PERBURUHAN: Abd Wachid Habibullah SH MH, Divisi Penanganan Kasus LBH Surabaya dan Dr Soetanto Soepiadhy, Dosen FH Untag Surabaya, saat menjadi pembicara seminar “Pengaruh Implementasi MEA terhadap Perburuhan di Jawa Timur’ di UINSA. Duta/Tri Suryaningrum

SURABAYA | duta.co – Pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada Januari 2016 lalu mengakibatkan mobilitas tidak hanya arus barang melainkan juga manusia. Kondisi ini tentunya menimbulkan persaingan antar tenaga kerja lokal dengan tenaga kerja asing (TKA), tidak terkecuali di Jawa Timur.
“Berdasarkan data Kemenakertrans per November 2016 lalu, jumlah TKA yang ada di Indonesia adalah 74.183 orang, dan di Jawa Timur data Disnakertrans mencapai 3.460 orang,” ungkap Abd Wachid Habibullah SH MH, saat mengisi Seminar “Pengaruh Implementasi MEA Terhadap Perburuan di Jatim” yang digelar PMII Komisariat UINSA bekerjasaama dengan Formacida Jatim, bertempat di Gedung Rektorat Lama UINSA lt 2, Rabu (31/1/2018).
Dosen Universitas Bangkalan yang juga menjabat Divisi Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya lantas mengurai sebaran para TKA berasal dari Tiongkok sebanyak 21.271 orang dan Jepang dengan jumlah 12.490 orang.
“Mereka kebanyakan tersebar di sektor-sektor perkebunan, tambang emas, batu bara, pekerja karet, perdagangan dan jasa,” jelas Wachid.
Kondisi ini menurut Wachid sangat memprihatinkan, mengingat keberadaan TKA ini tentunya mampu menyingkirkan tenaga kerja loka. “Padahal jika mengacu Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, ‘Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’. Arinya hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan hanya diperuntukan bagi ‘Warga Negara’ bukan bagi ‘Setiap Orang’.
“Intinya, orang asing tidak dapat dengan bebas menikmati hak atas pekerjaan dan penghidupan yg layak di Indonesia, sehingga orang asing yang melakukan pekerjaan di Indonesia harus tunduk pada peraturan perundang-undangan,” urainya.
Disinilah tegas Wachid, perlunya harmonisasi hukum, sehingga pengawasan dan pengendalian TKA melibatkan multi stakeholder. “Begitupun komitmen penegakan hukum TKA yang melanggar hukum oleh PPNS dan Penyidik Polri benar-benar dilakukan. SElain tentunya harus ada kebijakan dari pemerintah untuk memberikan perlindungan tenaga kerja lokal di era  MEA ini dari serbuan TKA,” tegasnya.
Untuk itulah, sela Dr Soetanto Soepiadhy, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya ini, perlu penekanan pada faktor budaya. Mengingat ketika MEA sudah diberlakukan seperti sekarang ini, maka akan semakin memudarkan garis-garis antarbangsa di negera ASEAN. Pertukaran barang dan jasa akan semakin deras dan mudah. Dan kalau tidak siap maka akan hancur suatu bangsa.
“Untuk itulah saya akan berusaha mengupasnya melalui kacamata globalisasi, glokalisasi, dangrobalisasi,” katanya.
Daddy, begitu biasa disapa, lantas coba menguraikan globalisasi mengarahkan ASEAN seolah tanpa batas. Namun kecemasan akan timbul justru keberadaannya akan menghapus nilai-nilai budaya yang sudah ada. Sementara glokalisasi berkaitan proses penyesuaian produk global dengan karakteristik lokal.
“Jika globalisasi dianggap salah satu pendorong masyarakat untuk lebih peka terhadap kearifan lokal, maka glokalisasi terus berkembang,” kata Pendiri “Rumah Dedikasi” Soetanto Soepiadhy ini
Sedangkan grobalisasi percaya globalisasi menyetir dunia kearah yang homogen. Sehingga setiap individu memiliki kemampuan untuk beradaptasi . “Dan keberadaan MEA jutru mempercepat proses homogenitas tersebut. Sehingga tiap individu dituntut mampu bersaing dalam Lingkup ASEAN. Dan kembali lagi untuk itu dibutuhkan skill,” tandasnya. rum

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry