Oleh Junaidi Khab*

 

Dalam banyak hal, dalam lini sosial, kita melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) dan seluruh atributnya selalu didiskiriminasikan serta dianggap sebagai ancaman yang sangat menakutkan. Bahkan, mungkin di antara kita juga merasa benci dengan PKI. Padahal, kita tidak tahu tentang hakikat PKI yang sebenarnya dan cita-cita yang diusung di dalamnya, sejak lahir di Eropa hingga tumbuh dengan model baru di Indonesia.

Kita menyadari, setiap organisasi dan partai memiliki visi-misi mulia. Meskipun di balik itu semua ada nilai-nilai kejahatan tersembunyi yang mengancam hak-hak publik dan mendominasi atas kepentingan personal yang dilakukan oleh oknumnya. Di negara kita, organisasi semacam itu sangat banyak jumlahnya, hingga pada partai politik dengan politisi yang kadang tak mengenal naluri kemanusiaan.

Sejauh sejarah komunis yang tumbuh di Indonesia, hingga menjadi PKI, pada mulanya zaman dahulu bertujuan untuk mengusir para penjajah dengan menggerakkan dan membangun massa rakyat jelat untuk melawan pemerintahan kolonial yang zalim. Hingga, masa kolonialisme berakhir, PKI tetap hidup. Namun sayangnya, PKI menjadi hantu menakutkan di tengah-tengah masyarakat Indonesia sendiri. PKI lahir dari tubuh masyarakat kecil, lalu lambat-laun ditakuti dan dimusuhi oleh mereka sendiri.

Ada banyak pertanyaan yang selalu menggelayut dalam benak. Begitu pula jawaban-jawaban sebagai dugaan atas pertanyan-pertanyaan tersebut. Di tengah masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan toleransi, namun PKI mendapat tempat yang tidak layak dan sebagai partai terlarang. Sementara, ada beberapa organisasi besar yang mengatasnamakan kebaikan, namun substansinya akan merusak yang ada, malah dibiarkan seakan mereka anak emas yang dimanja. Aneh!

Kita lihat dalam banyak berita, baik di media cetak dan online bahwa setiap ada atribut PKI, misalkan lambang palu-arit dan lagu genjer-genjer menjadi sorotan untuk dibubarkan. Pihak keamanan yang langsung bertindak. Padahal, palu-arit dan lagu genjer-genjer tak lain sebuah cermin keberadaan masyarakat Indonesia yang diusung oleh PKI. Di dalam tubuh PKI, tak ada maksud menumbangkan negara Indonesia. Namun, PKI masih ditakuti dan dimusuhi.

Persoalan PKI hingga kini menjadi persoalan pelik yang sulit untuk diselesaikan. Selain doktrin negatif sejarah PKI mulai dari peristiwa Madiun hingga G-30-S ’65 menjadi celah hitam yang sulit dihapuskan. Perlu kita ingat, bahwa PKI mendapat pandang buruk bukan karena organisasinya, tapi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang menjadi dalang di balik itu semua. Semestinya, masyarakat Indonesia harus membaca sejarah panjang Indonesia dan perjalanannya dengan PKI dari masa ke masa. Begitu pula pemerintah harus memiliki ketegasan atas segala organisasi yang mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), jika memang PKI ingin menumbangkan NKRI, maka layak disingkirkan.

 

PKI atau HTI?

Kita sebagai rakyat jelata hanya menonton dan mendengarkan. Selebihnya, kita mengikuti dari segala apa yang kita tonton dan dengar. Mulai dari berbagai informasi, perintah, imbauan, hingga segala model gerak-gerik dan omongan para pembesar negeri. Sebenarnya, kita tidak menyadari bahwa di negeri yang demokratis dan menjunjung nilai-nilai toleransi ini ada banyak ironi dan paradoks di tubuh pemerintahan, undang-undang, dan traktat. Segalanya hanya persoalan politik, tujuannya tak jauh demi kepentingan personal atau kelompok tertentu. Itu hanya sebatas terkaan dari realita yang ada.

Di Indonesia, sebenarnya ada satu organisasi yang jelas-jelas sangat bertentangan dengan fondasi NKRI dan ada ikrar ingin mengubah NKRI, yaitu HTI. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ini jika dilihat dari kacamata negara merupakan sebuah ancaman atas keutuhan NKRI. Namun, HTI seakan masih mendapat tempat layak. Sementara PKI disingkirkan dari percaturan politik nasional. Mungkin, pihak tertentu menyadari bahwa PKI – dengan segala elemennya yang terdiri dari masyarakat jelata dan jumlahnya banyak – tidak mungkin mampu dikalahkan oleh ide politik nasional. Sehingga perlu didiskriminasikan.

 

Meneriaki PKI

Doktrin pemerintah memang kuat untuk memusuhi PKI sejak reputasi partai ini menjadi buruk akibat oknumnya yang tak bertanggung jawab. Pada zaman dulu, ada sebuah doktrin bahwa PKI tidak beragama Islam, sehingga halal dan boleh dibunuh. Bahkan, jika ada pencuri yang diteriaki maling, pencuri tersebut tidak begitu digubris. Namun, jika ada seorang pencuri yang diteriaki PKI, secepat kilat langsung dikejar dan diamuk massa. Sangat ironis sekali fakta yang ada di tubuh masyarakat kita. Hal tersebut bukan karena apa-apa, ada doktrin yang memang sengaja ingin membunuh eksistensi PKI. Kita lihat saja, pencuri atau maling yang jelas-jelas merugikan orang lain langsung dikejar dan dihajar hanya sebatas diteriaki PKI. Sementara, maling biasa tak begitu dihirauakan.

Di era modern saat ini, mungkin para koruptor juga perlu diteriaki sebagai PKI agar mereka bisa jera sebagaimana maling diteriaki PKI. Namun, hal itu sudah mustahil sekali dan tak mungkin dilakukan di masa PKI yang sudah lenyap. Kini, hanya tersisa simbol-simbol dan atributnya saja yang terus dibenci dan dimusuhi. Kenyataan sisa peninggalan ini sebenarnya menjadi sebuah bukti bahwa PKI hakikatnya memiliki peluang besar untuk menjadi partai dominan dan dimintai oleh berbagai elemen masyarakat. Entahlah, kita lihat saja perjalanan sejarah bangsa, negara, dan politisi kita.

Membicarakan tentang PKI, kita tidak tahu-menahu. Cuma, kita harus tahu dan belajar atas perjalanan sejarah yang sebenarnya. Sebab, membicarakan PKI atau menggunakan atributnya akan menjadi ancaman bagi kita. Tindak pidana – entah pidana apa – jika terkait dengan segala atribut PKI tersebut. Di tubuh negeri ini, ada banyak aturan dan hukum yang sangat mengikat, namun jarang kita temukan tentang sebuah sosialisasi dan pembelajaran agar aturan atau hukum tersebut dipatuhi.

 

* Penulis adalah Akademisi, lulusan UIN Sunan Ampel Surabaya.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry