
Cahaya kebenaran sering kali hadir melalui jalan yang panjang dan berliku. Namun, bagi mereka yang mencarinya ketulusan hati, kebenaran itu akan menjadi jawaban yang paling indah.
Di sudut Kota Surabaya, di tepi Pantai Kenjeran, yang senantiasa berdesir bersama angin laut, lahir sebuah kisah tentang pencarian, kehilangan, dan penemuan jati diri.
Tunggal Teja Asmara, seorang anak laki-laki yang lahir dari keluarga sederhana pada Agustus tahun 1983, di sebuah rumah kontrakan sempit berukuran 3×5 meter di Kampung Nambangan, tumbuh dalam pergulatan hidup yang keras, dan akhirnya menemukan jalan pulang menuju cahaya iman. Ia adalah satu-satunya anak laki-laki di antara tiga saudara perempuan; Wulan Mei Lina, Dewi Rati Kristina Wati, dan Sukma Ayu Candra.
Dalam rumah kayu yang nyaris roboh itu, kehidupan berjalan dengan penuh keterbatasan. Nasi dengan garam adalah santapan sehari-hari yang mereka syukuri. Ibunda Tunggal, Siti Julaika, adalah seorang perempuan tangguh yang berasal dari garis keturunan Kiai Haji Abu Aslar, putra dari Sunan Giri. Namun, pernikahannya dengan Sholican, pria sederhana yang bukan pilihan keluarga, membuatnya terusir dari tanah kelahirannya di Blitar.
Demi bertahan hidup, mereka merantau ke Surabaya, menghadapi kerasnya kehidupan. Ibunya bekerja sebagai buruh cuci ikan teri dan gerago, sementara ayahnya menjadi buruh pembuat panci di Rungkut. Penghasilan mereka jauh dari cukup, tetapi cinta dalam keluarga itu tak pernah padam.
Di tengah keterbatasan, datanglah sekelompok orang dari gereja yang menawarkan bantuan. Mereka membawa beras, gula, dan kebutuhan pokok lainnya. Awalnya, bantuan itu diterima sebagai bentuk kebaikan, tetapi lambat laun, segalanya berubah.
“Ibu mulai mengikuti ajakan mereka ke gereja,” kenang Tunggal.
“Awalnya hanya karena rasa terima kasih, tapi semakin lama, keyakinannya mulai goyah,” ucapnya.
Tunggal dan saudara-saudaranya ikut terbawa arus. Di usia 10 tahun, ia sudah terbiasa mendengar doa-doa pujian yang asing baginya. Gereja menjadi tempatnya bermain, beribadah, bahkan tempatnya menghabiskan waktu lebih dari sekolahnya. Hingga akhirnya, duduk di kelas 5 SDN Bulak Rukem Timur 258 Surabaya, ia tidak naik kelas karena terlalu sering menghadiri kebaktian sore hari di Gereja.
Ejekan teman-teman menghunjam batinnya. “Mana Tuhanmu? Bisa bantu kamu naik kelas?,” ucap salah satu teman sekelasnya. Hinaan itu menumbuhkan pertanyaan besar dalam dirinya. Ia mulai ragu, mulai mencari jawaban atas apa yang sebenarnya ia yakini.
Di tengah pencariannya, Tunggal bertemu Agus, seorang teman sekelasnya yang memilih mondok setelah lulus SD. “Agus tidak pernah memaksaku kembali ke Islam. Ia hanya menunjukkan kebaikan melalui sikapnya. Rasa ingin tahuku tumbuh. Aku mulai mendengar, membaca, dan mencari kebenaran yang selama ini samar bagiku,” tuturnya.
Rasa penasaran membawanya ke Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, Losari, Jombang. Di sana, ia menemukan ketenangan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Setiap sujudnya menjadi lebih dalam, setiap ayat yang ia baca membawa keteduhan.
Namun, perjalanan menuju kebenaran bukanlah tanpa rintangan. Ia sadar, suatu saat, ia harus berhadapan dengan keluarganya.
Kembali ke Surabaya, Tunggal melanjutkan sekolah di STM. Agustus 2001, dalam keheningan dan keyakinan yang mantap, ia mengikrarkan syahadat.
Namun, ujian tak berhenti di situ. Keluarganya semakin jauh dari Islam. Ayahnya, yang selama ini bertahan, akhirnya menyerah dan mengikuti ibunya masuk Kristen. “Hati Ayahku hancur ketika adikku dinikahkan secara sirri tanpa wali,” kenang Tunggal.
“Ia merasa Islam telah mengecewakannya, tanpa menyadari bahwa yang salah bukan agamanya, melainkan ketidaktahuannya akan hukum Islam,” ujarnya.
Tunggal hanya bisa menyaksikan keluarganya yang semakin terpecah. Dalam sujudnya, ia berdoa tanpa henti, berharap Allah membimbing mereka kembali.
Hari ini, Tunggal hidup dalam ketenangan. Ia membangun rumah tangga yang kokoh dalam iman, mengajarkan Islam kepada istri dan anak-anaknya. “Ilmu adalah cahaya, dan cahaya tak akan menerangi hati yang tertutup,” tuturnya penuh makna.
Setiap perjalanan hidup memiliki jalannya sendiri. Bagi Tunggal, jalan panjang yang penuh liku akhirnya bermuara pada satu titik terang cahaya kebenaran yang telah lama ia cari.
“Barang siapa yang dikehendaki Allah untuk diberi petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (menerima) Islam…” (QS. Al-An’am: 125)