
JOMBANG | duta.co – Pernyataan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Jombang yang mengklaim bahwa penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) telah sesuai dengan ketentuan regurasi dan pro Rakyat, dinilai pengamat tampaknya bertentangan dengan kenyataan. Perencanaan anggaran yang tidak memenuhi prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik menjadi bukti nyata bahwa klaim tersebut lemah secara faktual maupun normatif.
B Salatin, pengamat ekonomi pembangunan dan budaya, menjelaskan fakta-fakta yang ada menunjukkan adanya ketidaksesuaian serius dalam alokasi anggaran, baik untuk belanja pegawai maupun infrastruktur. Hal ini mencerminkan kegagalan Pemerintah Kabupaten Jombang dalam bersikap agile, yakni tidak mampu merespons perubahan secara cepat dan adaptif.
“Tidak mampu menyesuaikan kebijakan anggaran dengan dinamika kebutuhan masyarakat maupun perubahan regulasi nasional,” katanya, Rabu (11/6).
Lebih lanjut, pria yang juga sebagai Direktur lembaga PKM poligon konsultan manajemen ini menegaskan, Agility dalam pemerintahan mensyaratkan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan regulasi terbaru. Namun, dalam APBD Kabupaten Jombang, belanja pegawai dialokasikan sebesar 37,06% dari total anggaran, jauh melebihi batas maksimal 30% yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022. Ini bukan hanya pelanggaran terhadap aturan hukum yang lebih tinggi.
“Belanja infrastruktur tidak memenuhi standar minimum dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 (Pasal 147) dan Peraturan Bupati Jombang Nomor 67 Tahun 2024. Padahal, secara tegas mengamanatkan bahwa alokasi belanja infrastruktur publik harus minimal 40% dari total APBD. Namun, kenyataannya, alokasi tersebut masih di bawah ambang batas yang ditentukan,” ujarnya.
Hal Ini, lanjutnya, menunjukkan kurangnya prioritas terhadap pembangunan infrastruktur yang memiliki manfaat langsung bagi masyarakat, sekaligus melanggar ketentuan peraturan yang berlaku baik di tingkat nasional maupun daerah. Pada akhirnya terjadi ketimpangan prioritas belanja birokrasi lebih diutamakan sebagai cerminan dari kegagalan adaptasi kebijakan.
Struktur alokasi anggaran Jombang memperlihatkan bahwa kepentingan birokrasi lebih diutamakan daripada kepentingan publik. Anggaran untuk belanja barang dan jasa sebesar 33,79%, dan belanja pegawai sebesar 37,06%, jauh melampaui alokasi untuk infrastruktur. Padahal, pembangunan infrastruktur publik merupakan kebutuhan mendasar masyarakat yang seharusnya menjadi prioritas dalam perencanaan anggaran.
“Pada akhirnya yang terjadi ketidakpatuhan terhadap Regulasi internal sendiri,” tegasnya.
Lebih ironis lagi, lanjutnya, pelanggaran terhadap aturan bukan hanya terjadi terhadap regulasi nasional, tetapi juga terhadap peraturan internal daerah. Peraturan Bupati Jombang Nomor 6 Tahun 2025 secara jelas menetapkan batas maksimal belanja pegawai sebesar 30%, tetapi dalam praktiknya justru dilanggar sendiri oleh pemerintah daerah. Pelanggaran ini memperlihatkan tidak adanya komitmen terhadap aturan yang mereka tetapkan sendiri, sekaligus merusak integritas penyelenggaraan pemerintahan daerah. (din)








































