Nana bersama Dubes RI untuk Aljazair Safira Machrusah. (DUTA.CO/IST)

DEN HAAG | duta.co – Umat Islam Indonesia yang berada di Belanda berharap agar Nahdlatul Ulama (NU) terus menyuarakan Islam Nusantara, Islam yang damai, Islam yang rahmatan lilalamin. Lebih dari itu, Bangsa Indonesia dinilai perlu menjadikan Islam Nusantara sebagai bagian penting dari diplomasi budaya Indonesia dalam rangka mewujudkan politik luar negeri yang bebas dan aktif sesuai amanat konstitusi.

“Kita senang dan bangga sebagai bangsa Indonesia, umat Islam yang memiliki modal sosial-politik bernama Islam Nusantara. Gerakan ini harus terus aktif dalam mengawal pesan-pesan dasar Islam mengenai perdamaian, keadilan, persaudaraan dan kemaslahatan seluruh umat manusia, dengan begitu akan terkikis habis stigma Islam itu radikal,” demikian pesan singkat Sufri Ratnasari Oorschout (Nana), warga Surabaya yang kini tinggal di Belanda kepada duta.co, Ahad (2/4/2017).

Seperti diberitakan, Senin, 28 Maret 2017 lalu sebuah kegiatan konferensi internasional mengenai Islam moderat di Indonesia telah diselenggarakan di kampus Vrije Universiteit Amsterdam dengan mengangkat tema “Rethinking Indonesia’s Islam Nusantara: From Local Relevance to Global Significance”.

Konferensi yang diselenggarakan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Belanda ini terselenggara berkat dukungan penuh dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag dan Kementerian Agama Republik Indonesia, serta atas kerja sama erat dengan Vrije Universiteit Amsterdam, Persatuan Pemuda Muslim Eropa (PPME), Belanda, dan Masjid Al-Hikmah, Den Haag.

Tidak kurang dari 30 orang pemakalah dan sekitar 250 peserta dari berbagai negara dan disiplin ilmu berpartisipasi pada forum ilmiah yang dibuka oleh Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, ini. Konferensi internasional ini juga sangat istimewa karena dihadiri oleh lima Duta Besar Republik Indonesia di berbagai negara, yakni berturut-turut Dubes RI untuk Belanda (I Gusti Agung Wesaka Puja), untuk Aljazair (Safira Machrusah), untuk Lebanon (Achmad Chozin Chumaidy), untuk Arab Saudi (Agus Maftuh Abegebriel), dan untuk Azerbaijan (Husnan Bey Fananie).

Dari kalangan nahdliyin, hadir KH Zulfa Mustofa dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama serta puluhan perwakilan Cabang Istimewa NU dari berbagai negara, yakni Belgia, Jerman, Inggris, Rusia, Maroko, Tunisia, Lebanon, dan Malaysia.

Konferensi internasional Islam Nusantara ini, di masa depan diharapkan akan menjadi agenda dua tahunan (biennial) terdiri atas dua bagian, yakni kuliah umum dan diskusi panel.

Dirjen Pendidikan Islam, Prof Dr Phil Kamaruddin Amin, membuka acara dan sekaligus menyampaikan keynote speech pada sesi kuliah umum. Selanjutnya dilanjutkan oleh Dubes RI untuk Aljazair Safira Machrusah, intelektual muda NU Ahmad Baso, peneliti mengenai Islam di Eropa Prof Dr Thijl Sunier dari Vrije Universiteit Amsterdam, dan Dr Adib Abdus Shomad dari Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama.

Sementara itu, diskusi panel dibagi menjadi delapan kelompok yang membahas Islam Nusantara dari berbagai aspek berlainan, yakni: (1) akar intelektual dan relevansi kekinian; (2) reproduksi dan diseminasi melalui berbagai institusi pendidikan; (3) dinamika hukum Islam, adat dan sistem legal; (4) dinamika demokrasi, kewarganegaraan dan hak asasi manusia; (5) konteks ketimpangan sosial-ekonomi dan krisis ekologi; (6) dinamika “media baru” dan otoritas keagamaan; (7) konteks pluralitas keagamaan; dan terakhir (8) dialog dengan lokalitas, termasuk dalam konteks Eropa. Konferensi ini ditutup dengan beberapa catatan kritis yang disampaikan oleh Prof. Dr. Karel Steenbrink dari Utrecht University.

Selain ceramah dan diskusi, konferensi ini juga diisi dengan photo exhibition yang menampilkan presentasi poster dan foto-foto terpilih mengenai berbagai sisi kehidupan Islam Nusantara di Indonesia. Secara keseluruhan, konferensi internasional ini menyampaikan pesan kunci berupa signifikansi Islam Nusantara terhadap upaya-upaya global menjawab berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia di seluruh dunia dewasa ini, seperti kekerasan sektarian, ketimpangan sosial-ekonomi, xenophobia, Islamophobia, dan krisis ekologi global.

Piagam Den Haag

Untuk menguatkan pesan kunci ini, hasil-hasil konferensi kemudian dirumuskan dalam bentuk Piagam Den Haag yang berjudul “Islam Nusantara untuk Perdamaian, Keadilan dan Persaudaraan Seluruh Umat Manusia”. Piagam Den Haag ini dideklarasikan dan ditandatangani pada 29 Maret 2017 dalam acara malam kebudayaan berjuluk  Nusantara Night yang diselenggarakan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag. Acara Nusantara Night ini merupakan bentuk dukungan Dubes RI untuk Belanda, I Gusti Wesaka Puja, atas penyelenggaraan konferensi internasional dan sekaligus penguatan atas pesan-pesan utama yang dihasilkannya.

Duta Besar RI untuk Aljazair, Safira Machrusah, berkenan membacakan Piagam Den Haag yang berisi empat konsideran dan enam butir pernyataan ini. Dua konsideran pertama berturut-turut mengangkat persoalan global yang dihadapi umat manusia dewasa ini dan bagaimana persoalan global tersebut telah melemahkan otoritas pemerintah yang sah dan sekaligus memberi peluang bagi sebagian kelompok untuk mengampanyekan populisme dan kekerasan atas nama etnis dan agama.

Konsideran ketiga menggarisbawahi kontribusi besar yang diperankan Islam Nusantara sebagai faktor pengikat kemajemukan bangsa Indonesia, pembentuk identitas nasional dan sistem politik demokratis, serta pilar tatanan masyarakat madani yang kuat. Sedangkan konsideran yang terakhir menegaskan Islam Nusantara sebagai modal sosial-politik yang sangat berharga bagi eksistensi bangsa Indonesia, baik dalam kaitannya dengan persoalan dalam negeri maupun dalam pergaulan yang lebih luas di tingkat regional dan global.

Berdasarkan empat konsideran di atas, enam butir pernyataan dan seruan bersama ditegaskan dalam Piagam Den Haag ini, sebagaimana dikutip secara utuh sebagai berikut: Pertama, Bangsa Indonesia harus terus merawat, memupuk dan menumbuh-kembangkan “Islam Nusantara” serta membuatnya kian responsif di tengah proses transformasi global yang menimbulkan dampak ketimpangan, krisis identitas dan pergolakan geo-politik yang marak dewasa ini.

Kedua, Bangsa Indonesia dengan modal sosial-politik ‘Islam Nusantara’ harus terus  berperan aktif dalam mengarus-utamakan pesan-pesan dasar Islam mengenai perdamaian, keadilan, persaudaraan dan kemaslahatan seluruh umat manusia.

Ketiga, Bangsa Indonesia perlu menjadikan ‘Islam Nusantara’ sebagai bagian penting dari diplomasi budaya Indonesia dalam rangka mewujudkan politik luar negeri yang bebas dan aktif sesuai amanat konstitusi.

Keempat, Bangsa Indonesia dituntut untuk mengoptimalkan kerjasama dan kontribusi dari seluruh potensi yang mendukung visi di atas, baik di dalam negeri sendiri, di antara para diaspora Indonesia di berbagai negara, maupun para mitra di semua negara sahabat.

Kelima, Menyerukan kepada seluruh bangsa dan pemerintahan di dunia untuk bersama-sama dan bahu membahu “melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Keenam, Menyerukan kepada anggota Nahdlatul Ulama pada khususnya dan seluruh umat Islam Indonesia pada umumnya untuk terlibat aktif dengan semua komponen bangsa dalam mewujudkan tradisi Islam yang penuh rahmat seperti dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan dalam menentang segala bentuk fanatisme keagamaan, penyelewengan atas segala hal yang dianggap sakral, maupun semua bentuk ceramah yang menyeru kepada kebencian dan kepicikan.

Penandatangan

Setelah dibacakan, Piagam Den Haag ditandatangani oleh sepuluh pihak sebagai berikut: Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, Duta Besar RI untuk Aljazair, Libanon, Arab Saudi dan Azerbaijan, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, perwakilan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU), perwakilan diaspora Muslim Indonesia di Belanda, lalu aktivis dialog agama dan perdamaian di Belanda.

Selain ditandatangani sepuluh pihak di atas, tidak kurang dari 120 undangan yang menghadiri acara Nusantara Night ini turut membubuhkan tanda tangan di lembar terpisah sebagai bentuk dukungan moral terhadap pesan yang disuarakan oleh Piagam Den Haag ini. Tamu undangan ini berasal dari berbagai kalangan, seperti para pembicara dan pemakalah dalam forum konferensi internasional, utusan PCINU, para akademisi dari berbagai universitas di Belanda, diaspora Indonesia di Belanda, aktivis perdamaian dan dialog lintas agama, dan jurnalis. (rls)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry