Inilah Foto-foto Isi dalam Ka'bah

Oleh Aguk Irawan MN*

IBADAH Haji sebuah ritual agama yang berusia ribuan tahun sejak Ibrahim alaihissalam, diwariskan dari generasi ke generasi untuk membawa pesan universal, yang terangkum dalam satu khutbah oleh Rasulullah Saw pada saat menunaikan Haji Wada’. Umat muslim yang setiap tahun meninggalkan kampung halaman untuk berkumpul di tempat yang sama, datang dari seluruh penjuru dunia, dengan latar belakang budaya, bahasa, warna kulit dan identitas nasional berbeda. Di tanah suci mereka memiliki satu niat, satu tujuan dan satu platform berupa kain ihram.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam hanya mewarisi dan menyempurnakan ibadah yang telah diajarkan para nabi dan rasul sebelum beliau. Ibadah haji yang dilestarikan selama ribuan tahun tidak pernah berubah baik nilai maupun ritualnya. Setiap kali penyimpangan-penyimpangan mulai mencemari kesucian haji, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus seorang rasul untuk menghilangkan penyimpangan dan mengembalikan lagi pada ajaran yang sesungguhnya, yang telah disampaikan para rasul sebelumya.

Rasulullah Muhammad Ibnu Abdillah diutus untuk memurnikan kembali spirit dan ritual haji, yang sempat dicemari tradisi-tradisi Jahiliah. Nabiyullah Muhammad menyampaikan pada saat Haji Wada’, alaa kullu syai-in min amril Jahiliah tahta qadamayya mawdhu’. Segala sesuatu yang pernah menjadi bagian tradisi Jahiliah kini telah jatuh ke bawah dua telapak kakiku. Dalam _Al Majaazaat Al Nabawiyah_, ungkapan ini sebuah sindiran segala hukum dan syariat terkait ibadah haji pada masa Jahiliah tidak sempurna dan menyimpang (Syarif Al-Radhi, 1910: 102).

Al Qur’an mengabadikan melalui surat Al Anfal ayat 35 bagaimana penyimpangan ritual haji selama masa Jahiliah, seperti bersiul-siul dan bertepuk-tepuk tangan. Hadits Imam Al-Bukhari, no. 1517, juga ikut mengabadikan bagaimana Rasulullah melarang orang-orang kafir musyrik bertawaf dengan tubuh telanjang. Kedatangan Islam tidak sekedar memurnikan tauhid dari penyimpangan tetapi juga lebih memanusiakan manusia, karena sungguh tidak pantas manusia menyembah Tuhannya dengan telanjang, bersiul-siul dan bertepuk-tepuk tangan.

Pemurnian tauhid memang menjadi visi besar risalah dan nubuwah Muhammad shalallahu alaihi wasallam, tetapi tauhid juga landasan membangun nilai kemanusiaan dan peradaban, fisik maupun spiritual. Pada Haji Wada’, Rasulullah bersabda, fa inna dimaa-akum wa amwaa lakum wa a’raadhakum ‘alaikum haramun kahurmati yawmikum haadza fi biladikum haadza fi syahrikum haadza. Keselamatan jiwa kalian, harta benda dan kehormatan kalian, harus dihormati sebagaimana kehormatan hari ini, di negeri ini, di bulan ini. Para ulama pun menyebut pesan ini sebagai dalil Maqaashid Al Khamsah.

Maqaashid Al-Khamsah juga disebut Maqaashid Syariiah, adalah lima kewajiban dasar beragama: bertuhan (Hifzhud Diin), terjaminnya keselamatan jiwa (Hifzhun Nafs), memiliki sumber pendapatan yang layak dan sejahtera (Hifzhul Maal), berketurunan (Hifzhun Nasl), dan berpendidikan (Hifzhul ‘Aql). Ulama lain menambahkan satu pokok, yang disebut sebagai hidup bermartabat (Hifzhul ‘Irdh). Lima atau enam pokok ini adalah tujuan syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, sehingga tindakan kriminal apapun yang bisa merugikan keselamatan jiwa, harta benda, dan kehormatan orang lain melanggar syariat Islam.

Untuk mendapatkan sumber pendapatan yang layak, sehingga mampu membawa kesejahteraan kepada orang lain, khususnya keluarga sendiri, tetangga dan masyarakat, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sangat menekankan sistem politik ekonomi yang tidak ribawi. Pesan beliau pada Haji Wada’, wa ribaal Jahiliyyah mawdhuu’. Seluruh praktik riba di masa Jahiliah juga dihapuskan. Dalam _Khuthabur Rasuul Mawdhuu’atuha wa Balaaghatuha_, riba bukan semata-mata sistem ekonomi yang mengejar akumulasi kapital dan profit, tetapi segala jenis lembaga keuangan yang mengejar profit dengan cara kapitalistik, tidak humanis (Ammar Sa’dullah Ridha Al-Na’imi, 2023:135).

Islam tidak pernah menginginkan akumulasi kapital yang menumpuk pada segelintir orang, sehingga setiap jenis hukuman yang diberlakukan pada orang-orang yang melanggar syariat Islam kerap kali bernuansa distribusi kekayaan, seperti memberikan makanan orang-orang miskin bagi siapapun yang tidak mampu menunaikan puasa Ramadan, serta menyembelih binatang (Dam) bagi jemaah haji yang melanggar larangan haji. Belum lagi ajaran wajib zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal. Ditambah lagi kesunnahan bersedekah, berinfaq, dan berwakaf. Aturan wajib dan Sunnah ini demi distribusi kekayaan secara merata sehingga setiap individu merasakan hidup yang sama layaknya dengan individu lain.

Distribusi kesejahteraan dalam Islam dimulai dari tingkat paling fundamental, unit paling penting dalam membangun masyarakat, yaitu kehidupan keluarga. Karenanya pada Haji Wada’ itu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, fattaqullaaha fin nisaa-i fa innakum akhadztumuuhunna bi amaanatillaahi was tahlaltum furuujahunna bi kalimatillaahi. Berhati-hatilah dalam bergaul dengan istri-istri kalian, karena kalian meminang mereka sebagai amanat Tuhan, dan kalian menghalalkan mereka menggunakan kalimat Tuhan. Karenanya, Rasulullah menekankan, berdosalah seseorang yang menyia-nyiakan istri yang menjadi tanggung jawabnya (HR. Abu Dawud, 1442).

Kehidupan keluarga masyarakat muslim menjadi langkah penentu segala upaya membangun peradaban suatu bangsa, termasuk kehidupan bernegara. Ketika fondasi kehidupan keluarga keropos, pilar berbangsa dan bernegara goyah. Membangun kehidupan keluarga yang kuat, dimana perempuan dihormati dan dimuliakan sebagai amanah Tuhan, adalah langkah awal membangun masyarakat dan negara. Bisa juga setiap kerusakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara lahir dari kehidupan keluarga yang tidak ideal. Melalui Maqaashid Syariiah, Islam hadir untuk membangun peradaban manusia melalui unit terkecil, yaitu keluarga yang ideal.

Sekali lagi, cita-cita Islam membangun peradaban manusia tercermin dalam ibadah haji, yang membawa pesan-pesan mendalam tentang pentingnya kehidupan tanpa kriminalitas yang dapat mengancam keselamatan jiwa, hukum ditegakkan dengan adil, harta benda dan kehormatan manusia dijunjung tinggi, dan kehidupan keluarga yang harmonis sebagai fondasi bermasyarakat. Pesan-pesan universal dari haji ini butuh suatu kekuatan besar untuk mengimplementasikannya, salah satunya melalui peran negara. Negara perlu hadir membawa jaminan keselamatan bagi setiap individu, kesejahteraan lahir maupun batin, dan harkat martabat yang disegani dunia. Tanpa negara, tidak mudah mewujudkan pesan-pesan moral ibadah haji ini.(*)

*Aguk Irawan MN adalah Pengasuh Pesantren Kreatif Baitul Kilmah Bantul dan Sekretaris PW IPHI DIY

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry