SURABAYA | duta.co – Memperingati hari jadinya yang pertama, media Siginews menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Quo Vadis Aksi Massa 2025: Demokrasi atau Anarki?” di Grand Surabaya Hotel, Kamis (11/9/2025).

Diskusi ini menghadirkan sejumlah narasumber lintas bidang, mulai dari pengamat cagar budaya Edward Dewaruci, Ketua Perkumpulan Indonesia Muda Jatim Bung Picter, aktivis 98 Andreas Pardede, hingga jurnalis senior sekaligus Pemimpin Redaksi Siginews Cak Rois. Turut hadir pula perwakilan mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) dan UIN Sunan Ampel (UINSA), pengemudi ojek online, budayawan Taufik Monyong, serta insan pers.

Pendiri sekaligus Pemimpin Redaksi Siginews, Cak Rois, membuka diskusi dengan menuturkan pengalaman dalam pengamatan langsung dilapangan saat meliput kerusuhan di Surabaya, termasuk didalamnya insiden pembakaran Gedung Negara Grahadi.

“Hal yang terjadi pada saat itu, membuat jiwa jurnalis saya jadi ingin turun ke jalan,” ujarnya.

Menurutnya, pola gerakan massa kali ini terlihat tidak biasa. “Pergerakan massa kali ini terlihat berbeda sekali dari aksi-aksi mahasiswa atau massa aksi pada umumnya. Banyak lalu-lalang anak-anak muda berpakaian serbahitam dengan mengendarai sepeda motor,” ungkapnya sambil menunjukkan rekaman video kepada peserta FGD.

FGD yang digelar Siginews ini menjadi ruang refleksi kritis mengenai dinamika aksi massa di Indonesia, sekaligus perdebatan apakah aksi tersebut masih mencerminkan semangat demokrasi atau justru mengarah pada anarki.

Sementara itu, pengamat cagar budaya Edward Dewaruci menyoroti pengaruh besar media sosial terhadap fenomena aksi massa.

“Peluru saat ini berupa disinformasi, penyebaran fitnah, dan kebencian,” tegasnya.

Edward menilai pergerakan massa kini tidak memiliki koordinator lapangan yang jelas, berbeda dari aksi-aksi sebelumnya. “Yang menarik dari situasi yang terjadi di Jatim kemarin adalah korlapnya tidak kelihatan,” ujarnya.

Ia juga menyesalkan terjadinya pembakaran cagar budaya yang menurutnya mencerminkan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pentingnya warisan sejarah. Edward berharap kesadaran untuk melindungi cagar budaya semakin tumbuh di tengah masyarakat.

Ketua Perkumpulan Indonesia Muda Jatim, Bung Picter, menilai bahwa demonstrasi adalah bagian dari dinamika demokrasi. Namun, aksi anarkis yang kerap menyertai justru muncul karena faktor ekonomi.

“Jika ada demo, berarti demokrasi kita hidup, tapi anarkinya ini yang saya kurang sepakat,” ucapnya.

Ia menambahkan, ketidakpuasan masyarakat sering memicu tindakan ekstrem karena merasa suara mereka tidak didengar. “Biasanya anarki baru didengar, kalau nggak anarki nggak didengar,” tegasnya.

Tokoh aktivis 98, Andreas Pardede, menekankan bahwa aksi massa yang terjadi belakangan ini merupakan bagian dari gerakan sosial yang lahir akibat ketidakadilan dan penindasan.

“Jika sudah ada solidaritas dari rakyat miskin, rezim sudah tidak bisa apa-apa,” tegasnya.

Ia menilai hukum di Indonesia sudah tidak lagi berfungsi sebagai alat penegakan keadilan, melainkan instrumen politik. “Yang dituju sebenarnya adalah perubahan politik. Jika tidak ada perubahan itu, kondisi sosial masyarakat kita tidak akan berubah,” ujarnya.

Lebih lanjut, Andreas menuding pemerintahan saat ini gagal mengelola negara. “Kabinet sekarang cocoknya disebut kabinet pemborosan,” katanya.

Ia menutup pandangannya dengan kritik tajam, “Saya menyimpulkan, semua problematika yang terjadi sekarang adalah kegagalan rezim pengelolaan negara Prabowo–Gibran. Itu adalah akarnya,” pungkasnya. (Rid)

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry