Oleh: Sulardi

 

PADA tahun 2018, tepatnya tanggal 27 Juni 2018 akan diselenggarakan 171 pemilihan kepala daerah secara serentak di Negara kita. Dari 171 itu terdiri atas ; pemilihan kepala daerah provinsi 17, pemilihan kepala daerah di Kabupaten  115 dan di wilayah kota 39.  Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim merupakan salah satu diantaranya. Pilgub Jatim  tahun depan bisa disebut babak lanjutan dari pilgub   tahun sebelumnya, yakni tahun 2008 dan tahun 2013, pada waktu tahun Khififah kalah tipis.

 

Demokrasi Elitis

Perseteruan calon gubernur Jatim sangat menarik untuk dicermati. Bahwasannya, Pilgub Jatim adalah elitis, sebab penentuan pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur itu dilakukan sangat terbatas di kalangan elite partai politik. Elite PDIP mendeklarasaikan pencalonan Gus Ipul bersama Azwar Anas yang saat ini masih menjabat sebagai Bupati Banyuwaangi, sedang SBY didampingi Pakde Karwo (yang saat ini Gubernur Jatim) mendeklarasikan Khofifah berpasangan dengan Emil Dardak, yang juga masih menjabat sebagai Bupati Trenggalek. Belakangan ini Partai Golkar dan Nasdem menyatakan dukungannya kepada pasangan ini. Pendeklarasian kedua pasangan calon Gubernur dan Wagub itu terkesan tanpa melibatkan rakyatnya. Seolah rakyat disuguhi hidangan makan siang oleh elite politik  tanpa lebih dahulu menentkan menunya.

Pelibatan rakyat dalam proses Pilgub Jatim, sangat minim; hanya memberikan suara pada saat penyoblosan di Tempat Pemungutan Suara (TPS).  Dari titik ini menunjukan betapa Pilgub Jatim sangat elitis. Keelitisan pilgub semakin terasa ketika pimpinan PDIP menanggapai secara keras atas bersedianya Emil Dardak menjadi Wagub berpasangan degan Khofifah, dengan memberi sanksi pemecatan kepada Emil Dardak dari  keanggotaan dan Kader PDIP. Sementara itu rakyat Jawa Timur tenang–tenang saja atas deklarasi calon gubernur elitis itu, rakyat ditempatkan sebagai penonton dari teselenggaranya Pilgub Jatim.

Padahal hakikat demokrasi itu “dari rakyat oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Bila jargon ini dipercaya sebagai hakikat demokrasi, maka pilgub Jatim telah kehilangan hakikat itu. Sebab yang dominan dalam menentukan siapa calon gubernur dan wakil gubernur di Jawa Timur itu para elitis. Jika demokrasi tanpa dari rakyat maka mustahil hasil dalam berdemokrasi pun untuk rakyat. Karena sudah diawali dengan dari elite, jangan pernah berharap gubernur terpilih nanti berorientasi untuk rakyat. Dapat dipastikan orientasi kerjanya untuk elit yang telah mendukung dan mengantarnya menjadi calon gubenur dan wakil gubernur.

 

Pilgub yang Oligarkhi

Berdasar teori klasik, oligarkhi adalah tatanan masyarakat yang dikelola oleh kalangan berduit. Pemimpin berasal dari golongan yang kaya raya, bahkan syarat untuk menjadi pemimpin harus kaya raya. Itulah prinsip oligarhi. Pemilu itu  merupakan wujud yang tampak dari  demokrasi, sayangnya demokrasi yang  dijalankan terjebak dalam  prinsip-prinsip oligarki, hal itu terlihat dengan sangat  dominasinya kekuasaan oleh segolongan elite. Praktik oligarki mendapatkan lahan yang empuk dan cocok bagi tumbuhnya oligarhisme ini.  Hal itu disebab rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi belum sepenuhnya mampu bersikap dan bertindak mandiri, rasional, dan kritis dalam menyalurkan hak politiknya. Masyarakat dengan sangat mudah terbawa arus patron di lingkungannya, atau bahkan cukup dengan satu paket sembako seharga 100 ribu sudah bisa dibujuk rayu untuk memilih calon gubernur dan wagub tertentu.

Elitisme dan oligarkhi ini tidak sehat bagi pertumbuhan demokrasi, pilar utama  yakni partisipasi dan kehendak masyarakat sebaiknya ditata dengan lebih baik. Model pencalonan melalui mekanis konvensi di internal partai merupakan salah satu upaya yang perlu diterapkan oleh partai politik. Partai politik tidak terkesan membuka lowongan pekerjaan menjadi kepala daerah dan atau wakil kepala daerah. Harus diingat salah satu fungsi partai adalah mempersiapkan pimpinan, baik di tingkat nasional maupun lokal. Apa gunanya ada partai politik bila tidak mampu menyiapkan kadernya untuk menjadi pemimpin. Dengaan pilgub yang elitis dan oligarhkhi telah terjadi kontradiksi dengan apa yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum, baik di tingkat Provinsi maupun Kota/Kabupaten yang mendorong keterlibatan masyarakat dalam Pilgub tahun depan. Upaya penyadaran berdemokrasi yang dilakukan oleh KPU, tidak sebanding lurus dengan apa yang dilakukan oleh elite politik.

 

Bila Rakyat Golput

Kita masih ingat, pada pilgub tahun 2008 lalu, dari kalagan ulama memunculkan fatwa bahwa golput (golongan yang tidak menggunakan hak pilihnya) itu haram. Karena ada kekhwwatiran rakyat jenuh dengan proses pilkada, sehingga memutuskan untuk golput. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam setiap event pemilihan kepala daerah  menjadi salah satu target yang diupayakan terus meningkat. KPU menyadari salah satu indikator keberhasilan dalam pelaksanaan demokrasi adalah keterlibatan masyarakat pada saat pemungutan suara, walaupun jumlah keikutsertaan dalam pemilihan tidak akan memengruhi sah tidaknya hasil pemilihan itu.

Sebelum terlambat terlalu jauh, mestinya elite politik dan calon calon kepala daerah itu mengajak masyarakat untuk menentukan siapakah calon kepala daerah yang akan diusulkan oleh partai politik untuk maju dalam pilgub mendatang. Bila tidak, jangan memaksa masyarakat untuk tidak golput bila ternyata yang diajukan oleh para elite politik tidak seperti yang diharapkan oleh rakyat. Gubernur dan wakil gubernur terpilih pada pilgub 2018 itu akan mempimpin rakyat Jatim ini, bukan memimpin elite politik. Rakyat bisa saja tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemungutan tanggal 27 Juni 2018, ini sebagai wujud kesadaran dalam berdemokrasi. Bahwa rakyat itu penentu, bukan penonton.

 

*Penulis adalah Pengurus Asosiasi Pengajar HTN HAN, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry