DIPELUK KAKAK ANGKAT: Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama dipeluk kakak angkatnya, Nana Riwayatie, sambil menangis usai persidangan, tahun 2017 lalu. (ist)

JAKARTA | duta.co – Mahkamah Agung (MA) menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama alias Ahok. “Sudah diputus. Hasilnya menolak,” kata juru bicara MA hakim agung Suhadi saat dikonfirmasi, Senin (26/3).

Terkait alasan lebih rinci, Suhadi masih enggan menjelaskan. “Alasannya (mengajukan PK) tidak dikabulkan majelis hakim. Pertimbangan belum bisa saya beri tahu ” ujarnya.

Perkara nomor 11 PK/PID/2018 masuk kualifikasi penodaan agama. Perkara itu masuk ke MA pada 7 Maret 2018. Duduk sebagai ketua majelis Artidjo Alkostar dengan anggota hakim agung Salman Luthan dan hakim agung Margiatmo. Ketiga hakim tersebut solid menolak. “Baru saja diketok,” ujar Suhadi.

Sebelumnya, Ahok divonis dua tahun penjara dan diperintahkan ditahan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa, 9 Mei 2017 lalu. Ia terbukti bersalah melanggar Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama.

Ahok didakwa dengan pasal 156a tentang penodaan agama dengan pasal 156 KUHP sebagai alternatif. Namun dalam tuntutan, jaksa menghilangkan pasal penodaan agama untuk Ahok. Ancaman hukuman lima tahun penjara juga dihilangkan dan Ahok hanya dituntut satu tahun dengan masa percobaan dua tahun.

Atas putusan tersebut, Ahok kala itu langsung menyatakan akan mengajukan banding usai vonis. Ahok diminta untuk mengurus langkah banding itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Tak berselang lama, pada Rabu, 24 Mei 2017, tiba-tiba Ahok berubah sikap. Dia memutuskan mencabut permohonan banding atas vonis 2 tahun penjara itu. Tepatnya pada 6 Juni 2017, PN Jakarta Utara telah menerima berkas pencabutan banding dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara.

Adik Ahok, Fifi Letty Indra, mengklaim alasan abang kandungnya memilih tidak mengajukan banding demi kebaikaan dan keutuhan bangsa dan negara. Fifi juga mengklaim, Ahok sudah memaafkan semua orang yang memusuhi dia. Ahok juga sudah mengetahui tudingan negatif beberapa orang terkait keputusannya untuk tidak banding.

Sembilan bulan berselang, kasus Ahok kembali mengemuka. Di tengah ramainya pemberitaan soal gugatan cerai pada istrinya, Ahok mengajukan peninjauan kembali kasus yang menjeratnya.

Ahok mengajukan PK ke Mahkamah Agung (MA) pada 2 Februari 2018. Persidangan perdana terkait permohonan PK Ahok itu digelar Senin, 26 Februari 2018 lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

 

Bandingkan Vonis Buni

Banyak yang meragukan PK Ahok akan dikabulkan MK. Namun Ahok berkeyanikan jika dia memiliki beberapa alasan kuat. Dalam memori PK yang diajukan, Ahok membandingkan putusan hakim terhadap Buni Yani di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, dengan putusan hakim terhadapnya di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Majelis hakim di Pengadilan Negeri Bandung menilai Buni Yani secara sah dan terbukti melakukan pemotongan video Ahok di Kepulauan Seribu. Karena video yang telah terpotong itu, Ahok menjalani persidangan dan kemudian dinyatakan bersalah.

Ahok divonis 2 tahun penjara oleh majelis hakim dan saat ini sedang menjalani masa hukuman di Rutan Mako Brimob, Depok, Jawa Barat. Sementara Buni Yani divonis 1,5 tahun penjara karena dianggap melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Selain membandingkan kasus Buni Yani itu, PK yang diajukan kuasa hukum Ahok juga beralasan bahwa majelis hakim khilaf atau keliru dalam pengambilan keputusan.

Kuasa hukum Ahok, Josefina Agatha mengatakan tidak ada alasan khusus mengapa Ahok mengajukan PK setelah 8 bulan vonis penjara dijatuhkan hakim. Pengajuan PK, kata Josefina, merupakan permintaan Ahok setelah berdiskusi dengan kuasa hukumnya.

PK Tanpa Novum

Sementara pihak yang yakin PK Ahok bakal ditolak beralasan karena Ahok mengajukan PK tanpa disertai novum atau bukti baru. Pakar pidana asal Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda mengatakan berkas PK yang diajukan oleh seorang terpidana tanpa ada novum atau bukti baru tak akan dikabulkan majelis hakim MA.

Novum menjadi salah satu syarat pengajuan PK sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang MA.

Chairul yakin putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung atas kasus ujaran kebencian bernuansa SARA dengan terdakwa Buni Yani dan kekeliruan dari majelis hakim yang menjatuhkan vonis terhadap Ahok dalam memori PK Ahok akan ditolak.

Di tengah keraguan publik, Juru bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi memastikan berkas PK yang diajukan Ahok tetap sah meski tak disertai novum atau bukti baru. Menurut MA, Ahok memang bisa mengajukan PK dengan alasan kekhilafan hakim.

MA pun menunjuk Hakim Agung, Artidjo Alkostar, untuk memimpin majelis hakim menangani PK Ahok. Dua hakim lainnya adalah Salman Luthan (pembaca I), dan hakim Sumardiatmo (pembaca II). PK Ahok yang terdaftar dengan nomor 11 PK/PID/2018 sudah diterima oleh MA pada 6 Maret 2018 lalu.

Penantian Ahok dan publik terkait PK itu pun terjawab hari ini, Senin (26/3). Di tangan Artidjo Alkostar, yang dikenal tegas memutus berbagai kasus hukum terutama kasus korupsi itu, PK Ahok ditolak.

Itu artinya, Ahok masih harus terus mendekam di penjara Mako Brimob, Depok. Namun demikian, kuasa hukum Ahok belum mau menyimpulkan jika langkah Ahok untuk bebas akan terhenti usai penolakan PK itu.

 

Tidak Bisa PK Lagi

Sebelumnya, Jubir MA Suhadi memastikan upaya pengajuan PK Ahok akan jadi yang pertama dan terakhir baginya. “Kalau melihat apa yang sudah digariskan MA itu adalah final, satu kali. Hanya satu kali dan tidak boleh ada PK lain,” kata Suhadi dalam program yang tayang di Kompas TV, Senin (5/3/2018) lalu.

Padahal, pada 2014, MA menerbitkan surat edaran (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang pembatasan PK, yang pada intinya memperbolehkan peninjauan kembali lebih dari sekali. Sejumlah terdakwa juga tercatat pernah mengajukan PK lebih dari sekali seperti terpidana mati kasus narkoba Zainal Abidin. Mengapa Ahok tidak punya kesempatan yang sama?

“MA melihat kondisi yang ada, manajemen perkara ada UU lain yang menentukan satu kali. UU MA, UU Kekuasaan Kehakiman, putusan PK tidak boleh di-PK,” ujarnya.

Suhadi menjelaskan, PK lebih dari sekali ini diupayakan terpidana mati lantaran putusan hukuman mati tidak kunjung dieksekusi kejaksaan. PK juga menjadi cara mengulur-ulur hukuman. “Kematian tidak bisa ditukar dengan apa pun, jadi orang berusaha menghindari,” katanya.

Keadaan yang bisa membuat perkara ditinjau kembali lebih dari sekali yakni jika ada putusan yang bertentangan satu dengan lain. Misalnya, penggugat menang di pengadilan tata usaha negara (PTUN), tetapi kalah di ranah perdata sehingga tidak bisa dieksekusi.

Lalu bagaimana dengan kasus Ahok? “Kalau itu sudah masuk masalah substansi, kami tidak bisa berpendapat,” katanya. hud, cnn, kcm

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry