Tembakau selain komoditas sumber daya alam unggulan, juga menduduki posisi sangat signifikan dalam peta perkebunan di berbagai belahan dunia. Juga menjadi bagian penting yang turut berkontribusi terhadap kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia khususnya masyarakat Jawa Timur. Kandungan nikotin adalah zat adiktif yag legal baik dalam kandungan rokok, cerutu, yang fungsinya sebagai stimulan untuk meningkatkan dopamine dan adrenaline. Selama ini tembakau dimanfaatkan sebagai bahan dasar dorok, juga dikreasikan bersama cengkeh sebagai bahan dasar rokok kretek, hasil olahan tembakau asli dan khas serta menjadi budaya di Indonesia.Kretek hadir sangat khas, beda dengan rokok yang ada di pasaran, karena diolah dengan menambahkan cengkeh di dalamnya.
Dalam ketentuan pasal 113 ayat 1 dan 2 Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, menyatakan, (1) pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan. (2) Zat adiktif sebagaimana disebut di ayat (1) meliputi tembakau produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan masyarakat sekelilingnya.
Pasal 114 Undang Undang Kesehatan menyatakan bahwa “setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan” . Pasal 199 ayat (1) Undang Undang Kesehatan menyatakan, “setiap orang yang memproduksi/ memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan”. Demikian halnya Pasal 114 menyatakan hal yang sama. Ketentuan ini tidak memberikan perlakuan hukum yang sama karena ketentuan diatur dalam bagian Ke Tujuh Belas tentang Pengamanan Zat Adiktif. Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa tiba tiba muncul ketentuan Pasal 114 yang mengatur tentang rokok. Proses pembuatan undang undang tersebut mengundang kontroversi. karena ketentuan itu diselundupkan secara tiba tiba karena tidak ada dalam naskah yang diserahkan kepada Sekretariat Negara paska rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat(DPR) dalam memutuskan UU Kesehatan tersebut.
Untuk itu penting untuk memahami ratio legis(alasan/tujuan umum) dimasukkannya tembakau sebagai zat adiktif dalam Undang Undang Negara RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Bagaimana implikasi hukumnya dan bagaimana punya perlindungan hukum terhadap petani tembakau dalam perspektif dalam UU Negara RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Pertama, Pengaturan tembakau sebagai zat adiktif bukan tanpa alasan karena hal ini sudah mengacu kepada peraturan pengamanan zat adiktif dalam undang undang Kesehatan dan telah sesuai dengan amanat konstitusi.. Utamanya dalam meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi orang agar terwujut derajat kesehatan masyarakat. Pembangunan kesehatan sesuai yang telat disebut dalam pasal 113 ayat(2) UU Kesehatan. Sebagai implementasi dari undang undang harus secara menyeluruh juga menyangkut masalah yang berkaitan degan zat adiktif. Kedua, berbeda dengan produk produk lain yang mengandung dampak negatif dan berbahaya lainnya, regulasi produk tembakau(rokok) tetap menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Dampak negatif rokok bagi kesehatan, ekonomi masyarakat, sosial dan lingkungan . Faktanya, pendapatan cukai dan terserapnya tenaga kerja di industri hasil tembakau memberikan kontribusi besar bagi negara ini.
Terdapat peraturan pemerintah yang cenderung disalah artikan dalam pelaksana Undang Undang. Ini memotivasi kajian yang lebih tajam dengan menganalisa bagaimana menempatkan zat adiktif berupa produk tembakau sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Implementasi yang kurang tepat akan merugikan beberapa pihak, dalam hal ini petani tembakau. Undang Undang kesehatan mengamanatkan pembuatan peraturan yang bersifat mengatur terkait ruang lingkup produk jenis zat adiktif. Apa yang sebenarnya dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun /2012 semestinya senada dengan undang undang.
Penulis menemukan kesimpulan bahwa Pertama, UU No 23/1992 tentang Kesehatan sudah tidak lagi relevan dengan perubahan yang terjadi di Indonesia . UU No.23 /1992 tidak bisa berfungsi karena dipandang kurang antisipatif dalam menghadapi perubahan sosial dan teknologi. Selain itu, lahirnya UU NO 36 Tahun 2009 berawal dari pemahaman bahwa kesehatan adalah bagian dari hak asasi manusia dan menjadi tanggung-jawab semua pihak. Kesehatan dalam perspektif hak asasi manusia memiliki pandangan adanya kondisi sejahtera badan, jiwa , sosial, produktif secara ekonomi.
Hak atas kesehatan memiliki aspek ekonomi, sosial dan budaya. Sedapat mungkin, individu tidak menderita akibat ketidakadilan sosial dan ekonomi berkenaan dengan kesehatannya. Pengatuan tembakau sebagai zat adiktif hanya menggunakan sudut pandang kerugian dalam bidang kesehatan saja, yang bertujuan, tembakau sebagai bahan utama rokok tidak menganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan.
Kedua, banyaknya perkara terkait UU. No.36 Tahun 2009 yang masuk di MK, menunjukkan aturan ini memiliki implikasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Penyebutan tembakau sebagai zat adiktif berdampak pada pengaturan lebih lanjut dalam PP No. 102 Tahun 2012 yang proses terbitnya memiliki implikasi. Pertama, menafikkan perkembangan ilmu pengetahuan terkait potensi tembakau dalam aspek pemanfaatan medis/pengobatan. Ini bertentangan dengan ratio legis terbentuknya UU No.36 Tahun 2009/ untuk mengantisipasi perubahan sosial dan perkembangan teknologi. Tembakau hanya dilihat sebagai tanaman yang dapat merusak kesehatan berimplikasi kepada tersudutnya petani tembakau penyerapan produk tembakau sehingga hak konstitusional dalam kesejahteraan dan mencari penghidupan layak dirugikan. Membatasi produktifitas petani tembakau yang harusnya difasilitasi untuk beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan.
Ketiga, ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani diamanatkan dalam rangka melindungi petani, termasuk petani tembakau. Perlindungan dalam hal ini, segala upaya membantu petani baik sarana, prasarana produksi, kepastian usaha, jaminan harga, gagal panen, praktik ekonomi biaya tinggi dan perubahan iklim. Ketentuan Pasal 7 PP 209/2012 Pemerintah memiliki kewajiban mendorong langkah langkah untuk menaikkan manfaat tembakau bagi kesehatan dan difersifikasi produk tembakau sehingga dapat memiliki nilai tambah yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan petani tembakau. Untuk itu langkah strategis dan solusinya adalah, (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong kegiatan penelitian dan pengembangan dalam rangka pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan.(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong pelaksanaan diversifikasi produk tembakau.
Karena implikasi yang dihadapi para petani tembakau ini tidak selaras dengan konsepsi Indonesia sebagai negara hukum. Hukum sebagai instrumen pemerintahan tidak hanya memberikan perlindungan secara pasti dan dibuat secara demokratif tapi juga harus menjamin keadilan dan kemanfaatan bagi kesejahteraan masyarakat. hal ini sesuai konsepsi negara hukum yang dianut di Indonesia yang dituangkan dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 18 B ayat(2) dan PASAL 23 A(perubahan ketiga), Pasal 24 ayat (1)(Perubahan Ketiga) dan Pasal 28 D ayat(1)(Perubahan Kedua) yang menyatakan “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Perlindungan atas kepentingan masyarakat sebagai perwujudan dan pelaksanaan hukum, yang mencerminkan nilai nilai yang berlaku dalam masyarakat adat dalam rangka terjaminnnya kepastian hukum dan kedudukan hukum yang jelas sebagaimana tujuan hukum itu sendiri yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum yang seimbang. Keadilan hukum sebagi porsi utama yang ditengani negara untuk melindungi individu, kelompok, masyarakat dan lain-lain.
Menurut Phipipus M, Hadyun, perllindugan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif( Rakyat diberi kesempatan mengajukan keberatan) dan represif(Perlindungan akhir berupa sanksi, denda dll, jika terbukti melanggar).
Kesimpulannya, masuknya tembakau sebagai zat adiktif di Undang undang No, 36 Tahun 2009 bertujuam tembakau sebagai bahan utama rokok tidak menganggu dan membahayakan perorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan. Hal ini sesuai amanat konstitusi utamanya dalam rangka meningkatkan kesadaran, , kemauan dan kemampuan hidup sehat agar tereujut derajat kesehatan manusia(SDM) yang produktif secara sosial dan ekonomi sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan.
Konstruksi formulasi pengaturan tembakau sebagai zat adiktif dalam Undang undang No, 35 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pemerintah memerlukan kebijakan untuk melindungi warga negara dan generasi mudanya sebagi konsumen jangka panjang dari upaya agresif pelaku industri tembakau. Upaya perlindungan ini selain menaikkan harga rokok juga melarang penjualan rokok bagi remaja usia di bawah 18 tahun. Peraturan harga dan pajak diatur dalam PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan dan Permenkeu RI Nomor147/PMK.010/2016 Tentang Perubahan Ketiga atas Permenkeu Nomor 179/PMK.0111/2012 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Perlindungan hukum bagi petani tembakau dalam Undang undang No, 36 Tahun 2009 berbeda dengan produk yang mengandung dampak negatif/ bahaya lainnya. Petani tembakau belum menikmati tingkat kesejahteraan yang setara dengan melonjaknya produksi dan keuntungan yang diraih industri rokok. Hasil penelitian menghasilkan dua dari tiga petani dan buruh ingin beralih usaha karena tingginya resiko ketidakpastikan. Untuk itu pemerintah harus mengfasilitasi sarana prasarana guna menunjang keberalihan para petani ke komoditas yang lebih memberikan jaminan kesejahteraan yang lebih baik. (*)
Penulis adalah Socialpreneur, pegiat UMKM , trainer/motivator program pemberdayaan petani ragam komoditas di wilayah Malang, Aktifis Organisasi Agama dan Kemasyarakatan (GDC), komisaris di beberapa perusahaan properti, Akademisi & Ketua Alumni UWK serta Anggota Komisi B,DPRD Jatim dan aktif berbagai training lokal, nasional maupun internasional