FT/merdeka

Oleh: Dr H Ahmad Siboy, SH, MH*

PEMILIHAN kepala daerah merupakan isu yang tidak akan pernah punah dalam berbagai forum dan tulisan. Tema tentang Pilkada tidak pernah usang karena tema tentang Pilkada selalu menarik perhatian semua pihak. Menarik karena Pilkada merupakan gelaran kedaulatan rakyat yang bersifat dinamis dari waktu ke waktu. Penyelenggaraan Pilkada pun rutin dilaksanakan tiap lima tahun di seluruh daerah di Indonesia kecuali di beberapa daerah khusus dan istimewa. Setiap penyelenggaraan Pilkada dari waktu ke waktu selalu diwarnai oleh berbagai dinamika politik dan hukum.

Dinamika yang terjadi dalam setiap penyelenggaraan Pilkada merupakan dinamika yang seharusnya mengalami perubahan kearah yang lebih baik dari waktu ke waktu. Perubahan dalam penyelenggaraan Pilkada ialah perubahan yang sesuai dengan keadaan ruang dan waktu. Salah sau perubahan yang harus dilakukan dalam upaya mendekatkan Pilkada dengan kesempurnaan ialah perubahan di bidang hukum yang harus diubah untuk mengadaptasikan dengan kondisi riil (alhukmu yadhurru ma illatihi, wujudan au adaman, zamanin au makanin).

Dalam konteks perubahan hukum maka pengaturan tentang Pilkada dapat dikatakan sebagai pengaturan yang cukup sering diubah dan diuji. Mulai dari pengaturan Pilkada yang masih masuk rezim pemilihan umum (Pemilu) sampai dengan masuk pada rezim pemerintahan daerah. UU nomor 10 Tahun 2016 merupakan undang-undang tentang Pilkada yang masih berlaku. UU ini merupakan perubahan kedua atas UU nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perpu nomor 1 tahun 2014. Perjalanan dari Perpu sampai dengan UU nomor 10 merupakan perjalanan perubahan atas suatu UU yang relatif cepat. Kecepatan atas perubahan UU mengenai Pilkada tersebut menunjukan bahwa kontruksi hukum mengenai Pilkada diupayakan untuk responsif atas perkembangan kondisi dan situasi.

Perubahan hukum yang begitu cepat tersebut tentu saja tidak menjadi jaminan utuh bahwa penyelenggaraan Pilkada akan menghasilkan kepala daerah yang sesuai harapan. Perubahan  pada aspek hukum hanya menyentuh bagian tentang apa, mengapa dan bagaimana Pilkada harus diselenggarakan. Hukum “hanyalah” rambu-rambu dalam penyelenggaraan Pilkada. Artinya, walaupun pengaturan tentang Pilkada sudah sangat baik namun bukan berarti penyelenggaraan Pilkada akan baik pula. Sebagai rambu-rambu dalam Pilkada maka keberhasilan Pilkada mencapai hakikat penyelenggaraanya juga sangat ditentukan kepatuhan terhadap rambu-rambu yang telah dirumuskan dalam UU Pilkada.

Apabila mengacu kepada teori bekerjanya hukum yang dikemukana oleh Lawrance M Friedman tentang kedudukan substansi, struktur dan kultur maka rambu-rambu atau hukum dalam Pilkada tersebut akan efektif apabila didukung oleh Kultur masyarakat Selama penyelenggaraan Pilkada. Kultur masyarakat disini ialah bagaimana masyarakat dapat menjadikan aturan mengenai Pilkada yang berada dalam UU menjadi kenyataan yang sesungguhnya. Law in the book menjadi law in action.

Hal utama dan pertama untuk mewujudkan hukum Pilkada menjadi kenyatan ialah dari bagaimana asas-asas penyelenggaraan Pilkada benar-benar diterapkan dalam penyelenggaraan Pilkada. Asas-asas Pilkada menjadi hal utama yang harus ditegakkan karena asas merupakan hal yang menjadi “hati dan jantung” dari keseluruhan aturan Pilkada. Asas merupakan nilai yang mempengaruhi atau menjadi latar belakang terbentuknya aturan mengenai Pilkada. Artinya, apabila asas-asas Pilkada mampu diterjemahkan dalam kenyataaan maka penyelenggaraan Pilkada akan menjadi penyelenggaraan Pilkada yang substansial.

Menurut Pasal 2 UU Pilkada, asas-asas pilkada tediri dari asas luber dan Jurdil. Dalam buku Kontruksi Hukum Pilkada, asas-asas tersebut diartikan sebagai berikut: Asas langsung bermakna bahwa rakyat dapat menggunakan hak pilihnya secara langsung. Umum bermakna bahwa pemilihan kepala daerah diselenggarakan secara umum untuk seluruh warga negara  Indonesia (WNI). Bebas ialah adanya jaminan terhadap pemilih untuk dapat menggunakan hak pilihnya secara bebas tanpa paksaan dari pihak manapun. Rahasia  ialah jaminan bahwa pilihan pemilih dalam Pilkada tidak akan diketahui oleh siapapun. Jujur ialah penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dilaksanakan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Sementara Adil berarti bahwa setiap peserta pemilihan dan pemilih mendapatkan perlakuan yang sama atas keadaan atau peristiwa yang sama.

Asas-asas Pilkada tersebut akan hadir dalam “dunia nyata” apabila: Pertama, penyelenggara Pilkada dalam hal ini KPUD, Bawaslu dan DKPP harus benar-benar menjadi penyelenggara Pilkada yang mandiri. Mandiri dalam arti mereka bekerja sesuai dengan tugas dan fungsi yang dimiliki serta tidak berpihak kepada salah satu pasangan calon. Yang terpenting, para penyelenggara Pilkada juga harus lepas dari segala conflick of interest. Apabila diantara pasangan calon atau tim sukses dari salah satu pasangan calon yang memiliki hubungan emosional tertentu maka penyelenggara Pilkada wajib menghindar atau menjaga jarak demi keadilan dan moral.

Kemandirian penyelenggara Pilkada sangat dibutuhkan karena terjadinya pelanggaran pada saat penyelenggaraan Pilkada justru karena adanya ketidaknetralan dari penyelenggara. Penyelenggara Pilkada yang tidak netral seringkali menerapkan standart ganda dalam penerapan aturan. Standart ganda ini tentu dapat merugikan salah satu pasangan calon dalam Pilkada.

Kedua, peserta Pilkada. Peserta Pilkada dalam hal ini adalah pasangan calon kepala daerah yang oleh KPUD telah ditetapkan sebagai peserta Pilkada. Peran peserta Pilkada sangat menentukan kualitas penyelenggaraan Pilkada. Apabila peserta Pilkada menyadari bahwa Pilkada adalah sebuah kompetisi untuk menawarkan solusi kepada rakyat maka hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Pilkada pasti akan dijauhi. Setiap peserta Pilkada harus patuh pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila terdapat peserta Pilkada yang melanggar aturan maka peserta yang lain harus mampu menahan diri untuk tidak ikut melanggar. Hal ini akan membuat situasi Pilkada akan tetap berada dalam kesejukan. Pilkada akan gaduh apabila antar peserta Pilkada sama-sama terpancing untuk melakukan pelanggaran.

Ketiga penegakan hukum. Pilkada substansial juga akan terwujud manakala proses penegakkan hukum atas segala pelanggaran, sengketa dan perselisihan dalam Pilkada diselesaikan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Proses penegakkan hukum mulai dari upaya administrasi sampai proses persidangan pada tingkat kasasi dan perselisihan hasil Pilkada di Mahkamah Konstitusi harus sesuai dengan prinsip kekuasaan kehakiman yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan.

*Penulis adalah Wakil Dekan III FH Unisma dan Penulis Buku Kontruksi Hukum Pilkada

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry