya didirikan organisasi mahasiswa NU saat itu diantaranya; (1). Dominasi aktivis pemuda non NU di HMI sebagai satu-satunya organisasi Islam saat itu, (2). Kekhawatiran wadah organisasi mahasiswa Islam HMI jika dibubarkan oleh pemerintahan Presiden Soekarno, maka perlu organisasi alternatif untuk berkiprah, apalagi yang sehaluan dengan Nahdlatul Ulama. (3). Efek keluarnya NU dari Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Alasan ke-3 ini nampaknya menjadi pemuncak dari urgensi PMII perlu segera didirikan, serta menegaskan bahwa PMII sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa NU, serta alasan (4) adalah menyatukan organisasi komunitas mahasiswa NU di berbagai daerah, sehingga perlu disatukan secara nasional. Konon pada Konbes IPNU di Yogjakarta pada bulan maret 1960 juga merekomendasikan pendirian organisasi mahasiswa NU ini. Dengan demikian sejak didirikan, PMII mendeklair sebagai bagian dari NU (badan otonom NU).
Meski demikian, saat masih menjadi aktivis PMII dulu, saya belum menemukan – karena keterbatasan akses informasi — pada dokumen Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama yang didalamnya secara tertulis menyatakan PMII adalah badan otonom NU untuk mahasiswa, paling tidak di era 80an hingga 90an. Karena ini materi penting yang biasa disampaikan pada forum Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA), hingga PKD dan PKL. Namun demikian secara faktual pasca deklarasi PMII, kader dan anggotanya merasa menjadi bagian dari NU, dan NU juga mengakuinya. Bahwa kemudian ada dinamika selanjutnya, bahwa PMII ingin independen terhadap NU melalui deklarasi Murnajati tahun 1972 adalah juga fakta. Karena ketidaksetujuan elit PMII mengingat NU ikut sebagai kontestan pemilu. Meskipun PMII selanjutnya ‘merevisi’ relasinya dengan orang tuanya NU menjadi Interdependen pada Kongres PMII di Jakarta tahun 1991, setelah NU kembali ke Khittoh pada Muktamar NU tahun 1984. Makna Interdependen adalah secara kelembagaan tetap Independen, tetapi secara kultur dan ikatan emosional tetap mengakui NU sebagai ortunya.
Terlepas dari dinamika dan pasang surut hubungan PMII dengan NU dewasa ini, usia dan pengalaman PMII dalam turut serta mewarnai arah perjalanan bangsa tidak terbantahkan. Fakta sejarah membuktikan bahwa meskipun mayoritas PMII bersemi di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), kiprahnya cukup nampak dalam mendidik SDM dan kepemimpinan anak bangsa pada jenjang pemuda/mahasiswa. Bagaimana para aktivis dan pengurus PMII di banyak tingkatan selalu terlibat pada social control dalam pengambilan kebijakan publik oleh pemerintah atau sistem birokrasi yang ada. Bentuk-bentuk social movement, baik pada tataran pemikiraan maupun praksis selalu tidak ketinggalan sebagai bagian dari agen perubahan. Hal itu terlihat sangat nampak terutama di masa orde baru hingga memuncak pada era reformasi.
Bagaimana gerakan PMII pasca reformasi hingga era revolusi digital saat ini? Tentu ada perubahan yang radikal terkait kondisi sosial politik di tanah air dan konstelasi global lainnya. Jika di masa Orba yang menjadi ‘musuh bersama’ adalah rezim penguasa, maka pasca reformasi kekuasaan menjadi terdesentralisasi. Hal tersebut berdampak pada orientasi dari bipolar menjadi multipolar. Demikian juga dari orientasi ormawa secara umum, antara movement disorientation hingga fenomena pragmatism activist. Misalnya sejak berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa, banyak aktivis dan alumni PMII yang sukses berkarir sebagai politisi, yang sebagian besar melalui PKB. Baik sebagai anggota legislatif hingga eksekutif di berbagai tingkatan. Hal ini tentu menjadi sesuatu yang positif. Tetapi hal lain yang juga terlihat adalah bagaimana sejumlah aktivis dan pengurus PMII menjadikannya ‘batu loncatan’ untuk berkarir setelah mereka jadi alumni. Tidak sedikit dari mereka yang ‘saling telikung’ diantara parasahabatnya, serta mengamankan posisi secara individual dimata seniornya.
Zaman memang telah berubah, terutama revolusi teknologi informasi hari ini. Aksi dan kiprah social tidak cukup di alam nyata, tetapi perlu juga di ‘jagat virtual’. Maka kemudian manakala realitas virtual terjadi, yang terjadi pada akun sosial media kita banyak dipenuhi dengan postingan dengan berbagai misi dan pesan dari konten tersebut. Saya memandang bahwa hari ini, PMII tidak saja mendominasi di PTKI tetapi telah cukup merata di berbagai jurusan keilmuan perguruan tinggi di tanah air. Dengan demikian virtual movement dengan kemasan yang menarik, dengan konten yang tetap kritis dan tetap berusaha idealis saya kira adalah dambaan dari masa depan. Jika bukan dari mahasiswa siapa lagi? Saya kira PMII harus tetap berperan di jalan ini.
Maka sebagai refleksi 64 tahun usia PMII, kembali pada judul tulisan ini: Apakah secara struktural PMII perlu kembali kepada NU? Bagi saya pribadi tidak terlalu penting. Begitu juga mungkin pada sebagian kader dan anggota PMII lainya juga berpandangan demikian. Toh mengutip apa yang pernah digagas oleh Richard Emerson tentang ketergantungan sosial cukup terbukti. Artinya kita bisa mengambil benefit dari lingkungan besar ekosistem Nahdlatul Ulama tanpa perlu masuk atau tercantum di AD/ART NU.
Saya sangat menghargai upaya sejumlah Muktamirin pada Muktamar NU tahun 2015 di Jombang yang memasukkan PMII di dokumen legal NU. Tapi kalau anaknya merasa lebih nyaman dengan ‘pisah KTP’, karena sudah dewasa ya sudah. Disatu kesempatan rapat di lingkungan PWNU Jawa Timur, saya rasan- rasan dengan senior saya Mas Hakim Jayli (sekarang Dirut TV 9). Kapan ya Mas di daftar absen rapat PWNU ter list PMII? Arek-arek PMII iku sudah terlanjur nyaman dengan romantika zamannya…!
*Dr Yusuf Amrozi, MMT adalah Dosen Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Ampel Surabaya, Sekretaris Lembaga Pendidikan Tinggi NU (LPTNU) Jawa Timur, Ketua 1 PMII Korcab Jawa Timur 2002-2003.