Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jatim Sunarta. (DUTA.CO/Henoch Kurniawan)

SURABAYA | duta.co – Perkara tindak pidana korupsi (tipikor) di Jawa Timur terbilang cukup tinggi. Meski tidak setinggi jumlah perkara di tahun 2017 yang mencapai 288 perkara. Namun di tahun 2018 Pengadilan Tipikor Surabaya mencatat sebanyak 171 perkara korupsi yang mulai disidangkan.

“Jumlah ini memang lebih rendah jika dibandingkan tahun 2017 lalu. Tapi tetap jumlah perkara korupsi yang ditangani masih ratusan perkara, atau sebanyak 171 perkara tahun ini,” kata Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Sujatmiko, Minggu (4/11/2018).

Meskipun ada penurunan penanganan perkara korupsi di Pengadilan Tipikor Surabaya, Sujatmiko mengaku hal itu masih terbilang cukup tinggi. Sebab penurunannya masih sekitar 117 perkara, dan jumlah perkara korupsi yang ditangani masih ratusan perkara. Hal itu diimbangi juga dengan tersangka dalam tindak pidana korupsi.

“Meskipun tahun ini berkurang dari tahun lalu, tapi jumlah tersangkanya cukup banyak jika dibandingkan tahun lalu,” jelasnya.

Sujatmiko menambahkan, banyak tersangka dalam perkara korupsi ini cukup naik dibanding tahun 2017 lalu. Sayangnya pihaknya enggan merincikan berapa jumlah tersangka tahun 2018 dengan tahun 2017 lalu. “Satu perkara pelakunya bisa sampai 18 tersangka atau bahkan lebih. Ini yang membuat jumlah tersangkanya lebih banyak dari tahun 2017 lalu,” tambahnya.

Melihat banyaknya penanganan perkara tindak pidana korupsi di Jatim, Sujatmiko berharap dengan adanya penegakkan hukum yang tegas, otomatis bisa memberikan efek jera kepada pelaku. Bahkan pihaknya mengimbau agar penerapan hukuman bagi tersangka tindak pidana korupsi bisa dilakukan dengan tegas dan mengacu pada efek jera dari perbuatan yang menyebabkan kerugian bagi negara.

“Dengan adanya tindak tegas maupun hukuman yang sesuai dengan perbuatannya, semoga setiap tahunnya perkara maupun tersangka korupsi berkurang. Serta memberikan efek jera bagi tersangka. Begitu juga bagi yang hendak mencoba-coba agar mengurungkan niatnya karena hukuman yang berat,” tegasnya.

Sementara itu, terkait banyaknya tindak pidana korupsi yang terjadi di Jatim, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jatim, Sunarta mengaku lebih memfokuskan pada optimalisasi penanganan korupsi. Menurutnya, optimalisasi penanganan kasus korupsi ini bisa dilihat dari kualitas daripada kasusnya sendiri.

“Kalau sekarang lebih kepada optimalisasi penanganan tindak pidana korupsi. Jadi tidak hanya asal ada pelakunya (tersangka, red) yang masuk. Tapi dilihat dari kualitas pelakunya dan jumlah kerugian negaranya,” ucap Sunarta.

Masih kata Sunarta, kualitas penanganan kasus korupsi tidak hanya dinilai dari jumlah koruptor yang dipenjarakan. Kualitas ini juga diukur berdasarkan nilai keuangan negara yang berhasil dipulihkan. Sesuai juknis (petunjuk teknis) dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejagung, penanganan kasus korupsi difokuskan pada kerugian negara di atas Rp 50 juta.

Intinya, sambung Sunarta, jangan asal-asalan menanganai kasus korupsi yang kerugian negaranya di bawah Rp 50 juta. Tapi bukan berati juga kasus korupsi yang kerugian negaranya di bawah Rp 50 juta tidak ditangani. Kalau memang bisa dikembalikan (kerugian negara), pihaknya tetap fokus pada pengembalian kerugian negaranya, sehingga tidak dirugikan.

“Tetap ada prosesnya, namun biaya operasional penyidikan sampai penuntutan itu Rp 250 juta. Kalau kerugian Rp 50 juta, kita malah rugi. Makanya kalau ada temuan kerugian Rp 50 juta, bagaimana caranya bisa kembalikan. Misalkan uangnya harus setor ke mana, tapi kita tetap menyaksikan dan mengembalikan ke inspektorat dan sebagainya,” ungkapnya.

Apakah hal itu berbenturan dengan Pasal 4 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sunarta mengaku tidak. Menurutnya, Kejaksaan memegang azas Follow The Money dan Follow The Asset. Artinya, pemberantasan tindak pidana korupsi diarahkan untuk mengejar kerugian negara jangan sampai negara dirugikan. Memang ada kontradiktif dalam penerapan azas tersebut.

“Asalkan negara tidak dirugikan, pakai azas itu. Tapi semua pihak harus tahu bahwa itu bersalah. Kalau nilainya (kerugian negara) kecil, makanya tadi terkait optimalisasi. Contohnya seperti kasus Gelora Pancasila, kerugiannya nol dan SP3,” pungkasnya. (eno)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry