Syariah

Kalau informasi yang ditutup-tutupi hanya soal status kehamilan, ini tidak masalah dalam perkawinan. Karena kebohongannya tidak berkaitan dengan akad pernikahan.

Lain halnya bila pihak keluarga menyembunyikan status iddah atau status perkawinan calon mempelai wanita. Karena perkawinan perempunan yang tengah mengalami masa iddah atau masih dalam status perkawinan dengan seseorang-menurut agama-tidak sah. Hal ini disinggung oleh Imam Al-Ghazali sebagai berikut.

Artinya, “Rukun kedua nikah adalah calon istri. Ia adalah perempuan yang terlepas dari larangan-larangan (untuk dinikahi) seperti (ia bukan) (1) istri orang lain (2) murtad (3) dalam masa iddah (4) penganut Majusi (5) zindiq (6) ahli kitab setelah Nabi Muhammad saw diutus (7) budak milik orang lain di mana calon suami mampu mengawini perempuan merdeka (8) budak milik calon suami itu sendiri baik separuh atau sepenuhnya dalam kepemilikan (9) salah satu dari mahram (10) calon istri kelima darinya (11) perempuan yang tak lain saudara (kandung, susu, atau bibi) dari istri calon suami (yang ingin poligami) di mana dilarang menghimpun dua perempuan bersaudara dalam satu perkawinan (12) istri talak tiga yang belum dinikahi (harus dijimak) laki-laki lain (13) istri yang dili’an (14) perempuan yang sedang ihram haji atau umrah (15) janda di bawah umur (16) bocah perempuan status yatim (17) salah satu istri Rasulullah saw,” (Lihat Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Al-Wajiz fi Fiqhil Imamis Syafi‘i, Beirut, Darul Arqam, tahun 1997 M/1418 H, juz II, halaman 10).

Adapun akad perkawinan itu sendiri sejauh syarat dan rukun perkawinan terpenuhi sah sekalipun calon mempelai wanitanya dalam kondisi hamil.

Karena kehamilan bukanlah faktor yang menghalangi keabsahan akad nikah. Hal ini dijelaskan oleh Syekh M Nawawi Al-Bantani sebagai berikut dalam karyanya Qutul Habibil Gharib, Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib.

Artinya, “Kalau seorang pria menikahi perempuan yang tengah hamil karena zina, maka akad nikahnya secara qath’i sah. Menurut pendapat yang lebih shahih, ia juga tetap boleh menyetubuhi istrinya selama masa kehamilan,”.

Karena sudah sah, maka mereka tidak perlu mengulang kembali akad perkawinan itu setelah janinnya terlahir. Sementara naib tidak bisa dipersalahkan (dosa) karena ia telah bekerja sesuai prosedur, bahkan mendapat pahala karena telah membantu dua hamba Allah memasuki pintu ridha-Nya. (nur)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry