“Apa benar salam terhadap non muslim hukumnya haram? Disinilah letak urgen dan tak bisa ditinggalkannya pendekatan sosial-antropologi agama itu.”
Oleh Aguk Irawan MN.
TIAP tanggal 16 November diperingati hari Toleransi Dunia. Pada tahun 1995, untuk menandai Tahun Toleransi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan peringatan 125 tahun kelahiran Mahatma Gandhi, UNESCO menciptakan sebuah penghargaan untuk promosi toleransi dan antikekerasan, yaitu Penghargaan UNESCO-Madanjeet Singh. Penghargaan ini menghargai fakta keragaman budaya, agama serta lainnya yang bertujuan untuk mempromosikan semangat toleransi dan antikekerasan.
Dalam kesempatan ini rasanya belum terlalu lama kita mengingat peristiwa yang memilukan hati –tindakan intoleransi antar pemuka agama. Seorang ustad dianggap telah ”melukai” jemaat Gereja. Begitu sebaliknya, seorang Pendeta dianggap telah ”melukai” jamaah Masjid. Lalu di Medsos, orang perang pasal hukum penodaan agama dan kata-kata kebencian.
Selain dari pada itu, belum lupa ingatan kita pula, akan berita kekerasan yang terjadi sesama saudara ”muslim.” Salah satunya, sebutlah pembakaran sebuah pesantren di Sampang oleh sekelompok massa-Islam, yang kabarnya, pesantren itu dibakar hanya lantaran disinyalir mengikuti ajaran Syiah. Bahkan, jauh sebelum itu, berita kekerasan sudah terlampau biasa ketika dialamatkan pada sekelompok pengikut ajaran Ahmadiyah.
Sungguh —berita kekerasan demi kekerasan seperti itu lenyap begitu saja dari perhatian saya. Tetapi setelah merenung, kami menemukan sejumlah kata kunci dari karakter pemikiran filsafat kontemporer yang barangkali bisa sebagai pil pahit atas situasi ini, seperti adanya istilah; ‘defecit of truth’, ‘assertion’, ‘habit of mind’, ‘ method of tenacity’, ‘inquiry-investigation’.
Istilah-istilah seperti itu bisa menghadang kejadian ganjil itu. Sayup-sayup saya merasa seperti terkena sabetan sebuah pisau yang tajam, kemudian berdarah dan melukai dada saya. Sambil terkapar saya berpikir; rasanya ada yang tertikam dari cara kebegaramaan kita. Ada yang hendak mencoba merebut ‘makna’ kebenaran hanya menjadi milik kelompoknya saja. Dengan cara memaksa, apapun itu resikonya. Ada suatu lobang yang menganga dan belum coba ditambal dengan rapat oleh bangku pendidikan-Islam kita.
Kini, terlanjur menjadi sebuah mimpi yang paling buruk; kejumudan berpikir, kejumudan bertindak, kejumudan beragama, dan kejumudan lainnya, sehingga orang jadi enggan, bahkan mungkin ‘tak sudi’ menerima ‘the others’ sebagai realitas dari hidup kita yang beraneka.Anehnya, kebanyakan dari kita, cenderung membiarkan peristiwa demi peristiwa yang memilukan dan nyeri itu terus terjadi. Sebagai hal yang terlalu lumrah ada di depan mata kita.
Bahkan, ada yang menganggap kekerasan seperti itu sebagai jalan menuju kebaikan dan kebenaran atas nama Tuhan. Sungguh, di tengah majemuknya filsafat postmodernisme, yang telah mengangkat dunia Barat (Amerika) telah setapak lebih maju dan beradab. Mayoritas dari kita masih nampak begitu limbung dan linglung, karena diam-diam telah menyimpan teologi kekerasan sebagai daya pikat yang magis untuk Islam kita. Islam, yang sebanarnya adalah rahmatan lil alamin.
Ada yang mengatakan, cara kekerasan seperti tersebut sengaja dipilih, adalah demi suatu amar ma’ruf dan nahi mungkar. Ada yang mengatakan, demi keberlangsungan din al-hanif. Ada yang mengatakan, demi terlindunginya umat dari ajaran sesat. Ada lagi yang mengatakan sebagai ‘jihad’ melawan kebatilan. Karena itu, mesti harus dilakukan dan wajib peduli. Lihatlah betapa banyak tangan yang dikepalkan, jari telunjuk yang diacung-acungkan ke langit, dan bibir mereka bergerak dengan menyebut-nyebut kalimat Jalalah; Allahu Akbar, Allahu Akbar!
Sungguh, andaikan mereka membaca dan tahu apa saran Lieven Boeve dalam The Particularity of Relegious Truth Claims, atau menyimak dengan baik teori inevestigasi-kebenaran model Charles Peirce dalam How I Make our Ideas Clear atau membedah pikiran antropologi-agama Talal As’ad dalam Geneologies of Relegion. Mungkin mereka ini akan tertohok dan malu. Karena disitulah mayoritas dari kita seperti sedang bercermin dan melihat rupa buruk kita: ‘intoleransi’, sebagaimana dahulu kebanyakan orang Barat-Kristiani hidup di abad Medieval.
Contoh intoleransi itu, dalam bahasa Charles Peirce, punya alasannya sendiri, yaitu karena mereka malas melakukan prosedur ilmiah (rasional) dalam segala tindakan dan keyakinannya. Peirce mengklasifikasikan mereka sebagai orang yang cenderung jumud atau ‘a priori’, padahal sebagai metode, ‘a priori’ dituntut menghadirkan rasionalitas (Milton K. Munitz, Contemporery Analitic Philosopy. New York; Macmilan Publishing Co. Inc. 1981, hal. 40).
Sementara Talal As’ad, sebagai antropolog-agama, metengarai; bahwa penolakan terhadap kebenaran di luar dirinya itu karena mereka tidak mencoba membuka diri untuk dinamis dan terlibat di luar dunianya, jadi formulasi pemaknaan terhadap kebenaran yang sangat subyektif dan fanatik itu harus diatasi dengan merunut ke agar geniologi-antropoliginya. Karena menurutnya, pemaknaan agama sejatinya bersifat ’spatio-temporal. (Talal As’ad, Geneologies of Relegion (London;The John Hopkins University Press, 1993, hal. 53)
Selain dialektika antropologi model Talal. Lieven Boeve mencoba mencari solusi dari ruang buntu itu. Teori ’deficit of truth’ ia gunakan untuk memeriksa kebenaran-kebenaran partikular yang terdapat pada kelompok pemeluk agama-agama. Menurutnya, setiap agama menyimpan kebenaran yang partikular, dan kebenaran universal terdapat pada kesatu-paduan (contingent) dari masing-masing kebenaran tersebut. Apabila satu agama menganggap dirinya sendiri sebagai pemegang kebenaran secara mutlak, maka saat itulah defisit kebenaran terjadi.
Menurutnya lagi, tidak boleh tidak, sejarah kebenaran teologis harus selalu diperiksa ulang dan dilakukan rekontektualisasi (recontextualization), hingga betul-betul menjadi lebih terpercaya. (Lieven Boeve, “The Particularity of Religious Truth Claims: How to Deal With It In A So-Called Post-Modern Context”, dalam Truth: Interdisciplinary Dialogues In A Pluralist Age, editor. Christine Helmer dan Kristin De Troyer, Peeters: Leuven-Paris-Dudley, 2003, hal.193).
Barangkali analisa ini bisa kita gunakan pada ranah yang lebih mikro, yaitu kelompok pemeluk Islam sendiri. Sebab kenyataannya, terma kafir, murtad, sesat dan justifikasi negatif semacamnya masih sering mendengung di telinga kita. Di era postmo ini!
Benih-Benih Kejumudan
Peristiwanya masih hangat. Belum terlalu lama dari momentum tahun baru. Sehabis shalat Isya, seperti biasanya tiap Malam Kamis, saya terkadang menyimak pengajian dari seorang Kiai. Beliau membaca kitab Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadhus Shalihin, karangan Syaikh Salim bin Ied Al Hilali. Setelah bab salam dibacakan, salah satu jama’ah ada yang memberanikan diri bertanya; Kiai, bagaimana hukumnya menjawab salam dari saudara kita yang non-muslim? Kiai itu tanpa sedikitpun ragu menjawab; haram hukumnya! Katakan pada mereka, seperti inilah ajaran Islam kami!.
Dalam hati, benarkah begitu Kiai? Saya kemudian meraba sendiri jawabnya: Sang kiyai menjawab seperti itu, karena ia alpa membaca antropologi dan sejarah. Dari sinilah saya seperti disadarkan pada Charles Pierce, Talal As’ad, Paul Tillich, Habermas dan tentu saja Wittgenstein, bahwa pembacaan teks tak bisa dibiarkan sendirian, sebab disana ada peran lain yang tak kalah pentingnya; pergulatan bahasa, ruang, simbol, sejarah dan antropologi.
Cerita seperti ini, tentu bisa ditarik lebih panjang. Misalnya kita kaitkan pada prosedur pengajaran ulumuddin (agama Islam) di hampir semua pesantren, perguruan Tinggi Islam, baik swasta maupun negeri, seperti IAIN/UIN dan pengajian-pengajian umum. Tentu cerita itu tak akan jauh berbeda dari temuan di atas. Betapa mirisnya! Bangku pendidikan Islam kita ternyata lebih gemar melindungi diri dari dinimika luar, dan bercokol hanya di wilayah nalar apriori agama an-sich (ulumuddin), dengan tanpa mempedulikan ilmu-ilmu modern yang telah memberi sumbangan pada kemanusian dan peradaban.
Sisi lain, ranah studi Islam (dirasah Islamiyah) secara kritis dan komperhensif hampir-hampir saja tak tersentuh. Padahal, bila kita gunakan teori investigasi-sejarah Charles Peirce misalnya, kita akan dapati betapa berlimpahnya kontak baik antara muslim dan non muslim di zaman Nabi. Rasulallah bukanlah seorang yang hidup di lingkungan terkengkang dan penuh nafsu fanatisme. Tapi ia seorang toleran sejati. Sejak belia ia sudah pergi ke tanah Syam, kemudian kelak setelah dewasa dan jadi pemimpin, ia mengadakan persahabatan dengan kerajaan Roma dan Negus.
Kalau begitu apa benar salam terhadap non muslim hukumnya adalah haram? Disinilah letak urgen dan tak bisa ditinggalkannya pendekatan sosial-antropologi agama itu. Sekiranya tanpa itu, benih-benih kejumudan akan beranak-pinak menjadi teologi intoleransi dsn akhirnya menjelma kekerasan? Sekarang hasilnya sudah kita petik bersama. Bahkan berlimpah pula.
Mengenal antropologi agama berarti mengenal dan melihat proses dengan jelas tarik-menarik kepentingan dan pemaknaan teks, antara hasrat agama sebagai realitas (teks) atau hasrat pemikiran agama, yang cenderung memihak pada suatu konteks dan logika zamannya. Antropologi akan metengahkan mana sesunggunya realitas atau teks dan mana pengaruh dari luar? Sehingga cerita kejumudan demi kejemudan berangsur pudar dan tercerahkan.
Toleransi Sebagai Maqhasid Syariah
Dalam pemahaman fiqh klasik, maqashid syariah mencakup lima perlindungan pokok (al-dharuriyat al-khams/al-kulliyat al-khams), yaitu perlindungan agama (hifdz al-din), perlindungan jiwa (hifdz al-nafs), perlindungap akal (hifdz al-aql), perlindungan keturunan (hifdz al-nasl), dan perlindungan harta (hifdz al-mal). Namun seiring perkembangan zaman, konsep maqashid mengalami perluasan makna dan penambahan, diantaranya adalah perlindungan lingkungan (hifdz al-biah).
Dalam hal perlindungan lima komponen di atas implementasinya di Indonesia diwujudkan melalui jaminan kebebasan berkayikan dan memeluk agama yang dijamin Konstitusi, serta kebebasan dalam mengekprisikan pendapat, gagasan, seni, ekonomi, pilihan politik dan lain sebagainya. Implementasi maqashid syariah sekali lagi menunjukkan keberpihakan, bahwa perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta dapat diwujudkan tanpa memberangus keberagaman yang menjadi fitrah manusia. Justru sebaliknya maqashidu syariah menempatkan manusia supaya hidup rukun, berdampingan dengan segala macam perbedaan.
Kerja intelektual seperti itulah yang sudah dilakukan oleh Khalil Abdul Karim, Nashr Hamid Abu Zaid, Mohammed Arkoun, Fattima Mernisi, Abdullahi Ahmed An-Naim, Sayyid Qumni dan Said Al-Asymawi dalam memahami teks dan hukum Islam. Cendekiawan kondang Hasan Hanafi, menyebut mereka sebagai orang-orang yang tercerahkan oleh peradaban Barat dengan pengembangan pemikiran humanisme universal dan koeksistensi sebagai salah satu maqhasid syari’ah (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyyah, (Kairo: Maktabah al-Anglo al-Mishriyyah, tt, hal. 275). Wallahu’lam bishawab.