SURABAYA | duta.co – Hasil survey terbaru Pilgub Jatim membuat pertempuran opini kian seru. Belum lagi upaya membentuk opini publik, terkait orang-orang penting Jakarta. Meski sudah memasuki pertempuran program untuk rakyat, toh sejumlah pengamat justru asyik ‘menggoreng’ elit-elit Jakarta.

Pencalonan Khofifah Indar Parawansa misalnya, oleh beberapa  pengamat politik, dinilai  bakal menjadi pembuka jalan bagi Agus Harimurti Yudoyono (AHY) selaku Ketua Komando Tugas Bersama (Kosgama) Partai Demokrat untuk menjadi kandidat pada pemilihan presiden (Pilpres) 2019. Dengan begitu, Khofifah diposisikan sebagai lawan Jokowi. Targetnya, bisa jadi, agar pendukung Jokowi marah.

Siti Zuhro, peneliti dan pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI) misalnya, mengatakan, bahwa dirinya sudah membaca wacana itu sejak Khofifah merapat ke Partai Demokrat sebagai kendaraan maju Pilkada Jatim 2018.

“SBY punya kepentingan dan Khofifah juga punya kepentingan. Sehingga Khofifah mau berkoalisi dengan Soekarwo yang pernah menjadi musuh dan  mengalahkannya  di dua kali Pilgub Jatim,” ujarnya kepada wartawan saat dikonfirmaai Selasa (20/3/2018).

Pertimbangan lainnya, kata Siti, Khofifah mau dipinang bekas lawannya, karena PDI Perjuanhan dan PKB sudah lebih dulu mengusung Saifullah Yusuf yang  mendapat restu ulama sepuh dan warga nahdliyin Jawa Timur.

“Partai Demokrat mengusung Khofifah karena ingin menjadikan Khofifah sebagai jalan bagi AHY.  Sedang Khofifah mau dengan SBY, karena butuh kendaraan politik untuk Pilgub Jatim 2018. Itulah politik, sarat dengan kepentingan,” kelakar ilmuan LIPI.

Pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Surokim Abdus Salam lain lagi. Ia mengatakan bahwa kepentingan parpol di Pilkada serentak 2018 dengan Pileg dan Pilpres 2019 tidak selalu linier karena faktor figur masih dominan dalam pemilihan langsung.

“Apalagi koalisi partai di tingkat nasional juga kadang tidak selalu sama dengan koalisi di daerah,” ujar Surokim.

Alasan lain, pemilih presiden juga kadang menunjukkan anomali dengan partainya. Bahkan pemilih presiden dari non partai kadang jauh lebih besar dari pemilih partainya sehingga ini yang membuat kadang data itu tidak selalu linier.

Sebagai gambaran pemilih Jokowi di Pilpres 2014 tidak semua dari PDIP,  demikian juga pemilih Prabowo. Bakhan kalau mau dicermati pemilih non partai itu bisa jadi lebih dominan dalam posisi seperti itu.

“Jadi menurut saya boleh saja masing-masing pihak klaim tentang itu sebagai bagian dari upaya soliditas suara, tetapi tidak selalu linier begitu. Fenomena pemilih rasional kita juga terus meningkat signifikan dan itu kadang membuat pilihan di Pilpres tidak selalu sama dengan pilihan di Pilkada,” beber Dekan FISIP UTM.

Berdasarkan pengamatan di lapangan selama berlangsungnya Pilkada langsung di Jatim, lanjut Surokim hanya PKS dan PDIP yang relatif solid dalam dukungan pemilih partai. Namun di Pilkada Jatim 2018 yang akan mendapat efek elektoral besar hanyalah partai pengusung utama paslon yaitu PDIP dan Demokrat.

Kalau Khofifah menang, demokrat yang paling diuntungkan efek elektoralnya di Jatim. Apalagi dalam konstelasi politik nasional, kata Surokim, Jatim termasuk 3 besar yang wajib dimenangkan Parpol jika ingin punya modal bagus setelah DKI Jakarta dan Jabar.

Beda lagi dengan Eep Saefulloh Fatah, pengamat politik yang dikenal dengan Gus Ipul ini justru bicara soal survey. Ia mengusulkan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak penyelenggara pemilu untuk ikut mengawasi lembaga-lembaga survey jelang pilkada maupun pilpres.

Sebab, maraknya lembaga survey yang merilis berbagai hasil surveinya jelang pemilihan kepala daerah berpotensi akan membuat masyarakat menjadi bingung.

“Kami sebagai pihak yang berkecimpung di dunia konsultan politik merasa risau dengan perkembangan pilkada di banyak daerah yang biasanya ditandai dengan kumunculan banyak lembaga survey,” ujar Eep pada diskusi bersama awak media, Selasa (20/3/2018) di Surabaya.

Menurutnya, pada dasarnya masing-masing lembaga survey memiliki hak untuk merilis hasil penelitiannya. Namun, rilis tersebut sebaiknya juga harus valid sehingga pemilih mendapatkan informasi sesuai fakta.

“Rilis survey itu juga harus memperhatikan hak pemilih. Pemilih punya hak untuk mendapatkan informasi yang valid, obyektif, dan tidak memihak,” jelas peneliti asal Lembaga Survei Polmark Indonesia ini. (ud)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry