SEDERHANA: Suasana rumah Suliono saat petugas berpakaian preman datang, Minggu (11/2) malam. Ibunya sempat histeris saat kamar Suliono digeledah. (ist)

JAKARTA | duta.co – Polisi menyimpulkan sementara bahwa Suliyno (23) pelaku penyerangan jemaat Gereja Santa Ludwina, Sleman, Yogyakarta merupakan pelaku tunggal atau lone wolf. Polisi belum menemukan adanya afiliasi pelaku teror dengan jaringan tertentu.
“Sampai sejauh ini kami masih melihat lone wolf,” kata Kadiv Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto, di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (13/2). Setyo menambahkan, pelaku mendapatkan pemahaman agama yang keliru dari internet.
Penyerangan Gereja Santa Ludwina, Sleman, DIY, terjadi Minggu, 11 Februari 2018, sekitar pukul 07.30 WIB pagi. Suliono (23) membawa pedang masuk ke dalam gereja dan menyerang jemaat yang sedang melaksanakan ibadah. Akibat kejadian ini, ada empat korban terluka di antaranya seorang pastor, dua jemaat, dan satu anggota kepolisian.
Menurut Setyo, atas dasar pemahaman agama yang salah dari internet, Suliono lantas memiliki dorongan pribadi untuk menyerang gereja. “Dia belajar dari internet. Kemudian ia ingin melaksanakannya (aksi teror) dari dorongan dia sendiri,” katanya.
Dia menuturkan, kesimpulan aksi di Sleman merupakan lone wolf berdasarkan hasil interogasi sementara kepolisian. Setyo memastikan, keterangan itu belum bersifat projucticia lantaran pelaku belum bisa diperiksa untuk dimasukkan keterangannya dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
“Interogasi kan belum projusticia. Itu masih mungkin, informasi-informasi awal. Nanti akan didalami lagi dan projusticia kalau sudah BAP setelah sembuh. Di -BAP kalau belum sembuh enggak boleh,” ujarnya.
 

Kecewa Gagal Urus Paspor

Selain itu, kata Setyo, Suliono, diduga kuat kecewa lantaran paspor imigrasinya untuk berangkat ke Suriah yang sejak lama diajukannya kembali ditolak di Yogyakarta. “Terkendala dengan dokumentasi dia. Kalau tidak salah, dia KTP-nya atau apa yang kurang bisa diterima oleh Imigrasi,” ujarnya.
Ya, Suliono bukan sekali mengajukan permohonan paspor ke Imigrasi. Di Magelang. Usai kuliah di Morowali Palu, Suliono sempat melanjutkan pendalaman agama di sebuah pondok pesantren.
Di situ, ia juga mengajukan permohonan paspor. Namun ditolak. Karena itulah, ia pun menuju ke Yogyakarta untuk mengajukan permohonan serupa.
Namun demikian, lagi-lagi ditolak. Karena itu, ia pun memutuskan mencari informasi di internet mengenai gereja-gereja di wilayah Yogyakarta dan sekaligus informasi untuk membeli senjata. “Info yang kita terima Informasi seperti itu (mencari senjata dan gereja)” ujar Setyo.
Hingga sampai hari Minggu pagi. Suliono pun nekat menenteng pedang dan menyerang sejumlah orang di dalam Gereja St Ludwina, yang berada tidak jauh dari sebuah musala tempat dia menetap sementara waktu selama 4 hari sebelumnya.
Empat orang bersimbah darah di tangan Suliono. Termasuk seorang pastur asal jerman yang sudah puluhan tahun menetap di Indonesia. Suliono pun dilumpuhkan dengan timah panas oleh polisi. Ulah Suliono pun menambah panas situasi yang kebetulan beberapa waktu ini memang muncul sejumlah aksi kekerasan beraroma keagamaan di sejumlah daerah.
 


DISITA: Kalender Topo Lelono yang dikeluarkan Ponpes tempat Suliono mondok di Krincing, Secang, Magelang, disita polisi dari kamar rumahnya. (ist)

Kalender Topo Lelono Disita

Sementara itu, aparat kepolisian menggeledah rumah orang tua Suliono, pelaku penyerangan Gereja Santa Ludwina, Sleman, DIY. Dari rumah orang tua yang tinggal di Pesanggaran, Banyuwangi, itu ditemukan kalender dari sebuah padepokan.
Kalender itu bertuliskan Padepokan Topo Lelono Pangeran Krincing Pesantren Putra-Putri Sirojul Mukhlasin & Ummahatul Mukminin yang beralamat Krincing, Secang, Magelang.
“Tadi pagi kita sita kalender milik Suliono. Itu tempat mondok Suliono terakhir. Kita lakukan penyelidikan untuk melengkapi pemeriksaan di Jogjakarta,” ujar AKP Sodik Efendi, Kasat Reskrim Polres Banyuwangi, kepada detikcom di Dusun Krajan, Desa Kandangan, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur, Minggu (11/2) lalu.
Pada saat penggeledahan itu tetangga Suliono, Mubarok (58) mengaku ikut mendampingi polisi melakukan penggeledahan. Dia melihat kalender tersebut. “Tadi saya yang menemani petugas kepolisian ke rumahnya. Ada kalender yang diakui ayah Suliono tempat anaknya kuliah dan mondok selama ini,” ujar Mubarok ditemui terpisah.
Tak hanya kalender, kata Mubarok, polisi juga menyita beberapa buku Suliono. “Tapi semuanya sudah dibawa dengan polisi. Saya nggak tahu buku apa dan isinya bagaimana,” jelas Mubarok.
Sebelumnya, tambah Mubarok, Suliono mengenyam pendidikan di Banyuwangi sejak TK, SD hingga SMP di Banyuwangi. Selanjutnya, Suliono sempat masuk ke Pondok Pesantren Ibnu Sina, Genteng, namun hanya bertahan selama 6 bulan saja.
“Selanjutnya dia itu pergi ke Poso Sulawesi Tengah. Ikut dengan kedua kakaknya. Sama juga karena gak cocok dengan aliran kakaknya, dia berpisah dan pergi ke Palu. Selanjutnya tidak ada kabar. Dari situ mulai berubah,” tambahnya.
 

Keluarga Tolak Digeledah

Sebelumnya, pihak keluarga Suliono sempat menolak dan mengusir polisi yang hendak menggeledah rumahnya, Minggu (11/2) malam. Bahkan ibu kandung Suliono, Edi Susiyah (54), sempat histeris dan membanting badannya ke lantai. Teriakan pengusiran disampaikan saat polisi menggeledah kamar yang diduga adalah kamar Suliono.
“Jangan dibongkar. Tidak ada baju anakku di sini. Anakku ditangkap polisi sekarang di rumah sakit. Preman-preman semua. Aku ini orang bodoh. Jangan diganggu,” teriak Susiyah.
Sebelumnya, polisi sempat melakukan pemeriksaan kepada keluarga Suliono. Saat itu, Solikin, adik Suliono, baru datang. Menurut Solikin, dirinya jarang berkomunikasi dengan Suliono karena selain kakaknya jarang pulang, dia sendiri mondok di Pondok Pesantren Ibnu Sina, Genteng, Banyuwangi
“Kalau ketemu hanya salat berjemaah saja. Kami tidak pernah diskusi paham apapun. Jarang berkomunikasi,” kata Solikin di hadapan petugas kepolisian.
Kasat Reskrim Polres Banyuwangi AKP Shodiq Effendi mengatakan, pemeriksaan keluarga Suliono dilakukan untuk melengkapi data pelaku. Pemeriksaan dilakukan di rumah dengan pertimbangan psikologis orangtua Suliono. Selain itu dia juga berkoordinasi dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat di sekitar rumah pelaku untuk menjaga lingkungan agar tetap kondusif dan aman.
“Memang dari pengakuan keluarganya dan tetangganya, pelaku ini orangnya tertutup dan jarang bergaul dengan tetangga sekitar. Pelaku terakhir kali pulang ke rumah tahun 2017 lalu,” tutur Shodiq. hud, mer, dit

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry